Minggu, 31 Agustus 2008

UUD 1945 dalam Versi Lain

Tulisan di bawah ini adalah plesetan dari Undang-undang Dasar 1945 oleh Majalah Sendi yang berbasis di Jogjakarta. Ini adalah Tajuk Rencana yang ditulis secara kritis untuk menolak pembangunan Taman Mini Indonesia Indah. Pembangunan proyek ini sendiri mendapat penolakan massif dari kalangan mahasiswa dan juga beberapa intelektual kampus. Mereka menganggap pembangunan proyek ini sebuah kesia-siaan, karena di samping mengeluarkan dana cukup besar, kehidupan rakyat sangat memprihatinkan. Ketika ditanya tentang sumber dana proyek, Ibu Tien, penggagas utama dibangunnya TMII, mengatakan semua sumber dananya berasal dari Yayasan Harapan Kita. (Max Lane, BANGSA YANG BELUM SELESAI; Indonesia, Sebelum dan Sesudah Soeharto. Reform Institute, 2007)

Mukaddimah

Bahwa sesungguhnya hasil kemerdekaan itu ialah hak segelintir orang dan oleh sebab itu, maka penindasan dan ke-sewenang-wenangan layak terjadi, karena sesuai dengan kediktatoran dan militerisme.

Dan perjuangan sementara penguasa dan isterinya telah sampai kepada saat yang berbahagia sebab mumpung hidup dapat mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya.

Atas berkat rakhmat setan dan dengan didorongkan oleh keinginan untuk dipatuhi, maka penguasa rakyat indonesia dengan ini menyatakan kekuasannya.

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu penguasa yang kuat, yang memerintah segenap bangsa Indonesia, dan untuk menegakkan gengsi-gengsi pribadi, ikut memelaratkan bangsa, maka disusunlah ketetapan indonesia mini yang terbentuk dalam sebuah yayasan “Harapan Kita”.

Sekian

Rabu, 27 Agustus 2008

Selamat Datang Mahasiswa

27Aug08 / http://readresist.wordpress.com/

Eko Prasetyo


Yang membuat semua berjalan dengan teratur
Adalah rasa takut dalam diri kita masing-masing
(Bill the Butcher, Gangs of New York)

Hari ini kalian menjadi saksi dari tragisnya dunia pendidikan. Menjadi mahasiswa dengan bekal seadanya dan apa adanya. Seadanya karena tak banyak orang yang begitu beruntung mencicipi bangku kuliah. Hitung berapa banyak kawan-kawan SMA kalian yang sanggup untuk meneruskan kuliah. Bukan sekedar tinggal di kampus: tapi bertempat di lembaga perguruan tinggi yang terbaik dan paling baik. Kampus-kampus hebat itu bukan untuk kalian, tapi untuk mereka yang beruntung. Beruntung karena uangnya bisa mengongkosi sumbangan gedung, sumbangan sukarela, sumbangan kuliah dan bentuk sumbangan lainnya. Apa adanya karena bekal pengetahuan yang sangat minim. SMU hanya bisa mengajarkan kisah sejarah tragis, ilmu patriotisme yang naif dan pelajaran berhitung yang mencemaskan. Dan lagi-lagi kalian beruntung karena lolos ujian nasional. Singkatnya kalian menjadi mahasiswa bukan karena kecerdasan tapi lebih banyak karena keberuntungan dan kemujuran.

Saksikan wajahmu hari ini. Tidak anak-anak, karena kehilangan senyum dan belum juga dewasa, karena tak ada kemandirian. Wajahmu hanya setengah kanak-kanak dan separoh dewasa. Itulah wajah yang dibesarkan dalam pendidikan yang terlampau menganggung-agungkan foto 3×4. Apa yang bisa dipotret dari wajah yang patuh, takut dan tampak ragu itu. Foto itu hanya memastikan dirimu yang patuh, taat dan agak naif. Tak ada tawa, tak ada sinisme dan yang ada wajah beku tanpa perasaan. Wajah kalian menyiratkan kekuatiran demi kekuatiran. Kuatir kalau nanti tak dapat pekerjaan usai kuliah; kuatir jika nanti kuliah tak bisa dapat nilai bagus; kuatir kalau nanti tidak bisa melanjutkan kuliah karena biaya. Kuatir adalah ekspresi dari jiwa kerdil yang suka ditindas. Kampus dan sekolah kalian sebelumnya memang telah berhasil dan bahkan sukses menanamkan jiwa penakut. Sekolah hanya menuntut seorang itu seperti robot: taat jika diperintah, pintar dalam ulangan dan baik pada tingkah laku. Jika begitu maka yang tinggal dalam diri kalian hanya badan dan seonggok nafas. Karena memang nyali, kemandirian dan kemauan keras sesungguhnya telah dicabut. Sekolah telah menenggelamkan itu dan kita disadarkan melalui cetakan foto 3×4 itu.

