Minggu, 14 Desember 2008

Dunia Ketiga Harus Bersatu atau Mati

Fidel Castro

Pengelompokan negeri-negeri dunia ketiga di Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah Kelompok-77 (G77), yang dibentuk tahun 1964 dan kini berjumlah 133 negeri. Pada pertengahan April tahun 2000, bangsa-bangsa yang mewakili mayoritas rakyat sedunia ini bertemu di Havana, Kuba, dan mengeluarkan proklamasi yang sangat kritis terhadap kebijakan Bank Dunia (WB) dan Dana Moneter Internasional (IMF). Pidato berikut oleh Presiden Kuba saat itu Fidel Castro disambut dengan tepukan tangan yang menggeluruh pada saat KTT G77, tapi pers di AS tidak meliput pidato Castro maupun kritik lainnya yang berasal dari G77.

Belum pernah umat manusia memiliki potensi ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian hebatnya dengan kapasitas yang luar biasa untuk menghasilkan kekayaan dan kesejahteraan, namun belum pernah pula terdapat kesenjangan dan ketaksetaraan yang begitu mendalam di dunia.

Keajaiban teknologi yang telah menyusutkan planet ini dalam hal komunikasi dan jarak, kini hadir bersamaan dengan jurang yang semakin lebar memisahkan kekayaan dan kemiskinan, pembangunan dan ketertinggalan.

Globalisasi adalah realitas obyektif yang menggarisbawahi kenyataan bahwa kita semua adalah penumpang dalam kapal yang sama - planet ini di mana kita semua bertempat tinggal. Tapi penumpang kapal ini melakukan perjalanan dalam kondisi yang sangat berbeda.

Sejumlah kecil minoritas melakukan perjalanan dalam kabin mewah yang dilengkapi dengan internet, telepon seluler dan akses terhadap jaringan komunikasi global. Mereka menikmati makanan yang bergizi, berlimpah dan seimbang berikut persediaan air bersih. Mereka memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan yang canggih dan seni budaya.

Sejumlah besar mayoritas yang menderita melakukan perjalanan dalam keadaan yang menyerupai perdagangan budak yang menakutkan dari Afrika ke Amerika dalam masa kolonial kami yang lalu. Jadi, 85 persen penumpang kapal ini disesakan ke dalam lambung kapal yang kotor, menderita kelaparan, penyakit, dan tak mendapat pertolongan.

Tentunya, kapal ini mengangkut terlalu banyak ketidak-adilan sehingga tidak akan terus mengapung, mengejar rute yang begitu tak rasional dan tak masuk akal sehingga tidak akan selamat sampai di pelabuhan. Kapal ini tampak ditakdirkan untuk karam menabrak bongkah es. Bila itu terjadi, kita semua akan tenggelam di dalamnya.

Para kepala negara dan pemerintahan yang bertemu di sini, yang mewakili mayoritas besar manusia yang mengalami penderitaan, tidak saja berhak tapi juga berkewajiban mengambil kepemimpinan dan mengoreksi arah perjalanan yang menuju bencana. Adalah tugas kita untuk mengambil tempat kita yang selayaknya sebagai pemimpin kapal dan menjamin bahwa semua penumpang dapat melakukan perjalanan dalam kondisi solidaritas, setara dan adil.

Dogma Pasar Bebas

Selama dua dekade, Negeri Dunia Ketiga telah berulangkali mendengarkan diskursus tunggal yang simplistik, sementara hanya terdapat satu kebijakan tunggal. Kita telah diberitahu bahwa pasar yang terderegulasi, privatisasi maksimum dan penarikan-diri negara dari aktivitas ekonomi merupakan prinsip-prinsip terampuh yang kondusif terhadap pembangunan ekonomi dan sosial.

Dalam dua dekade terakhir, segaris dengan ini, negeri-negeri maju, terutama Amerika Serikat, perusahaan transnasional besar yang diuntungkan oleh kebijakan di atas dan Dana Moneter Internasional (IMF) telah merancang tatanan ekonomi dunia yang paling merugikan kemajuan negeri-negeri kita dan paling tidak berkesinambungan dalam melindungi masyarakat dan lingkungan hidup.

Globalisasi telah dicengkram erat oleh pola-pola neoliberalisme; maka, bukanlah pembangunan yang menjadi global melainkan kemiskinan; bukanlah saling menghormati kedaulatan nasional negara-negara kita tapi pelanggaran sikap saling menghormati tersebut; bukannya solidaritas antara rakyat tapi sauve-qui-peut [masing-masing orang memikirkan dirinya sendiri] dalam kompetisi tak adil yang berlangsung di pasar.

Dua dekade dari apa yang disebut dengan penyesuaian struktural neoliberal telah memberikan kita kegagalan ekonomi dan bencana sosial. Adalah tugas para politikus yang bertanggung-jawab untuk menghadapi situasi yang menyulitkan ini dengan mengambil keputusan yang tak dapat dihindarkan dan kondusif untuk menyelamatkan Dunia Ketiga dari gang buntu.

Kegagalan ekonomi sudah terbukti. Di bawah kebijakan neoliberal, ekonomi dunia mengalami pertumbuhan global antara 1975 dan 1998 yang besarnya tidak mencapai setengah tingkat pertumbuhan yang diraih antara tahun 1945 dan 1975 dengan kebijakan regulasi pasar Keynesian dan partisipasi aktif negara dalam ekonomi.

Di Amerika Latin, di mana neoliberalisme diterapkan dengan ketat menurut doktrinnya, pertumbuhan ekonomi dalam tahap neoliberal lebih rendah daripada yang dicapai dalam kebijakan pembangunan negara sebelumnya. Setelah Perang Dunia II, Amerika Latin tidak memiliki utang tapi sekarang kita berutang sebesar hampir $1 trilyun. Inilah jumlah utang per kapita terbesar di dunia. Kesenjangan pendapatan antara miskin dan kaya di wilayah ini adalah yang terbesar di dunia. Terdapat lebih banyak rakyat miskin, menganggur, dan lapar di Amerika Latin pada saat ini dibandingkan pada saat mana pun dalam sejarahnya.

Di bawah neoliberalisme, ekonomi dunia tidaklah berkembang lebih cepat dalam hal-hal yang riil; justru terjadi lebih banyak ketakstabilan, spekulasi, utang luar negeri dan pertukaran yang tidak adil. Begitu juga, terdapat kecenderungan lebih besar bagi lebih sering terjadinya krisis finansial, sementara kemiskinan, ketaksamaan dan jurang antara negeri Utara yang kaya dan negeri Selatan yang jadi korban penjarahan terus melebar.

Krisis, ketakstabilan, gejolak dan ketakpastian merupakan kata-kata yang paling umum digunakan dalam dua tahun terakhir untuk menggambarkan tatanan ekonomi dunia.

Deregulasi yang menyertai neoliberalisme dan liberalisasi rekening kapital memberikan dampak negatif yang mendalam terhadap ekonomi dunia di mana berkembang subur spekulasi mata-uang asing dan pasar derivativ; sementara transaksi harian yang kebanyakan spekulatif, besarnya tak kurang dari 3 trilyun dolar AS.

Negeri-negeri kita dituntut untuk lebih transparan dalam informasi dan lebih efektif dalam pengawasan bank tapi institusi finansial seperti hedge funds tidak perlu membuka informasi tentang aktivitasnya, dan sepenuhnya tak teregulasi dan menjalankan operasi yang melebihi semua cadangan devisa yang dimiliki oleh negeri-negeri Selatan.

Dalam atmosfir spekulasi yang tak terkendali, pergerakan kapital jangka-pendek membuat negeri-negeri Selatan rentan terhadap ancaman di masa depan. Dunia Ketiga dipaksa untuk menahan sumber daya finansialnya dan semakin banyak berhutang untuk mempertahankan cadangan devisa mata uang asing dengan harapan dapat digunakan untuk bertahan dari serangan spekulator. Sebesar 20% pemasukan kapital dalam beberapa tahun belakangan ditahan sebagai cadangan devisa tapi mereka tidak cukup untuk mempertahankan diri dari serangan-serangan tersebut sebagaimana dibuktikan dalam krisis finansial baru-baru ini di Asia Tenggara.

