Selasa, 25 Maret 2008


Kesetaraan Gender: Fakta atau Mitos?
Oleh Ken Budha Kusumandaru*
Friday, 21 September 2007

(Disadur dari prp-indonesia.org)

Baru-baru ini, MetroTV menayangkan satu liputan mengenai kampanye “Jangan Bugil di depan Kamera.” Kampanye ini ditujukan untuk menangkal maraknya video adegan seks amatir yang beredar di internet. Sejak peristiwa yang dikenal sebagai “Bandung Lautan Asmara,” seakan orang berlomba membuat video seks yang makin lama makin spektakuler. Di samping itu, salah satu produk pembalut wanita memakai tagline “Stay Virgin, Stay Healthy” – jaga keperawanan, jaga kesehatan.

Perda-perda yang mendiskriminasi perempuan juga makin lama makin banyak. Mau tidak mau, aku teringat program-program tayangan televisi dan kampanye publik yang konon dilancarkan di Amerika di pertengahan 1950-an. Nuansanya sama – yang paling menyolok adalah tekanan represif terhadap peran seksualitas perempuan. Aku jadi tergugah untuk meneliti kembali peran seks dan gender dalam masyarakat manusia. Dan, cara yang terbaik untuk ini adalah dengan kembali pada penelusuran sejarah, terutama perjalanan evolusi mahluk hidup sampai menghasilkan spesies yang kita sebut Manusia.


1. Laki-laki dan perempuan, sebuah strategi evolusi
Di bumi ini, kita hanya mengenal dua macam cara untuk mengadakan reproduksi (proses menghasilkan keturunan), yakni seksual dan aseksual. Proses reproduksi aseksual terjadi dengan apa yang disebut reproduksi vegetatif atau membelah diri. Virus, bakteri dan beberapa bentuk kehidupan yang lebih sederhana mengandalkan cara ini untuk reproduksi. Sementara yang seksual mengandalkan pembedaan sel reproduktif menjadi sel “jantan” dan “betina”. Yang kita sebut “tumbuhan” berada di perbatasan antara kedua cara ini, seringkali kita membiakkan tumbuhan melalui proses vegetatif (misalnya dengan setek atau kultur jaringan) tapi normalnya perbiakan tumbuhan terjadi melalui proses seksual (yakni pembuahan putik bunga oleh serbuk sari). Sementara “hewan” melakukan proses perbiakan secara eksklusif dengan proses seksual.

Proses aseksual diperkirakan muncul pada sekitar 4 Ga (Giga annum = milyar tahun lalu) dalam bentuk penggandaan RNA (ribonucleicacid – asam ribonukleat, bahan dasar yang berfungsi menyampaikan materi genetik), yang kemudian disusul bentuk yang lebih maju yakni virus. Namun demikian, proses ini belum lagi dapat disebut “pembiakan” dalam pengertian modern. Walau demikian, hal ini cukup mengejutkan karena berarti jarak antara pembentukan bumi (diperkirakan 4,5 Ga) dengan munculnya benih-benih kehidupan di bumi hanya berjarak 500 juta tahun – waktu yang relatif singkat dalam sejarah bintang-bintang. Pembiakan aseksual pertama, pada mahluk yang saat ini kita golongkan sebagai hidup, muncul sekitar 2,5 Ga. Pembiakan aseksual ini berkembang menjadi pembiakan seksual, yang diperkirakan mulai muncul pada 1 Ga (1 milyar tahun tahun lalu). Diperkirakan, inilah saat awal kemunculan Kingdom Fungi (jamur) dan Animalia (hewan) di muka bumi. Setelah bergulat dengan keadaan “hidup-belum-mati-sudah tidak”, yakni keadaan viral (bentuk kehidupan seperti virus) selama hampir 1,5 milyar tahun, dan menghabiskan 1,5 milyar tahun berikutnya dalam cara perbiakan aseksual, kehidupan di bumi “menemukan” cara berbiak lain yang lebih canggih.

Tapi, sampai 1 milyar tahun lalu, bentuk kehidupan di bumi ini hanya berupa sel-sel tunggal. Baik digolongkan sebagai bakteri, jamur maupun hewan, bentuk kehidupan masih sangat sederhana, yakni masing-masing “individu” hanya terdiri dari satu sel saja. Bentuk kehidupan multi-selular (bersel banyak) muncul pada 500 Ma (Million annum = juta tahun lalu). Yang menakjubkan, desain dasar dari bentuk-bentuk kehidupan yang muncul dalam apa yang disebut “Ledakan Kambrian” ini tetap tidak berubah sampai sekarang. Berbagai macam variasi bentuk kehidupan kita lihat berganti memenuhi muka bumi, tapi desain dasarnya tetap sama – terutama pola reproduksi seksual.