Kini kalian menjadi mahasiswa. Golongan yang begitu dipuja habis-habisan. Katanya mahasiswa itu agen perubahan. Tak ada perubahan negeri ini yang terjadi tanpa tangan mahasiswa. Demo-demo mahasiswa yang selalu dimuat di televisi membuat namanya terkenal di mana-mana. Dulu ada mahasiswa yang diculik, dipenjara hingga dibuang. Heroisme mereka membuat mahasiswa jadi lambang kebanggaan. Rasanya belum sah jadi mahasiswa kalau belum pernah sekalipun ikut demonstrasi. Demonstrasi seperti sebuah keyakinan dalam diri mahasiswa. Tak salah jika orang berpendapat kalau kehidupan mahasiswa berkisah antara cinta, buku dan pesta. Menyenangkan dan mengagumkan. Lihat saja kakak-kakak mahasiswa yang ada di sekitar kalian: percaya diri, gembira dan sangat antusias. Kampus telah menyulap semua kesedihan jadi rasa riang. Kampus telah membuat ketakutan jadi kenekadan. Walau ada cerita buruk tentang mahasiswa tapi itu hanya menegaskan kalau mereka bukan kumpulan dewa. Mereka adalah manusia muda yang tak luput dari sikap ngawur dan tanpa perhitungan. Kalau anak muda kok selalu berbuat benar, lurus dan bijak: itu namanya bukan orang tapi robot yang bertampang muda!

Tapi hari ini kalian mengikatkan diri pada kehidupan kampus yang memiliki tradisi pendidikan yang buram. Tempat teramai di semua sekolah atau kampus hanyalah kantin. Sebaliknya tempat paling sunyi adalah perpustakaan. Kelaparan bukan menimpa orang miskin tapi mahasiswa-mahasiswa muda yang letih menerima bahan kuliah. Pelajaran tidak membuat cerdik tapi membikin lapar. Pelajaran bukan membuat berani tapi jadi begitu penakut. Apalagi kampus-kampus makin gemar mengurung mahasiswa dengan absensi yang sangat ketat, disiplin dan sangat menyengsarakan. Mahasiswa hanya kelihatan ramai, riang dan gempita kalau ada di luar. Dalam ruang kuliah mereka jadi umat yang diam, lembek dan penuh keraguan. Ruangan kuliah sudah sunyi dari perdebatan karena pengajaran dan pementasan tak ada bedanya. Kerumunan banyak peserta kuliah seperti dengung lebah yang tidak menggigit. Mereka banyak tapi tak ada apa-apa; mereka berpenampilan menawan tapi tidak punya pikiran tangguh. Mereka seperti barisan robot yang hilir-mudik mendapatkan nilai dan takut kalau dianggap bodoh, tolol dan tidak sempurna. Pendidikan kita hanya menginginkan yang terbaik dan tidak memberi tempat untuk mereka yang gagal. Pendidikan tiba-tiba punya kemauan untuk melahirkan malaikat bukan manusia. Sungguh cita-cita tolol dan amat kejam.

Lalu untuk apa sebenarnya kalian kuliah di sebuah negeri yang sudah remuk-redam? Jika pekerjaan yang kalian harapkan; siap-siaplah menjadi pengangguran. Ada banyak sarjana menganggur dan lebih banyak lagi sarjana yang bekerja sia-sia. Lulusan fakultas hukum jadi jaksa yang begitu gampang disuap, lulusan kedokteran jadi dokter yang mahal layanannya; lulusan ekonomi hanya jadi menteri yang akalnya hanya menaikkan harga. Mereka memang bekerja tapi bukan untuk sebuah layanan bermakna tapi kesia-siaan yang semu. Mereka memakai baju yang penuh kehormatan tapi mereka mengerjakan kegiatan yang tak terhormat. Dan kalian menjadi pelajar di sebuah negeri yang mengalami kesusahan. Kita bersekolah di sebuah tempat di mana kelaparan jadi hiasan jalanan dan kemiskinan hanya bahan analisa. Mandat kalian besar dan tenaga kalian begitu lemah. Sedangkan pendidikan gagal untuk menjelaskan realitas ini dan lebih banyak menampilkan mimpi dan fantasi. Pendidikan tak pernah mendekatkan kalian dengan alam sekitar dan hanya menjamu keindahan, kebanggaan dan kenaifan. Pendidikan telah membuat kalian bangga menjadi majikan dan gengsi jika menjadi orang apa adanya. Karena itu pelajaran paling bermasalah di pendidikan kita ialah membaca, menulis dan berorganisasi. Ketiga ilmu itu dikalahkan oleh bilangan demi bilangan. Membaca yang membuat kita kenal dengan dunia nilai; menulis akan mengenalkan siapa kalian sebenarnya dan berorganisasi akan membuat kita tahu makna kebersamaan. Ketiga pelajaran itu lenyap dan tidak dianggap penting. Semuanya ditumpas habis karena mandat sekolah kini mirip dengan tugas bimbingan belajar: hanya ‘meluluskan’ siswa!