Saat ini, cadangan devisa Bank-bank Sentral di dunia sebesar 727 milyar dolar AS berada di Amerika Serikat. Ini menciptakan paradoks bahwa dengan cadangan devisanya, negeri-negeri miskin memberikan pendanaan murah berjangka-panjang kepada negeri terkaya dan terkuat di dunia, padahal cadangan devisa tersebut dapat diinvestasikan dalam pembangunan ekonomi dan sosial.

Tuntut Pembubaran IMF

Bila Kuba berhasil menjalankan pendidikan, layanan kesehatan, budaya, ilmu pengetahuan, olah-raga dan program-program lainnya dengan sukses, yang mana hal ini tidak lagi dipertanyakan oleh dunia, meskipun selama empat dekade diblokade ekonomi, dan melakukan revaluasi mata uangnya terhadap dolar AS sebanyak tujuh kali dalam lima tahun terakhir, itu berkat posisi istimewanya sebagai non-anggota Dana Moneter Internasional (IMF).

Suatu sistem finansial yang dengan paksa menahan mobilisasi sumber daya yang demikian besar, yang amat dibutuhkan oleh negeri-negeri itu untuk melindungi diri dari ketakstabilan yang diakibatkan oleh sistem tersebut, yang menyebabkan rakyat miskin mendanai kaum kaya - itu harus dihapuskan.

Dana Moneter Internasional adalah organisasi yang melambangkan sistem moneter saat ini dan Amerika Serikat menikmati hak veto terhadap segala keputusannya. Terkait krisis finansial terakhir, IMF menunjukkan ketidakmampuan dalam membayangkan apa yang akan terjadi dan telah menangani situasi dengan ceroboh. Ia menerapkan klausa persyaratan yang melumpuhkan kebijakan pembangunan sosial pemerintah sehingga menciptakan bencana domestik yang serius dan menghalangi akses terhadap sumber daya yang penting justru ketika mereka sedang paling dibutuhkan.

Sudah saatnya negeri-negeri Dunia Ketiga menuntut keras pembubaran institusi yang tidak memberikan stabilitas kepada ekonomi dunia maupun berfungsi memberikan dana pencegahan kepada peminjamnya untuk menghindari krisis likuiditas; sebaliknya, ia justru melindungi dan menolong para pemberi pinjaman.

Di manakah letak kerasionalan dan etika dari suatu tatanan moneter internasional yang memungkinkan segelintir teknokrat, yang posisinya bergantung pada dukungan Amerika, untuk merancang di Washington program-program ekonomi yang identik untuk diterapkan ke dalam beragam negeri untuk menghadapi problem-problem spesifik Dunia Ketiga?

Siapa yang bertanggung-jawab ketika program-program penyesuaian menghadirkan kekacauan sosial, sehingga melumpuhkan dan mendestabilisasi bangsa-bangsa yang memiliki sumber daya manusia dan alam yang besar, seperti kasus Indonesia dan Ekuador?

Adalah suatu keharusan yang krusial bagi negeri-negeri Dunia Ketiga untuk mengupayakan pembubaran institusi sinister tersebut, dan filosofi yang dipertahankannya, untuk digantikan dengan badan regulasi finansial internasional yang akan beroperasi atas landasan demokratik di mana tak satu pun memilik kekuasaan veto; sebuah institusi yang tak hanya mempertahankan para kreditor kaya dan menerapkan syarat-syarat yang mengintervensi, tapi akan memungkinkan penerapan regulasi pasar finansial untuk menghentikan spekulasi liar.

Cara yang mungkin untuk ini adalah menerapkan - bukannya pajak sebesar 0,1 persen terhadap transaksi finansial spekulatif sebagaimana diusulkan dengan brilian oleh Mr Tobin - tapi pajak sebesar minimum 1 persen yang akan memungkinkan pembentukan dana yang besar, yang melebihi $1 trilyun pertahunnya untuk menggalakkan pembangunan yang berkelanjutan dan komprehensif di Dunia Ketiga.

Utang Dunia Ketiga Sudah Dilunasi

Utang-utang luar negeri dari negeri kurang berkembang telah melebihi $2,5 trilyun dan dalam tahun 1990an itu telah bertambah dengan lebih berbahaya dibandingkan tahun 1970an. Sebagian besar dari utang baru tersebut dapat dengan mudah berpindah tangan dalam pasar sekunder; ia saat ini lebih tersebar luas dan lebih susah untuk dijadwal ulang.

Sebagaimana telah kami katakan sejak 1985: Utang tersebut sudah dilunasi, bila kita memperhatikan cara pembayarannya, peningkatan yang cepat dan semena-mena terhadap tingkat suku bunganya dalam dolar AS pada tahun 1980an dan penurunan harga komoditas dasar - suatu sumber pendapatan fundamental bagi negeri-negeri berkembang. Utang tersebut terus memakan dirinya sendiri dalam suatu lingkaran setan di mana uang dipinjam untuk membayar bunga dari utang lama.

Saat ini, terlihat lebih jelas bahwa utang bukanlah persoalan ekonomi tapi politik, oleh karena itu, ia membutuhkan solusi politik. Tidaklah mungkin menutup mata dari kenyataan bahwa solusi terhadap problem ini harus berasal dari mereka yang memiliki sumber daya dan kekuasaan, yakni, negeri-negeri kaya.

Inisiatif Pengurangan Utang Negeri-negeri Miskin (Heavily Indebted Poor Countries Debt Reduction Initiative - HIPC) menunjukkan nama yang besar tapi hasil yang kecil. Ia hanya dapat digambarkan sebagai upaya konyol untuk menghapus 8,3 persen total utang negeri-negeri Selatan. Hampir empat tahun setelah penerapannya hanya empat di antara tiga-puluh-tiga negeri termiskin telah menyusuri proses yang rumit hanya untuk menghapus angka yang tak seberapa sebesar $2,7 milyar, yakni sepertiga dari jumlah uang yang dibelanjakan Amerika Serikat untuk kosmetik tiap tahunnya.

Saat ini, utang luar negeri adalah rintangan terbesar bagi pembangunan dan bom waktu yang siap meledakkan fondasi ekonomi dunia saat krisis ekonomi.

Sumber daya yang dibutuhkan sebagai solusi yang mengarah pada akar permasalahan ini tidaklah besar bila dibandingkan dengan kekayaan dan pembelanjaan negeri-negeri kreditor. Tiap tahun $800 milyar digunakan untuk membiayai persenjataan dan pasukan, bahkan setelah usai Perang Dingin, sementara tak kurang dari $400 milyar dihabiskan untuk narkotika, dan milyaran lainnya untuk publisitas komersial yang menciptakan alienasi yang sebanding dengan narkotika.

Sebagaimana telah kami katakan sebelumnya, pada kenyataannya, utang luar negeri Dunia Ketiga adalah tak dapat dibayarkan dan tak dapat dipungut.

Perdagangan Dunia

Di tangan negeri-negeri kaya, perdagangan dunia adalah alat dominasi. Di bawah globalisasi neoliberal, perdagangan telah memelihara ketimpangan dan menjadi ruang penyelesaian sengketa antara negeri-negeri maju dalam upaya mereka mengontrol pasar pada saat ini maupun masa depan.

Diskursus neoliberal menyarankan liberalisasi komersial sebagai formula terbaik dan satu-satunya bagi efisiensi dan perkembangan. Sementara neoliberalisme terus menerus mengulangi diskursusnya tentang peluang yang diciptakan oleh pembukaan perdagangan, partisipasi negeri-negeri miskin dalam ekspor dunia menurun pada tahun 1998 dibandingkan tahun 1953. Brasil dengan area 3,2 juta mil persegi, penduduk sebesar 168 juta dan nilai ekspor sebesar $51,1 milyar pada 1998, ekspornya lebih sedikit dibandingkan Belanda yang berarea 12.978 mil persegi, dengan populasi 15,7 juta dan nilai ekspor sebesar $198,7 pada tahun yang sama.

Liberalisasi perdagangan pada intinya terdiri atas penyingkiran instrumen proteksi negeri-negeri Selatan secara sepihak (unilateral). Sementara, negeri-negeri berkembang tidak bisa melakukan hal yang serupa untuk membolehkan ekspor-ekspor Dunia Ketiga memasuki pasar mereka.

Bangsa-bangsa yang kaya telah membangun liberalisasi dalam sektor-sektor strategis yang diasosiasikan dengan teknologi maju - jasa, teknologi informasi, bioteknologi, dan telekomunikasi - di mana mereka menikmati keuntungan besar yang semakin meningkat dengan deregulasi pasar.

Di sisi lain, pertanian dan tekstil, dua sektor yang secara khusus signifikan bagi negeri-negeri kita, tidak mampu menyingkirkan rintangan yang telah disetujui dalam Putaran Uruguay karena ini bukanlah kepentingan negeri-negeri maju.

Dalam OECD [Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi], kelompok negeri-negeri terkaya, tarif rata-rata yang diterapkan pada ekspor manufaktur dari negeri-negeri kurang berkembang adalah empat kali lebih tinggi daripada yang diterapkan pada negeri anggota kelompok tersebut. Tembok penghalang antara tarif dan non-tarif sesungguhnya telah ditegakkan untuk menyingkirkan produk-produk negeri Selatan.

Komoditas dasar tetaplah rantai terlemah perdagangan dunia. Bagi 67 negeri Selatan, komoditas semacam itu berjumlah setidaknya lima puluh persen pendapatan ekspornya. Gelombang neoliberal telah menyapu skema pertahanan yang termuat dalam panduan (terms of reference) komoditas dasar. Diktum supremasi pasar tak dapat mentolerasi distorsi apa pun, dengan demikian Kesepakatan Komoditas Dasar (Basic Commodities Agreements) dan formula lainnya yang membahas ketimpangan pertukaran (unequal exchange) ditinggalkan begitu saja. Atas alasan inilah maka kini daya beli komoditas seperti gula, kokoa, kopi dan lainnya hanya dua puluh persen dari angka sebelumnya pada 1960; akibatnya, pendapatan penjualan bahkan tidak menutupi biaya produksi.

Perlakuan khusus dan berbeda bagi negeri-negeri miskin telah dipandang sebagai, bukannya tindakan adil dan kebutuhan yang tak dapat diabaikan, melainkan tindakan kemurahan hati yang hanya sementara. Sesungguhnya, perlakuan berbeda bagi negeri-negeri miskin bukan saja merupakan pengakuan terhadap perbedaan besar dalam perkembangan tiap negeri, sehingga mencegah digunakannya penggaris yang sama bagi negeri kaya dan miskin, tapi juga menyadari masa lalu kolonial yang menuntut kompensasi.

Signifikansi Perlawanan di Seattle

Kegagalan pertemuan WTO di Seattle menunjukkan bahwa kebijakan neoliberal menciptakan oposisi yang semakin intensif di antara semakin banyak rakyat, baik di negeri Selatan dan Utara. Amerika Serikat mempresentasikan Putaran Negosiasi Perdagangan yang seharusnya dimulai di Seattle sebagai langkah liberalisasi perdagangan yang lebih maju, padahal negeri itu masih memberlakukan Akta Perdagangan Asing-nya sendiri yang agresif dan diskriminatif. Akta tersebut menyertakan peraturan seperti "Super 301", sebuah pertunjukkan diskriminasi dan ancaman yang sesungguhnya dalam menerapkan sangsi bagi negeri-negeri lainnya atas alasan yang berkisar dari asumsi bahwa suatu negeri menerapkan rintangan untuk menolak produk-produk Amerika, hingga penilaian yang sewenang-wenang dan sering kali sinis oleh pemerintah AS terkait situasi hak asasi manusia di negeri-negeri lainnya.

Di Seattle, terjadi perlawanan terhadap neoliberalisme. Preseden terkininya adalah penolakan terhadap penerapan Multilateral Agreement on Investments (MAI). Ini menunjukkan bahwa fundamentalisme pasar yang agresif, yang telah mengakibatkan kerusakan besar terhadap negeri-negeri kami, menghadapi penolakan sedunia yang keras dan sudah sepantasnya.

Jurang Teknologi

Dalam sebuah ekonomi global di mana pengetahuan adalah kunci bagi pembangunan, jurang teknologi antara Utara dan Selatan cenderung melebar dengan meningkatnya privatisasi penelitian ilmiah dan hasil-hasilnya.

Negeri-negeri maju di mana berdiam lima belas persen penduduk dunia, pada saat ini mengonsentrasikan delapanpuluh-delapan persen pengguna Internet. Terdapat lebih banyak komputer di Amerika Serikat dibandingkan dengan gabungan seluruh jumlah komputer di negeri lainnya di dunia. Negeri-negeri kaya mengontrol sembilanpuluh-tujuh persen hak paten secara global dan menerima lebih dari sembilan-puluh persen hak lisensi internasional, sementara bagi banyak negeri-negeri Selatan penerapan hak milik intelektual tidaklah eksis.

Dalam riset swasta, elemen lukratif (keuntungan besar) mendahului pertimbangan kebutuhan; hak milik intelektual menjadikan pengetahuan berada di luar jangkauan negeri-negeri kurang berkembang, dan legislasi tentang hak paten tidak mengakui transfer pengetahuan atau pun sistem kepemilikan tradisional yang begitu penting di Selatan. Penelitian oleh swasta berfokus pada kebutuhan konsumen yang kaya.

Vaksin telah menjadi teknologi yang paling efisien untuk mempertahankan pembelanjaan kesehatan yang rendah karena dapat mencegah penyakit dengan hanya menggunakan satu dosis. Walau begitu, karena itu memberikan profit yang rendah, vaksin dikesampingkan untuk mengutamakan pengobatan yang membutuhkan dosis berulang kali dan memberikan keuntungan finansial yang lebih tinggi.

Pengobatan baru, bibit terbaik, dan, pada umumnya, teknologi terbaik telah menjadi komoditas yang harganya hanya dapat dijangkau oleh negeri-negeri kaya.

Akibat sosial yang suram dari perlombaan neoliberal menuju bencana ini sudah ada di depan mata. Dalam seratus negeri, pendapat perkapita lebih rendah dibandingkan lima belas tahun lalu. Pada saat ini, 1,6 milyar orang bernasib lebih buruk dibandingkan pada awal 1980an.

Lebih dari 820 juta orang kekurangan gizi dan 790 juta di antaranya hidup di Dunia Ketiga. Diperkirakan 507 milyar orang yang hidup di Selatan saat ini tidak akan menyaksikan ulang-tahunnya yang ke-40.

Dalam negeri-negeri Dunia Ketiga yang terwakili di sini, dua dari lima anak menderita hambatan pertumbuhan dan satu dari tiga menderita kekurangan berat badan; 30.000 anak yang dapat diselamatkan, tiap harinya menderita sekarat; 2 juta anak perempuan terpaksa menjalani prostitusi; 130 juta anak tidak memiliki akses terhadap pendidikan dasar dan 250 juta anak di bawah 15 tahun terpaksa bekerja. Tatanan ekonomi dunia berfungsi baik bagi dua puluh persen penduduknya tapi mengabaikan, memojokkan dan memperburuk delapan puluh persen sisanya.

Kita tak dapat begitu saja memasuki abad baru dalam barisan akhir yang terbelakang, miskin, dan tereksploitasi; korban rasisme dan xenofobia dihalangi dari akses pengetahuan, dan menderita alienasi budaya kita akibat pesan-pesan asing berorientasi-konsumerisme yang diglobalisasikan oleh media.

Bagi Kelompok 77, ini bukanlah saat untuk mengemis dari negeri-negeri maju atau untuk patuh, mengalah, atau saling menghancurkan. Inilah saatnya untuk mengembalikan semangat berlawan kita, kesatuan dan kohesi kita dalam mempertahankan tuntutan kita.

Lima puluh tahun lalu kita diberikan janji bahwa suatu hari nanti tidak akan ada lagi jurang antara negeri-negeri maju dan kurang-berkembang. Kita dijanjikan roti dan keadilan; tapi hari ini kita memiliki semakin sedikit roti dan semakin banyak ketidakadilan.

Dunia dapat diglobalisasi di bawah kekuasaan neoliberalisme, tapi tidaklah mungkin menguasai milyaran lebih orang yang lapar akan roti dan haus akan keadilan. Gambaran ibu-ibu dan anak-anak di bawah derita kekeringan dan bencana lainnya di seluruh wilayah Afrika mengingatkan kita akan kamp konsentrasi di Jerman Nazi; mereka mengembalikan memori tentang tumpukan mayat dan orang sekarat, perempuan, dan anak-anak.

Perlu digelar semacam Nuremberg untuk mengadili tatanan ekonomi yang dipaksakan ke kita: sebuah sistem yang dengan menggunakan kelaparan dan penyakit yang tersembuhkan telah membunuh lelaki, perempuan, dan anak-anak tiap tiga tahun dalam jumlah yang melebihi korban jiwa Perang Dunia II yang berlangsung enam tahun.