Saatnya kalian sadar kalau pendidikan tak memberi apa-apa. Jika kutanya apa yang kamu senangi ketika sekolah, jawaban anak-anak SMU di semua tempat sama: saat istirahat, waktu pulang dan ketika guru tidak masuk. Sekolah yang kita ingat hanyalah pengalaman berteman, berkawan dan bergaul. Itulah yang diam-diam mematangkan emosi kalian, yang mendekatkan kalian dengan kenyataan dan membuat kalian memahami tentang keajaiban. Kini mahasiswa sepatutnya meletakkan itu dalam kerangka organisasi. Organisasi adalah jalan untuk mematahkan pengalaman sesat berfikir dalam pendidikan. Tempat berorganisasi paling ideal sampai sekarang hanya berada di kampus. Selama tinggal di kampus cobalah untuk aktif dalam organisasi karena itulah esensi dari pendidikan: mengalami, menyelesaikan dan mengerjakan semuanya secara bersama. Pendidikan bukan sebuah tempat untuk melatih kecerdasan semata. Pendidikan lebih dari itu, ia menanamkan nyali, ia menaruh kecurigaan besar akan kemapanan. Pendidikan adalah latihan kita untuk melakukan pemberontakan, menghasut pertanyaan dan melahirkan tata perubahan baru. Hanya dikatakan dewasa jika orang berani mengambil tindakan dan bertanggung jawab atas tindakannya itu. Organisasi dan gerakan adalah roh dari pendidikan tinggi; bukan kuliah dan diktat ujian. Yang terakhir itu hanyalah ornamen pendidikan; ada untuk sekedar menandakan bahwa di sana terdapat kegiatan belajar-mengajar. Ada karena itulah ganti rugi dari uang yang kalian sedekahkan ke kampus ini. Bukan saja kalian yang beruntung tapi kampus ini beruntung karena masih bisa ‘meyakinkan’ kalian untuk tinggal disini. Sebab masih banyak anak muda nekad yang tak lagi percaya terhadap apa yang anda percayai sekarang ini.

Itu sebabnya dari pendidikan terbaik muncul siswa terbaik. Pendidikan kolonial bisa melahirkan seorang yang bernama Tan Malaka. Pria yang pendiam dan sekaligus pemikir yang tangguh. Dari tanganya kita tahu pentingnya menanamkan semangat anti kolonialisme. Tan Malaka paham bahwa jiwa kemerdekaan tak bisa ditindas dengan segala cara. Ia menyatakan dengan keras: merdeka 100%. Melalui pendidikan hadir pribadi besar dan agung yang bernama Soekarno. Laki-laki yang menyatukan bangsa ini dan membuat deklarasi kemerdekaan paling sederhana. Juga muncul pria saleh dan tertib yakni Hatta. Juga tampil pria budiman tapi bersahaja yang bernama Sjahrir. Muncul pula seorang nekad yang begitu pemberani yang bernama Amir Sjariffudin. Dan masih banyak pendiri bangsa ini yang dulunya adalah siswa dari pendidikan kolonial. Mereka mungkin tak terlampau rajin mengikuti sekolah, mereka mungkin juga tak begitu berat membawa buku, atau bahkan kurang begitu antusias untuk ikut lomba-lomba. Tapi mereka berhimpun dalam sebuah blok politik untuk menjadi ‘pemberontak’. Karena nyali mereka kalian bisa menikmati negeri ini dengan semua kebrengsekanya. Karena mahasiswa-mahasiswa yang bertipe seperti mereka-lah maka kampus menemukan makna terdalamnya. Tempat dimana kebebasan organisasi dijamin dan kebebasan intelektual dijaga. Sjahrir, Hatta, Soekarno menjadi mahasiswa bukan sekedar keinginan mendapat pekerjaan tapi mereka membuat pekerjaan untuk bangsa yang mereka hendak bangunkan. Soekarno menyebut diri sebagai ‘penyambung lidah rakyat’ karena memang itulah tugas seorang terpelajar.