Di Kuba kami biasa berkata: "Merdekalah Tanah Air atau Mati!" Pada KTT Dunia Ketiga ini kita akan harus berkata: "Bersatulah dan Bangun Kerjasama Erat, atau kita mati!"

---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Diambil dan disunting dari berbagai sumber, di antaranya adalah Thirdworldtraveler.com
Diterjemahkan oleh NEFOS.org dan setelah itu disadur lagi ke blog ini.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kamis, 11 Desember 2008

BUKAN ANAK KORBAN KAPITALIS

Oleh Nurani Soyomukti,
penulis buku Manusia Tanpa Batas (Desember, 2008).

Tidak ada celah sedikitpun bagi anak-anak untuk berbeda dalam hal preferensi (kesukaan), obsesi, keinginan, tingkahlaku, selain model kapitalis yang melemahkan, menumpulkan, dan menebalkan iman imitatif anak-anak itu?

Tentu saja ada. Saya juga menjumpai anak-anak seperti itu. Kawan saya punya seorang adhik yang masih berumur 7 tahun yang selera musiknya berbeda.

Namanya Ikram, bukan nama palsu atau kisah yang saya karang seperti non-fiksi. Kesukaan Ikram pada musik metal datang dari kakanya, teman saya. Anak kelas 3 SD Al Furqon di Jember ini mengaku tidak suka dengan musik-musik pop. Dia malah keranjingan mendengarkan lagu dari band-band metal seperti Devildriver, Dragonfor, Halloween, Yngwi Malmsteen, dan Disturbed. Ternya anaknya sangat jenius: nilai raport-nya semua sembilan, dan anaknya sangat kritis. Setiap teman-teman kakaknya datang ke rumahnya, dia banyak bertanya seperti orang dewasa. Pikirannya demokratis, tak takut mencecar pertanyaan pada orang-orang baru karena otaknya tidak cengeng dan jiwanya tidak takut.

Tanpa meniru musik-musik cengeng dan dipenuhi pujaan-pujaan sok romatis dan mendayu-dayu, ternyata anak-anak punya harga diri dan punya sikap yang kuat. Karena ia tak hanya mengikuti selera umum, tetapi punya pilihan alternatif dalam masalah selera. Tentu penjelasan-penjelasan kenapa ia bisa memilih selera itu, harus dijelaskan dan karenanya dengan mendapatkan penjelasan yang masuk akal anak akan menguatkan keyakinannya pada apa yang dipilihnya. Coba kita bayangkan bagaimana jika anak yang bertanya “Itu musik apa itu, Ma? lalu muncul jawaban yang cukup abstrak: pokoknya musik ini keren?

Akan beda misalnya jika terjadi tanya jawab atau dialog yang masuk akal seperti ini, ketika kita mempedengarkan pertama kali musik metal:
“Ini musik apa, Kak? Ini namanya musik metal. Tuh lihat suaranya, teriakannya kuat. Itu namanya screaming. Tuh rambutnya gondrong, penampilannya gagah dan percaya diri. Nggak kayak Kangen Band yang ngliatin mukanya malu dan wajahnya selalu ditutupi rambutnya kan?... Coba, apa ada band Indonesia yang kayak gitu, Pasha vokalisnya Ungu saja pernah sakit tenggorokan hanya karena nyanyi lagu-lagu melo dan lembek. Coba kalau mereka disuruh screaming kayak gitu, pasti tenggorokannya putus. Lagian yang ini lirik-liriknya menggugat. Kalau Ungu, ST12, Kangen Band, lirik-liriknya kan mengiba-ngiba, meminta cinta kayak pengemis. Kamu gak mau kan jadi pengemis? Nah, makanya kalau milih musik tuh kayak gini ni, adhik! Hebat kan?

Dengan penjelasan yang meyakinkan seperti itu, tentu anak-anak akan merasa nyaman dan yakin bahwa dia bisa berbeda dengan yang lain, anak-anak lainnya. Ketika kita bekali mereka dengan penjelasan, maka mereka akan percaya diri ketika berhadapan dengan teman-teman sepermainannya yang punya pilihan musik berbeda. Kepercayaan diri menghasilkan tingkat harga diri pada anak.

Berdasarkan penelitian, individu-individu yang punya harga diri tinggi memiliki sifat-sifat mandiri, kreatif, yakin pada penilaian serta gagasan-gagasan sendiri, berani, berdikari secara sosial (berani menentukan sesuatu sendiri), memiliki kestabilan psikologis, tidak cemas dan lebih berorientasi pada keberhasilan. Orang-orang yang memiliki harga diri tinggi biasanya akan memiliki tingkat kebahagiaan dan lebih efektif dalam kehidupan sehari-hari mereka dibanding yang memiliki harga diri rendah. Orang-orang yang harga dirinya rendah kurang percaya pada diri mereka sendiri dan lebih segan-segan menyatakan diri mereka dalam suatu kelompok, khususnya jika mereka memiliki gagasan-gagasan baru atau ide-ide kreatif. Mereka lebih banyak mendengar dan ikut-ikutan daripada berpartisipasi, mereka sangat peka dan sibuk dengan urusan dan sibuk dengan pikiran dan perasaan mereka sendiri. Mereka kurang berhasil dalam menjalin hubungan-hubungan antarpribadi dan seringkali kurang aktif dalam masalah-masalah kemasyarakatan, soal-soal-soal pemerintahan, maupun soal-soal politik.

Para psikolog umunya menemukan bahwa mereka yang sering datang untuk mencari bantuan psikologis seringkali mengaku bahwa mereka kebanyakan diliputi perasaan tidak mampu dan merasa tidak berharga. Orang-orang itu memandang mereka tidak berdaya dan inferior, tak mampu memperbaiki keadaan-keadaan mereka dan kurang memiliki kekuatan batin untuk menghadapi ataupun mengurangi kecemasan yang mudah sekali ditimbulkan oleh berbagai kejadian serta tekanan sehari-hari. Bahkan menurut pada psikolog klinik, orang-orang yang diliputi keraguan akan harga diri mereka biasanya sukar memberi maupun menerima cinta, seolah-olah takut bahwa keterbukaan yang akan lahir dari keakraban akan membongkar kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan mereka, dan mengakibatkan mereka itu ditolak oleh orang lain. Dengan demikian mereka menghindari keakraban dalam berhubungan dengan orang lain dan sebagai akibatnya mereka merasa terkucil.[1]

Anak-anak yang memiliki harga diri tentu juga lahir dari orangtua yang memiliki harga diri. Para orangtua dari anak-anak yang memiliki harga diri tinggi umumnya lebih mencintai dan memperhatikan anak-anak mereka, tetapi juga kadang lebih keras dan lebih jeli dalam menerapkan norma-norma bertingkah laku. Para orangtua sejenis ini juga menuntut prestasi akademik yang tinggi dari anak-anak mereka.

Para orang-orangtua anak-anak yang memiliki harga diri rendah tidak banyak menetapkan aturan dan menetapkan aturan-aturan yang kurang jelas dan cara mereka mengendalikan anak-anak cenderung kasar atau autokratis. Sebuah laporan penelitian psikologi anak melukiskan bagaimana orangtua yang kurang berhasil dengan gambaran sebagai berikut: Tindakan-tindakan khas para orangtua yang bersikap menolak sama sekali bertolak belakang dengan kehangatan serta penerimaan yang ditunjukkan oleh para orangtua yang memiliki sikap menerima secara wajar. Para orangtua itu bersikap memusuhi, dingin dan kurang mengakui anak mereka, memandang anak sebagai objek yang mengganggu, tidak berharga atau bahkan negatif. Mereka menunjukkan penolakan mereka dengan cara menelantarkan anak dan bersikap acuh-tak acuh terhadap permintaan, kebutuhan-kebutuhan, maupun aspirasi-aspirasi anak. Anak sama sekali tidak dihargai dan diperlakukan sebagai beban yang harus singkirkan;
anak dipandang sebagai penderitaan serta tanggungjawab hukum semata-mata, bukan sebagai tumpahan kepercayaan yang dihargai dan didambakan. Bentuk penolakan yang lebih berat berupa bentuk manifestasi kebencian yang keras dan terbuka, seperti pernyataan-pernyataan rasa tidak senang secara terang-terangan, pemberian hukuman yang kasar dan tidak berdasar serta penelantaran aneka keperluan fisik dan perhatian sosial. Baik bentuk-bentuk penolakan pasif maupun aktif mengungkapkan tidak adanya perhatian, pengakuan serta rasa tidak suka terhadap anak.