Kini kalian punya kesempatan untuk menjadi ‘pemberontak’. Mengikuti jejak-jejak mereka. Sjahrir nekad tak menyelesaikan studi karena tugas berat untuk memerdekakan Hindia Belanda. Hatta bahkan berjanji tak akan menikah sebelum negeri ini merdeka. Dan Soekarno membantah perintah rektornya untuk tidak ikut berbagai kegiatan politik. Mereka bukan kumpulan anak-anak muda dungu yang serba penakut. Menaati semua perintah tanpa mau tahu maksud dan kepentingan apa di baliknya. Mereka bukan pula anak-anak muda yang begitu kagum dengan nilai atau sebaliknya terlalu mengkerdilkan makna belajar. Mereka seakan tahu bahwa kesempatan untuk kuliah ini merupakan ‘hutang’ yang harus dibayar. Mereka seolah tahu bukan karena biaya, kesempatan dan kepintaran mereka menjadi mahasiswa; tapi pengorbanan sekian ribu rakyat yang menderita. Mereka menjadi kaum terpelajar di sebuah negeri yang masih dijajah. Mereka memang ada yang tidak berhasil menjadi sarjana; tapi mereka lulus dalam ujian kehidupan. Mereka memerdekakan negeri ini. Jadi, kampus akan menjadi tempat yang membuktikan siapa diri kalian sebenarnya: anak penakut yang selalu kuatir pada masa depan sehingga mengikuti apa saja yang dinyatakan; atau anak pemberani yang merasa bahwa tugas menjadi mahasiswa bukan sekedar kuliah-kuliah-kuliah. Tugas jadi mahasiswa, persis seperti dibilang Hatta, penggerak akal sehat dan pecinta akal-budi. Karena itulah alasan yang patut kalian tinggal dan berada di kampus ini.

Selasa, 26 Agustus 2008

Ternyata Wiji Thukul juga Golput

Hari Ini Aku Akan Bersiul

Wiji Thukul

pada hari coblosan nanti

aku akan masuk ke dapur

akan kujumlah gelas dan sendokku

apakah jumlahnya bertambah

setelah pemilu bubar?

pemilu o pilu pilu

bila hari coblosan tiba nanti

aku tak akan pergi ke mana-mana

aku ingin di rumah saja

mengisi jambangan

atau menanak nasi

pemilu o pilu pilu

nanti akan kuceritakan kepadamu

apakah jadi penuh karung beras

minyak tanah

gula

atau bumbu masak

setelah suaramu dihitung

dan pesta demokrasi dinyatakan selesai

nanti akan kuceritakan kepadamu

pemilu o pilu pilu

bila tiba harinya

hari coblosan

aku tak ikut berbondong-bondong

ke tempat pemungutan suara

aku tidak akan dating

aku tidak akan menyerahkan suaraku

aku tidak akan ikutan masuk

ke dalam kotak suara itu

pemilu o pilu pilu

aku akan bersiul-siul

memproklamasikan kemerdekaanku

aku akan mandi

dan bernyanyi sekeras-kerasnya

pemilu o pilu pilu

hari itu aku akan mengibarkan hakku

tinggi-tinggi

akan kurayakan dengan nasi hangat

sambel bawang dan ikan asin

pemilu

o pilu pilu

sambel bawang dan ikan asin

10 november 96

Rabu, 20 Agustus 2008

Orang Golput Orang Bijak

Dian Purba

Golongan putih (golput) yang digagas oleh Arief Budiman dan kawan-kawan tahun 1972 kini menemukan gemanya kembali. Dari beberapa pemilihan kepala daerah (pilkada) golput tidak tersisihkan dari peringkat pertama perolehan suara. Mari kita lihat faktanya.