Acuh terhadap anak merupakan pengingkaran terhadap keberadaan diri orangtua sendiri. Karena anak adalah bagian dari mereka, keberadaannya karena mereka. Sayangnya sekarang ini KEINTIMAN (intimacy)[2] telah hilang dari kehidupan kita: anak-anak yang tak lagi dielus-elus orang dewasa, terutama Ibu dan bapaknya. Pada hal ada kebutuhan yang harus dipenuhi oleh orangtua agar anak-anak berkembang dengan baik.

Untunglah saya ketemu Ikram. Pasti masih ada ”Ikram-Ikram” yang lainnya. Pasti ada anak-anak yang tanggap terhadap kontradiksi, terutama anak-anak yang dididik oleh orangtua dan orang-orang yang punya preferensi berbeda terhadap kehidupan, tujuannya, seninya, dan tindakan-tindakannya. Mudah-mudahan saya juga cepat dianugerahi anak seperti Ikram!***


[1] Stanley Coopersmith. The Antecedents of Self-Esteem. San Francisco: W.H. Freeman, 1967

[2] Lihat Nurani Soyomukti. INTIMACY: Menjadikan Kebersamkaan dalam Pacaran, Pernikahan, dan Merawat Anak sebagai Surga Kehidupan. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2008

Lebih bergaul dan terhubung dengan lebih baik. Tambah lebih banyak teman ke Yahoo! Messenger sekarang! http://id.messenger.yahoo.com/invite/

Senin, 10 November 2008

Mandeknya Ilmu Sosial di Indonesia

Coen Husain Pontoh

http://coenpontoh.wordpress.com/

DALAM beberapa kesempatan, saya sering bercakap-cakap dengan rekan saya Philip J. Vermonte, yang kini tengah studi doktoral di universitas Northern Illinois, Chicago. Namanya ngobrol, ada-ada aja yang diomongin. Satu dari sekian percakapan yang saya ingat, adalah kegundahan kami bersama soal mandegnya perkembangan ilmu sosial di Indonesia.

Ambil contoh terakhir, menyangkut krisis ekonomi di Amerika. Sejauh bacaan saya, dari media massa dan juga perbincangan di internet, tidak ada satu analisa yang mendalam dan komprehensif dari para akademisi di Indonesia, menyangkut sebab-musabab terjadinya krisis ini. Yang ada adalah artikel dalam bentuk kolom, dengan mengutip satu dua pendapat dari pakar, atau – lebih buruk lagi – pendapat sambil lalu yang cenderung cari gampang.

Pendapat paling populer, dari para akademisi itu menyangkut krisis ekonomi Amerika, bahwa hal itu disebabkan oleh perilaku tamak dan rakus dari sebagian kapitalis. “Krisis ini menjadi pelajaran bagi tingkah buruk tersebut, dan biarkan saja krisis ini melibas kapitalis-kapitalis tamak dan rakus tersebut.” Pendapat seperti ini, yang keluar dari mulut mereka yang mengaku intelektual, yang bergelar master atau doktor, tentu saja menggelikan dan patut disayangkan. Kenapa untuk sampai pada kesimpulan seperti itu, harus bersekolah jauh-jauh dengan biaya yang tidak murah?

Ok, kembali ke topik. Apa ukuran ilmu sosial di Indonesia tidak berkembang? Saya bilang pada Philip. ”tidak fair membandingkan perkembangan ilmu sosial di Amerika dengan di Indonesia.” Situasi dan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan tradisi akademiknya bagai bumi dan langit. Saya kira, Philip setuju dengan saya. Tapi, saya mengatakan lebih lanjut padanya, “kenapa India dan juga Amerika Latin, perkembangan ilmu sosialnya begitu dahsyat?” Bukankah, kedua kawasan itu sama-sama miskin, penuh konflik dan juga terbelakang seperti Indonesia? Tapi, keduanya sanggup memunculkan teori-teori sosial yang mampu bahkan, seringkali mengkanvaskan teori ilmu sosial di Barat. India, misalnya, muncul dengan teori post-kolonialnya dan Amerika Latin dengan teori Ketergantungannya.

Saya lalu coba-coba mendaftar beberapa soal yang menyebabkan mandegnya ilmu sosial di Indonesia. Pertama, kemandegan itu harus dilacak sejak Orde Baru berkuasa. Hal itu ditandai oleh dilarangnya Marxisme sebagai mata ajaran di seluruh jenjang pendidikan. Ini sangat penting karena, anda tidak bisa belajar teori dengan benar dalam suasana akademik yang tidak demokratis. Misalnya, ketika pengajar mengatakan, Marxisme itu berbahaya, teori kelas itu tidak sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia, para murid tidak bisa bertanya “kenapa berbahaya dan kenapa tidak sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia?” Sekali murid bertanya, maka pengajar langsung curiga, “jangan-jangan si murid ini dari keluarga atau ada hubungan keluarga dengan orang-orang PKI.” Gila kan?

Katakanlah, si pengajar orang yang bijaksana dan terbuka pada pertanyaan seperti itu. Dan ia mau mendiskusikannya di ruang kelas, apa yang terjadi? Si pengajar dipanggil oleh atasannya, di cek “kebersihan dirinya,” lalu di wanti-wanti. Gila juga kan?

Celakanya, larangan itu masih berlaku hingga kini, masa dimana orang berbusa-busa bicara demokrasi dan keterbukaan. Dan kita dapati, para intelektual yang menghujat Marxisme dan teori kelas, tanpa memperjuangkan secara sungguh-sungguh demokratisasi dunia pendidikan. Dan sangat lucu, bagaimana mereka bisa menghujat Marxisme dan teori kelas, tanpa sungguh-sungguh memahami apa itu Marxisme dan teori kelas, mendiskusikannya secara terbuka dan egaliter? Lantas, darimana mereka belajar Marxisme? Sembunyi-sembunyi di malam gelap? Pantas, jika ada joke, “salah satu tanda seorang intelektual, adalah dia berkacamata.” Hah?

Selain itu, pelarangan mata ajaran Marxisme membuat para intelektual dan calon intlelektual di Indonesia, terputus dari akar tradisi akademik yang sangat besar dan sangat dalam di dunia ini. Bagaimana anda bisa memahami teori Weberian, Parsonian, Schumpeterian, Keynesian, Dahlian atau bahkan Hayekian, tanpa memahami Marxian? Bagaimana anda bisa memahami, pandangan dunianya Ali Syari’ati, Murtadha Mutahhari atau Sayyid Qutb, tanpa memahami pandangan dunianya ilmuwan sekuler? Perkembangan ilmu itu berlangsung secara dialektik, yang satu tidak mungkin berkembang tanpa yang lain, ia adalah hasil pergumulan tanpa henti, saling serang, saling kritik, yang satu mengafirmasi atau bahkan menegasi yang lain. Ilmu pengetahuan tak bisa berkembang atas nama yang suci, atau atas nama doktrin-doktrin yang turun dari langit.

Penyebab kedua mandegnya ilmu sosial di Indonesia, adalah tidak adanya penghargaan yang komprehensif terhadap para intelektual. Coba dengar kata alm. Soedjono, mantan orang kuat jaman Soeharto, “Intelektual nggak patut didengar, tidak ada unsur ketuhanannya,” (Tempo, 4-10/2/2008). Akibat turunannya, yang berlanjut hingga kini, tidak ada fasilitas perpustakaan yang lengkap, tidak ada mekanisme yang terukur dan teruji menyangkut peningkatan kualitas tenaga pengajar, tidak ada jurnal yang berbobot, tidak ada dukungan bagi penerbitan karya-karya akademik bermutu, serta tidak ada jaminan rasa aman bagi intelelektual dalam kerja-kerja akademiknya.

Kita tentu masih ingat kasus yang menimpa Arief Budiman cs dari universitas Satya Wacana, Salatiga, yang dipersona non gratakan, hanya karena mereka bersuara beda dengan kepentingan kekuasaan. Kasus paling anyar, tentu saja perlakuan keji terhadap almarhum Munir, yang dihabisi akibat kritik-kritiknya yang tajam. Dan hingga kini, kita masih saja mendengar, para intelektual yang bicara kritis, bisa segera di cap provokator, atau merusak suasana nyaman yang sangat dibutuhkan saat ini.