Golongan putih memenangkan pilkada Jawa Timur yang digelar pada 23 Juli lalu. Berdasar hasil final penghitungan suara, golput (golongan putih) "meraih" 327.037 suara. Daftar pemilih tetap (DPT) 809.100. Berarti, warga yang tidak menyalurkan hak politiknya mencapai 40,42 persen (VHRmedia.com). Dalam pilkada Sumatera Utara golput memperoleh suara sebesar 5 juta orang atau 43 persen. Hasil rekap suara pemilihan kepala daerah Kalimantan Timur yang dilakukan KPUD Balikpapan menunjukkan hasil yang mencegangkan. Setidaknya 50 persen suara dari para pemilih di Tingkat II Kabupaten/Kota Balikpapan memilih golput (okezone.com). GOLPUT menang di pilkada Jabar. Sebesar 34,67 persen (kompas.com).

Tentunya fenomena ini membuat semua jajaran partai garut-garut kepala. Mereka dipusingkan karena gagal duduk di kursi-I di daerah. Sementara itu mereka sudah menghamburkan begitu banyak uang mulai dari masa pra-kampanye sampai proses pencoblosan suara. Bahkan ada satu calon yang kalah dalam pilkada mendapat predikat baru: orang gila. Yuli, nama sang calon, kalah dalam pemilihan bupati Ponorogo periode 2005-2010. Tidak sekedar kalah, Yuli juga terbelit utang. Yuli meminjam uang hingga hampir Rp 3 miliar. Setelah dinyatakan kalah oleh KPUD Ponorogo, Yuli pun mendapatkan tagihan pinjaman bertubi-tubi. Ia tidak bias membayarnya. Tingkah lakunya mulai aneh-aneh. Ia mulai cengar-cengir sendirian tanpa alas an. Kadang-kadang berteriak histeris. Bahkan, ia turun ke jalan raya sambil berteriak menirukan gaya yang ia gunakan semasa kampanye dengan hanya mengenakan celana dalam (Media Indonesia, 11/8). Ternyata golput cukup berhasil “menggilakan” sang calon kalah.

Kenapa harus golput?

Slogan yang dipampang oleh KPU di depan kantornya adalah Orang Bijak Tidak Golput. Butuh kehati-hatian dalam mengeluarkan sebuah slogan. Slogan inilah yang dibaca oleh masyarakat luas. Masyarakat yang sudah mengerti tentang esensi sebuah pemilihan umum tentunya akan tahu bahwa slogan tersebut harus dipertanyakan kebenarannya.

Lantas timbul pertanyaan, mengapa orang golput? Atau pertanyaan ini bisa disandingkan dengan pertanyaan, untuk apa pemilihan umum?

Kita kembali ke gerakan yang dicetuskan oleh Arief Budiman dan kawan-kawan. Mereka memrotes pemerintah Orde Baru saat itu karena melarang Masyumi dan PSI berdiri. Saat itu ada pemaksaan bagi rakyat untuk memilih Golkar. Kemudian mereka mengeluarkan semacam “manifesto golput”. Ada beberapa hal yang terkandung di manifesto tersebut.

Golongan putih bukanlah sebuah atau suatu organisasi. Golput ada karena protes terhadap pemerintah karena telah menginjak-injak aturan permainan demokrasi oleh partai politik. Golput tidak melanggar hokum. Golput ada justru utnuk menguatkan kekuatan hukum. Golput harus dilihat sebagai pendidikan politik bagi masyarakat. Tujuannya untuk membuat orang berpikir kritis. Penguasa tidak berhak memaksakan rakyat untuk menggunakan hak suaranya. Pendirian yang berlainan dengan pendirian penguasa harus dilindungi supaya tradisi berdemokrasi yang sehat senantiasa terpelihara.

Pemilu 2009

Kita memulai dari sebuah pertanyaan untuk menyambut pemilihan umum (pemilu) 2009: apa yang bisa diharapkan dari pemilu 2009?

Setelah Soeharto lengser Indonesia memasuki babak baru dalam berdemokrasi. Kotak Pandora yang selama ini tertutup rapat pelan-pelan terbuka. Dalam keterbukaan itu kita belajar merangkak, berjalan, dan bahkan suatu hari nanti berlari dalam menggunakan demokrasi sejati. Beberapa undang-undang baru pun dibuat. Salah satunya adalah undang-undang pemilu. Rakyat yang tadinya memilih pemimpin mereka bagaikan membeli kucing dalam karung, kini sudah bisa memilih sesuai dengan pilihan mereka sendiri. Pemilu pertama (2004) dimana rakyat memilih langsung pemilihnya pun dilaksanakan. Partai-partai “bebas berdiri”. Masyarakat mencoblos sesuai pilihan mereka. Kita kemudian mendapatkan pemenang: Susilo Bambang Yudhono berpasangan dengan Jusuf Kalla.