Ketiga, dua keadaan di atas telah membentuk budaya intelektual yang kering kerontang dan mentalitas cari aman serta penempuh jalan pintas. Kita tentu ingat dengan ungkapan ini, “karya terbesar intelektual di Indonesia, adalah disertasi doktoralnya.” Setelah itu, tak ada lagi, dan dalam waktu singkat mereka berbondong-bondong menjadi komentator atau menjadi manajer.

Kita akan dengan mudah menemukan mereka lewat artikel-artikel yang bertaburan di media massa. Bahkan, ada yang secara spektakuler sanggup menulis lebih dari dua artikel berbeda dalam sehari di media yang berbeda. Kita juga akan mudah melihat wajah mereka di layar kaca, menjadi pembicara atau host. Kalau kita ikuti perdebatan mereka di layar kaca, kita akan segera tahu betapa pandainya mereka bermain kata-kata.

Profesi lain dari para intelektual ini adalah menjadi manajer kampanye politik dari kandidat yang mereka dukung atau yang membayarnya. Jika kandidat yang mereka dukung menang, mereka ikut dalam kereta kencana kekuasaan, menjadi juru bicara atau tukang bisik penguasa. Kita jadi bingung, mereka omong sebagai intelektual yang harus menimbang secara cermat setiap kata yang diucapkan dan ditulisnya, atau mereka menjadi tukang pembenar segala langkah yang ditempuh patronnya. Hari ini omong A, besok omong B.

Kondisi ini dengan telak mematahkan asumsi yang luas diyakini selama ini, bahwa kesulitan terbesar dari tidak lahirnya karya-karya bermutu dari intelektual di Indonesia, karena rendahnya imbalan material buat mereka. Boleh jadi benar bahwa gaji para intelektual itu sangat rendah dibandingkan dengan rekannya di Amerika, misalnya. Tapi, kita tahu persis, kini sebagian dari para intelektual itu menikmati pendapatan yang sangat besar, bahkan ada yang telah menjadi kaya-raya. Hampir semua dari intelektual yang bergelar doktor itu punya proyek, apakah dalam bentuk LSM atau lembaga think-tank. Tapi, apakah kemudian mereka menghasilkan karya bermutu?

Justru karya bermutu, lahir dari intelektual asketis macam Sartono Kartodirdjo.***

Selasa, 04 November 2008

Pornografi dan Asumsi- asumsi Antropologis

Ignas Kleden*)

http://majalah.tempointeraktif.com/

Rencana Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pornografi (selanjutnya: RUU Pornografi) masih menimbulkan kontroversi yang luas dalam berbagai kelompok masyarakat Indonesia dan penolakan oleh beberapa kelompok budaya tertentu. Kalau kita membaca teks RUU Pornografi ini, apa yang jelas dalam teks itu hanyalah sanksi dan hukuman. Sementara itu apa yang tidak jelas adalah ketentuan mengenai apa yang dilanggar dan mengapa suatu tindakan atau suatu barang atau benda dianggap mengakibatkan pelanggaran.

Dalam pasal 1 ayat 1 RUU ini, dirumuskan suatu definisi yang mengartikan pornografi sebagai ”materi seksualitas yang dibuat manusia” yang dikualifikasikan sebagai ”dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat”. Dengan rumusan itu diandaikan bahwa secara publik dapat diketahui apa yang dapat membangkitkan hasrat seksual pada seseorang dan apa yang tidak, padahal pengetahuan tentang keadaan tersebut sulit sekali ditetapkan secara ilmiah, karena bersifat sangat subyektif. Kalau seorang pemuda melihat foto gadis pacarnya (dalam pakaian lengkap) kemudian muncul rasa rindu pada dirinya disertai imajinasi-imajinasi erotis dan hasrat seksual, apakah foto itu harus dibakar atau harus diserahkan kepada pemerintah daerah untuk dimusnahkan?

Kesulitan pertama dalam menghadapi teks RUU Pornografi ialah anggapan yang mendasari teks ini bahwa hasrat seksual adalah sesuatu yang buruk dan membahayakan keseimbangan masyarakat. Para legislator kita kiranya tahu juga bahwa hasrat seksual adalah suatu energi yang netral pada manusia, sama netralnya dengan nafsu makan, hasrat untuk jadi kaya atau terkenal, dan ambisi untuk berkuasa. Apalagi seksualitas itu, seperti ditunjuk dalam psikologi modern, merupakan energi yang jauh lebih luas dan menyebar dari sekadar seksualitas genital, karena bersifat sangat difus (seperti yang dibuktikan oleh Sigmund Freud dan Michel Foucault misalnya). Secara sederhana pun, kita akan paham bahwa tanpa hasrat seksual tidak ada kehidupan keluarga, dan tidak ada juga cinta antara manusia yang diekspresikan secara fisik, atas cara yang jauh lebih luas dan kaya daripada sekadar ”persanggamaan”, yang berulang kali disebut dalam teks RUU ini. Tanpa hasrat seksual mungkin tidak akan ada kesenian dan kesusastraan yang demikian memperkaya peradaban manusia.

Kesulitan nomor dua ialah anggapan bahwa manusia memberikan satu respons yang sama kepada satu stimulus yang sama. Kalau para legislator kita meluangkan sedikit waktu membaca buku-buku teks yang sederhana dalam ilmu psikologi, antropologi, atau sosiologi, mereka akan segera paham bahwa tingkah laku manusia sangat sulit diramalkan, karena hubungan di antara stimulus dan respons bersifat serba terbuka, dan hal inilah yang membedakan manusia dari binatang yang hidup hanya berdasarkan insting. Dalam kehidupan instingtif hubungan antara stimulus dan respons bersifat tertutup, karena stimulus yang sama akan mengundang respons yang sama. Kalau Anda menumpahkan darah di laut, hiu akan segera datang. Kalau Anda membuang sampah makanan di halaman rumah, lalat akan segera merubung. Akan tetapi, kalau seorang pengendara sepeda motor tertabrak mobil dan terbaring dalam keadaan berlumur darah di trotoar, respons orang-orang yang melihatnya akan berbeda-beda: ada yang segera menolong, ada yang menonton dari jauh, dan ada yang segera menghindar karena takut berurusan dengan polisi.

Dalam tingkah laku sosial selalu terlibat bahwa satu stimulus yang sama dapat menimbulkan sepuluh atau dua puluh respons yang berbeda, dan sebaliknya satu respons yang sama dapat muncul dari sepuluh atau dua puluh stimuli yang berbeda. Setelah Agus Condro membuat pengakuan bahwa dirinya telah menerima uang Rp 500 juta agar mendukung pemilihan Miranda Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004, dan setelah dia juga mengaku bahwa dia tidak sendirian telah menerima uang tersebut, respons anggota DPR RI lainnya bermacam-macam: ada yang menutup mulut, ada yang berpikir keras untuk mengembalikan uang itu, dan ada yang tetap berkelit dengan susah payah. Terlihat di sini bahwa satu stimulus (yaitu pengakuan Agus Condro) telah mengundang respons yang berbeda-beda dari anggota DPR RI yang lain (Tempo, 25-31 Agustus 2008). Sebaliknya, partai-partai politik sekarang ini sibuk membuat poster, membagi-bagikan kaus, turun ke daerah-daerah pemilihan, atau membiayai perjalanan mudik Lebaran, dengan tujuan menarik simpati calon pemilih. Berbagai-bagai stimuli diberikan untuk menghasilkan satu respons yang sama (yaitu agar orang-orang memilih partai bersangkutan dalam pemilihan umum).

Karena itu, bagaimana mungkin para legislator kita begitu berpretensi bahwa mereka tahu tentang hubungan di antara ”materi seksualitas yang dibuat manusia” dan keadaan ”yang membangkitkan hasrat seksual”? Sebuah film porno dapat menimbulkan rangsang seksual pada yang satu, rasa jijik pada yang lain, dan bahkan dapat membuat seseorang menjadi frigid. Kalau seseorang memandang Tugu Monas, dan timbul imajinasi seksual pada dirinya, apakah Tugu Monas harus dirobohkan?

Kesulitan nomor tiga ialah anggapan para legislator bahwa mereka mempunyai pengetahuan yang memadai tentang hubungan di antara ”materi seksualitas yang dibuat manusia” dan ”nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat”. Masyarakat yang mana? Masyarakat Indonesia terdiri dari demikian banyak kelompok budaya yang mempunyai nilai-nilai dan ukurannya sendiri tentang ”materi seksualitas” yang dianggap bersifat susila atau bukan. Orang-orang di Pulau Timor, Sabu, dan Rote akan berciuman dengan hidung kalau bertemu. Ini dilakukan antara laki-laki dan perempuan, antara laki-laki dan laki-laki, dan antara perempuan dan perempuan. Semua kita tahu juga kaum laki-laki di Papua akan mengenakan koteka dalam ucapara adat mereka—apakah semua ini sesuai atau tidak sesuai dengan ”nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat”?

Memastikan dari ruang sidang di Senayan tentang apa yang sesuai atau tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat Indonesia yang demikian plural dengan kebudayaan yang mungkin paling heterogen di dunia ini adalah tindakan yang tak dapat dipertanggungjawabkan, karena menganggap bahwa masyarakat Indonesia adalah homogen. Dapat timbul kesan bahwa para legislator ingin memaksakan ukuran-ukuran mereka sendiri tentang apa yang bersifat susila atau bukan, dan mengundangkannya atas nama masyarakat. Apalagi anggota masyarakat sendiri diberi wewenang oleh RUU ini agar turut mengawasi pelanggaran ketentuan mengenai pornografi dengan akibat pidana. Hal ini pasti menyulut konflik dan kekerasan antara kelompok-kelompok budaya, dan memberikan kemungkinan untuk main hakim sendiri di antara anggota masyarakat yang menjadikan alasan pornografi untuk menghabisi lawan politiknya.

Kesulitan keempat ialah anggapan bahwa segala sesuatu dapat diatur oleh undang-undang, dan karena itu harus diatur oleh undang-undang. Anggapan ini tidak benar dan harus ditolak. Karena, undang-undang tidak sanggup mengatur perasaan orang tentang keindahan, perasaan cinta, simpati, rasa bahagia, selera makan, dan penggunaan waktu senggang. Dalam kaitan yang sama undang-undang mustahil mengatur perasaan erotis dan hasrat seksual seseorang. Semua yang baru disebut itu mustahil diatur oleh undang-undang, dan hanya dapat diatur oleh kebudayaan dan pendidikan, baik pendidikan umum maupun pendidikan khusus dalam agama, atau dalam latihan-latihan yang bersifat kejuruan.

Kita tahu bahwa tidak pernah dibenarkan bahwa sebuah undang-undang disusun untuk mengatur bagaimana seharusnya seorang berpikir, meskipun percobaan untuk mengatur pikiran orang selalu menjadi godaan besar dalam sistem politik yang otoriter atau totaliter. Atas cara yang sama tidak pernah dibenarkan juga bahwa undang-undang mengatur perasaan orang, termasuk perasaan erotis dan hasrat seksual, sejauh perasaan-perasaan itu tidak diwujudkan dalam tindakan yang merugikan kepentingan orang lain. Indonesia akan ditertawakan oleh negara lain karena melakukan pelanggaran kemerdekaan orang dalam hal yang paling privat dan subtil.

Pada akhirnya RUU Pornografi dapat menimbulkan sinisme baru. Ada demikian banyak istilah yang berhubungan dengan seksualitas dalam teks RUU ini: persanggamaan, persanggamaan menyimpang, masturbasi, alat kelamin, menyajikan secara eksplisit alat kelamin, dan lain-lain. Kalau seseorang membaca istilah-istilah itu dan kemudian timbul hasrat seksual pada dirinya, apakah teks RUU ini pun harus dianggap sebuah pornografi?

*)Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID)

Minggu, 26 Oktober 2008

Kembali ke UUD 1945

Dian Purba

Sudah 63 tahun bangsa kita merdeka. Sesuatu yang janggal dan keterlaluan bila kita masih asyik dengan pertanyaan: apakah kita sudah merdeka dalam arti sebenarnya?

Kita bangga sebagai anak bangsa karena kita berhasil membuat penjajah lari pontang-panting dari negeri yang teramat kaya ini. Kita bangga sebagai anak bangsa karena memiliki tokoh sekaliber Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan yang lain. Kita bangga sebagai anak bangsa karena pernah berdaulat di bidang ekonomi. Semua kekayaan alam bangsa ini dikuasai sepenuhnya oleh anak bangsa. Nasionalisasi, kata yang sangat ditakuti kolonial (sekarang bertukar nama kapitalis) sebagai ajang pembuktian dari negeri ini bahwa negeri ini adalah milik kita. Sayang seribu kali sayang, itu semua tinggal kata-kata yang tertulis di buku-buku sejarah.

Undang-undang Penanaman Modal Asing disahkan setelah Orde Lama digantikan Orde Baru. Kelompok sakit hati yang tadinya “hartanya” diambil alih oleh negara, berbondong-bondong datang kembali. Berkedok pemerataan pembangunan, stabilitas politik, dan pertumbuhan ekonomi, bangsa ini digerogoti kembali. Sari pati bumi khatulisitiwa ini dikerok dan hasilnya dibawa ke negeri mereka. Tuntutan mereka macam-macam: mengurangi campur tangan pemerintah di bidang pasar, mencabut subsidi untuk rakyat, deregulasi yang menjamin keamanan berinvestasi. Mereka selalu yakin dengan istilah-istilah mereka: inverstasi asing, bisa membuat penghuni negeri ini lebih sejahtera. Dan belakangan kita semua tahu: itu semua bohong.

Rakyat tidak pernah lebih sejahtera. Rakyat tidak semakin sehat jasmani dan rohani. Pengangguran masih masalah yang teramat sulit diatasi. Kecerdasan anak-anak bangsa jauh di bawah kecerdasan bangsa lain yang, bahkan, baru saja merdeka. Ironis.

Ichsanuddin Noorsy menyebutkan ada lima indikator suatu perekonomian disebuat terjajah. Pertama, kepemilikan sumber daya, produksi dan distribusi. Kedua, bagaimana suatu bangsa memenuhi sektor pangan, energi, keuangan, dan infrastruktur. Ketiga, pasar domestik untuk kebutuhan primer dan sekunder dipasok siapa dan siapa yang mendominasi. Keempat, apakah suatu pemerintahan mempunyai kemerdekaan dan kebebasan mengambil kebijakan ekonomi dan terlepas dari pengaruh penguasa ekonomi dunia. Kelima, bagaimana sumber-sumber pendanaan APBN, dan apakah APBN memberikan hak-hak ekonomi sosial budaya.

Kenyataan di lapangan kita menjumpai bahwa semua indikator yang disebutkan di atas memenuhi syarat untuk sebuah negara disebut ekonominya terjajah. Inilah kenyataannya. Tak patut kita meratapinya. Kita membutuhkan pemimpin yang berkomitmen menjalankan UUD 1945. Karena menurut Hatta, “lebih baik kami melihat Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada melihatnya sebagai embel-embel abadi daripada suatu negara asing.”

Rabu, 22 Oktober 2008

Menggagas Kembai Budaya Membaca
(Diambil dari Buletin SADAR)
Cetak E-mail
Eka Pangulimara H*
Wednesday, 22 October 2008 (www.prp-indonesia.com)

baca.jpgMinat baca rendah bukan saja menggejala pada kalangan kurang berpendidikan, kalangan lebih terdidik pun lebih banyak yang malas baca ketimbang berasyik-masyuk dengan buku-buku. Contoh sederhana, mahasiswa universitas negeri sekalipun sedikit sekali yang membaca koran tiap harinya.

Membaca masih merupakan kegiatan yang “dinomersekiankan” dibanding menonton atau mendengar. Tidak aneh, di tengah kemeriahan tontonan populer yang disokong oleh tayangan-tayangan televisi, budaya membaca masyarakat boleh dibilang masih jalan di tempat. Gambaran yang lugas bisa kita ditemui dari rating penjualan buku-buku di toko buku yang tidak seberapa dan sepinya perpustakaan, baik perpustakaan sekolah, kampus maupun milik pemerintah daerah.

Aktivitas membaca sebenarnya bukan terletak pada saat–saat pengerjaan sebuah tugas. Namun, justru di sinilah kerap kita jumpai tradisi yang berkembang di masyarakat kita. Di bangku sekolah dasar misalnya, sebuah buku akan tergenggam seorang murid, jika terdapat PR, atau akan menghadapi ujian/test. Begitupun di bangku perguruan tinggi, buku akan dibaca serius, perpustakaan akan ramai dikunjungi, lagi-lagi karena ada semacam test ataupun penyusunan tugas akhir dan skripsi.