Rakyat menaruh harapan yang begitu besar kepada mereka. Krisis ekonomi yang belum juga berakhir menghancurkan penghidupan sebagian besar rakyat Indonesia. Pemerintah baru berjanji akan mengangkat kaum miskin dari posisi “permanen” yang sudah teramat lama mereka diami.

Di awal pemerintahannya rakyat terkejut bukan kepalang. Tiga bulan setelah memerintah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak. Jumlah penduduk miskin bertambah. Pemerintah menggunakan kebijakan sepihak tanpa merasa perlu mengetahui kondisi objektif rakyat seperti apa. Jurang antara orang kaya dengan orang miskin semakin menganga bagaikan jurang tak terseberangi. Daya beli masyarakat menurun drastis. Tingkat pengangguran yang dijanjikan akan diminimalkan jumlahnya ternyata menempuh jalan buntu. Masyarakat kesulitan untuk mengakses pendidikan bermutu. Biaya berobat harganya selangit. Seabrak persoalan inilah yang membuat masyarakat bertanya: kok beda ya kenyataannya dengan jani manis semasa kampanye? Pemerintah terkesan menutup semua perangkat untuk mendengar aspirasi yang berkembang di masyarakat.

Kejadian yang sama berulang kembali di tahun 2008 pemerintahan SBY-JK. Harga BBM naik lagi. Masyarajat yang di tahun 2004 sudah jatuh dari garis kemiskinan kini menempati posisi yang baru: masyarakat miskin tertimpa garis. Menjelaskan kondisi ini cukup dengan membuka mata dan hati nurani, maka kita akan melihat begitu transparan betapa kehidupan ini bukanlah kehidupan untuk sebuah bangsa yang sudah “merdeka.”

Sebentar lagi “kita” akan menyelenggarakan pemilu. Rakyat kembali memainkan perannya sebagai “rakyat” yakni peserta pencoblos suara di bilik suara sekali dalam lima tahun. Apa yang kita harapkan dari pemilu 2009?

Arief Budiman pernah berkata bahwa demokrasi Indonesia telah kembali. Namun, demokrasi ini hanya memberikan kita kesempatan memilih politisi busuk. Sampai detik ini kita belum menemukan calon-calon baru yang lebih muda. Semua yang sudah mendeklarasikan dirinya maju di pemilihan presiden mendatang berasal dari generasi 4L: lho lagi lho lagi. Sekedar menyebut beberapa nama, Sutioso, Gus Dur, Megawati, Amien Rais. Semua mereka sudah berkepala enam. Artinya mereka sebentar lagi akan memasuki era pensiun dalam kemampuan untuk berkarya. Kita tidak melihat perubahan mendasar yang mereka lakukan semasa mereka berkuasa. Kehidupan rakyat tidak kunjung membaik.

Partai politik yang mencalonkan mereka cenderung untuk mendukung habis-habisan segala kebijakan yang dikeluarkan sekalipun itu sangat menyakitkan hati rakyat. Partai politik tidak memiliki tanggung jawab terhadap konstituen yang memberikan dukungan. Partai sama sekali tidak merepresentasikan kepentingan rakyat. Partai sama sekali tidak mampu menyediakan pemimpin alternatif yang pro-perubahan.

Dengan demikian golput menjadi halal karena memang materi yang tersedia untuk kita pilih sangat terbatas, tidak berbobot, ada di bawah standar, dan tidak bermutu. Kita tidak mau memilih para politi busuk yang gemar korupsi, pelanggar HAM, perusak lingkungan, pengguna narkoba, pelaku kekerasan terhadap perempuan, dan juga dewan bersih namun tidak menunjukkan kinerja apa pun.

Golput di pemilu mendatang kita maknai sebagai aksi protes terhadap partai dan juga calon-calon seperti yang sudah dikemukakan di atas. Fadjroel Rahman mengatakan bahwa kita tidak cukup hanya golput saja tanpa berangkat dari kesadaran bahwa demokrasi itu mengandung kebebasan sejati. Kita harus memilih sebagai golput aktif. Golput aktif artinya menyumbangkan kemampuan intelektual, membantu menyebarkan informasi, demonstrasi, diskusi, seminar, kampanye di media massa, dan lain-lain. Golput merupakan mosi kepercayaan terhadap masa depan demokrasi, sekaligus mosi terhadap partai politik maupun capres-cawapres yang ditawarkan. Yah, ternyata orang bijak lebih memilih golput. ***