Bagi sebagian besar kaum buruh, membaca agak sering, terlihat apabila sedang mengalami suatu kasus. Keterpakasaan itu mendatangkan keharusan membuka Undang-Undang Perburuhan. Membolak-balik lembaran buku saku, dan terbitan serikat buruh. Mengamati perkembangan kasusnya yang tertulis di koran. Lebih dari itu, banyak pengurus serikat buruh perlu ekstra energi dan bermacam inisiatif mendorong anggotanya agar mampu meningkatkan kemauan membaca.

Dalam pengalaman seseorang semisal sekolah dasar kalau tidak melalui Taman Kanak-Kanak, kita bisa menemukan proses bagaimana manusia mulai belajar mengenal huruf, dan menyebutnya sebagai aktivitas membaca.

Membaca tulisan inipun, terang saja tak bisa lepas dari dialektika –gerak- pengalaman mula-mula, mengenal huruf seperti di atas. Lewat membaca kitapun bisa melalui lompatan-lompatan peristiwa dan, mendapati refleksi pertama kali kita belajar membaca. Asyik bukan?

Membaca tidak melulu berorientasi pada penyelesaian tugas, maupun sebuah hasil. Di kalangan penulis buku, mereka yang lebih memahami teknik menulis, dan piawai dalam penyerapan berbagai bacaan, memeroleh pengalaman tersendiri, hingga mereguk kenikmatan, tak kala, menjelujuri alur cerita dari apa yang ia baca. Sebut saja penulis buku berjudul “Dunia di Balik Jeruji” dan “Orang dan Partai Nazi di Indonesia” (Wilson). Sempat berkomentar panjang di sebuah halaman blogspot (via internet), yang memuat tulisan teman lama (Bung Buds) berjudul “Antara Penguatan Akar Rumput dan Strategi Politiknya di Era Neoliberalisme”. “Dengan tulisannya yang indah dan mengalir lancar,” terang Wilson.

Sejak dini

Faktor-faktor penyebab kesulitan dalam pembelajaran membaca bisa terentang dari persoalan lingkungan keluarga yang tidak kondusif, dominasi budaya non-baca, motivasi membaca yang rendah pada diri seorang anak, termasuk metode pembelajaran dahulu, atau kekinian yang kurang memadai yang diberikan guru.

Jika ditelisik, ternyata rendahnya minat baca bermula semenjak pembelajaran membaca diterima anak-anak sekolah dasar.

Membaca merupakan aktivitas auditif dan visual untuk memperoleh makna dan simbol berupa huruf atau angka. Aktivitas ini meliputi dua proses, yakni decoding – juga dikenal sebagai proses membaca teknis – dan proses pemahaman. Decoding merupakan proses pengubahan simbol-simbol tertulis berupa huruf atau kata menjadi sistem bunyi atau sejenisnya. Pada tingkat inilah seorang anak sekolah dasar menemui kesulitan pertama untuk membaca.

Beberapa penelitian mengklasifikan kesulitan membaca dalam lima hal; Pertama, kesalahan mengidentifikasikan kaitan bunyi-bunyian. Kedua, kebiasaan arah membaca yang salah. Ketiga, kelemahan kemampuan pemahaman. Keempat, ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan jenis bacaan dan kelima, kelemahan dalam hal kecepatan membaca.

Langkah nyata

Ada tiga langkah solusi yang cukup efektif untuk mengatasi beberapa kesulitan tersebut. Pertama, diperlukan kampanye budaya membaca yang intensif dan komprehensif. Untuk menjadikan masyarakat kita memiliki kebudayaan membaca yang kuat. Kampanye ini harus dimulai dari tingkat terendah baik itu di dalam keluarga (entitas terkecil dalam lingkungan masyarakat), dan juga di setiap sekolah dasar. Simaklah layar televisi kita setiap hari, dari segudang iklan, dan tontonan tak bermutu lainnya, nyaris tidak ada suatu tayangan berisi kampanye budaya membaca, barang sesekali dalam sebulan.

Kampanye budaya membaca mesti sampai kepada masyarakat luas, di setiap lapangan pekerjaan dan profesi. Kampanye ini cukup berkorelasi terhadap proyeksi sistem dan anggaran pendidikan negara. Kalau saja sistem dan anggaran pendidikan ini berbasis kerakyatan? Kontrol dan peran masyarakat sebagai penerima hak atas pendidikan yang memadai tentu saja berbarengan dengan pengadaan infrastruktur yang memudahkan masyarakat untuk mengakses beragam bacaan.

Kondisi ini tidak terlepas atas pembiayaan membeli buku. Sehingga pemerintah perlu menjamin keberadaan harga buku yang murah, mulai dari buku pelajaran di sekolah, perguruan tinggi, dan buku-buku pengetahuan umum lainnya. Dibutuhkan suatu gerai penyedia buku di banyak tempat menurut hirarki teritorial pemerintahan, dimana pemerintah berperan menyediakannya, dengan ongkos beli yang tidak mahal!

Yang kedua, taman bacaan berbasis kegiatan. Salah satu aspek penting keberadaan taman bacaan bukanlah sekedar satu ruang berisi buku-buku yang ditumpuk begitu saja. Taman bacaan memerlukan aktivitas tambahan yang menjadi magnet bagi warga sekitar akhirnya merubung tempat tersebut. Dengan bekal tantangan seperti ini, taman bacaan tak seperti gula bagi semut. Perlu ada rekayasa, program-program dan terutama aktivitas riil sehingga mampu mengundang calon pengunjung setia. Lebih menarik lagi jika para pengguna perpustakan akhirnya malah terlibat dalam banyak kegiatan perpustakaan.

Tiadanya aktivitas inilah salah satu hal yang membuat perpustakaan daerah kebanyakan kusam dan berdebu, di samping minimnya koleksi. Padahal, mal sekalipun (yang jauh lebih menarik dalam penampilan dan kesan), selalu pro-aktif menyelenggarakan acara-acara.

Kegiatan-kegiatan seperti apakah yang bisa diaktifkan oleh taman bacaan? Banyak dan sangat bervariasi. Kegiatan tersebut bisa langsung berhubungan dengan buku, contohnya bedah buku, temu pengarang/penulis atau aktivitas kampanye peningkatan minat baca lainnya (misalnya mendatangkan selebritis pecinta buku sesekali). Bahkan, jika memiliki tenaga yang memadai, taman bacaan juga dapat menerbitkan buku-buku atau buletin reguler. Tujuannya untuk mewadahi kreativitas pembaca, info buku-buku baru dan menularkan gemar baca ke semakin banyak orang.

Namun aktivitas taman bacaan juga bisa tak berkaitan langsung dengan buku. Kegiatan lain dapat saja diselenggarakan, misalnya mengadakan lomba-lomba untuk anak-anak (melukis, mewarnai atau menulis), teater, baca puisi/cerpen, tari-tarian bahkan pertunjukan musik sederhana. Oleh karena itu, sangat penting bagi pengelola taman bacaan berjejaring dengan pihak-pihak lain. Di Solo pengelolaan ini dilakukan oleh salah seorang sastrawan dari kota Bengawan Joko Sumantri, dengan Rumah Sastra-nya. Malahan di Wonosobo, mantan TKW Maria Bo Niok, selain kini berpredikat sebagai novelis, ia juga aktif mengelola “Istana Rumbia” sebuah nama dari taman bacaan yang ia miliki.

Langkah nyata terakhir yang bisa diambil sebagai pilihan adalah dengan model tutor sebaya. Tutor sebagai istilah teknis secara umum diartikan sebagai suatu proses yang melibatkan seseorang untuk memberikan bimbingan dan bantuan belajar kepada orang lain. Seseorang sebagai teman sebaya yang bisa diajak sekaligus berdiskusi mengenai isi bacaan, dan manfaat pengalaman membaca tidak sekedar menghafal, akan tetapi menjadi suatu proses mengkaji.

Teringat pengalaman subyektif penulis beberapa waktu yang lampau dalam memahami indahnya budaya membaca, di tengah kesepian, keheningan, dan kesendirian, seorang teman lama, pernah berujar, “Jadikanlah setiap buku yang kau baca, sebagai kapak yang akan memecah lautan beku di dalam hatimu.”

*Penulis adalah Pengurus Pusat Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) dan anggota PRP Komite Kota Jakarta Raya