Jadi, pembagian peran antara laki-laki dan perempuan (atau “jantan” dan “betina” secara lebih umum) merupakan satu strategi evolusi yang telah berusia sekurangnya 1 milyar tahun. Dan, kita lihat dari garis perjalanan evolusi kehidupan di muka bumi, begitu pola reproduksi seksual muncul, perkembangan kehidupan berjalan dengan amat cepatnya. Selama sekurangnya 3 milyar tahun, evolusi hanya menghasilkan mahluk-mahluk bersel tunggal. Tapi, begitu perbiakan seksual terjadi, hanya dibutuhkan 500 juta tahun untuk munculnya mahluk bersel-banyak. Dan dalam 500 juta tahun berikutnya, kita melihat kemunculan mahluk-mahluk yang makin lama makin menakjubkan, yang raksasa seperti dinosaurus atau yang cerdas seperti manusia.

Jika kita anggap sejarah bumi ini terjadi dalam 24 jam dan bumi terbentuk pada pukul 00.00 tengah malam, benih-benih kehidupan mulai muncul pada pukul 02.40 pagi. Mahluk “hidup” yang berbiak secara aseksual muncul sekitar pukul 08.00 pagi. Sekitar pukul 16.00 sore, perbiakan seksual mulai terjadi. Mahluk bersel banyak mulai menampakkan diri pada pukul 18.40 petang. Dinosaurus mulai merajai bumi pada pukul 23.00 malam dan punah pada pukul 23.39. Proses evolusi ke arah manusia dimulai pada pukul 23.58 lewat 5 detik. Manusia purba mulai menggunakan alat pada pukul 23.59 lewat 22 detik. Dan Homo sapiens mulai merambah permukaan bumi pada pukul 23.59 lewat 58 detik. Jika kita menggunakan bumi sebagai tolok ukur, kita ini baru sekejap mata saja ada di muka bumi. Dan dalam sekejap ini, manusia sudah sampai di tahap yang mampu menggulingkan proses evolusi alami. Ini adalah kasus klasik dari proses negasi dari negasi, di mana yang baru akan menggulingkan yang lama – dan jarak antar penggulingan ini terjadi semakin lama semakin pendek.

Hal ini dimungkinkan karena perbiakan seksual memaksa terjadinya kocok ulang dalam materi genetik kehidupan, yakni RNA dan DNA (deoxyribonucleicacid – asam deoksiribonukleat, materi genetik, bahan dasar pembentuk sel yang diwariskan pada keturunan). Jika perbiakan terjadi secara vegetatif atau aseksual, keturunan biasanya hampir sama persis dengan induknya. Kita harus menunggu terjadinya mutasi yang signifikan sebelum keturunan menghasilkan sesuatu yang berbeda. Itupun belum tentu menghasilkan hal yang menguntungkan dalam proses adaptasi terhadap lingkungan. Kebanyakan mutasi mati atau layu sebelum berkembang. Proses pengembangan bentuk-bentuk kehidupan berjalan amat lambat jika dilakukan dengan proses aseksual. Tapi, dengan proses seksual, hanya setengah dari rantai DNA jantan yang terlibat dalam proses perbiakan. Setengahnya lagi datang dari yang betina. Ini memaksa proses kocok ulang dan perubahan yang signifikan terjadi pada keturunan. Yang kita lihat sekarang, semua hasil keturunan dari proses seksual selalu mirip dengan induk (“ibu” dan “ayah”)-nya. Tapi sama sekali tidak sama. Keturunan adalah individu yang berbeda susunan genetiknya dari mereka yang menurunkannya.

Strategi perbiakan seksual merupakan hal yang menguntungkan bagi evolusi karena memungkinkan munculnya perubahan-perubahan yang sesuai dengan perubahan dalam lingkungan alam di mana mahluk tersebut hidup.

2. Permainan gender, strategi keberlangsungan spesies
Ketika perbiakan seksual muncul pertama kali, bentuknya masih sangat sederhana – misalnya yang kita lihat pada tumbuhan. Pada kebanyakan jenis tumbuhan, putik dan tepung sari ada di satu bunga, atau bunga jantan dan betina muncul bersamaan di pohon yang sama. Ada jenis lain yang telah membedakan antara pohon jantan dan pohon betina, tapi jenisnya tidak banyak. Agar terjadi pembiakan seksual, sifat tepung sari yang ringan dan mudah dibawa angin merupakan kuncinya. Dengan mudahnya tepung sari lepas dari wadahnya, angin dan beberapa jenis serangga dapat membantu perbiakan seksual – yang pada tumbuhan kita sebut penyerbukan.

Persoalannya menjadi lebih rumit di dunia hewan, di mana pembedaan antara mahluk jantan dan mahluk betina sudah berlangsung semakin lama semakin sempurna. Beberapa di antara anggota dunia hewan yang lebih sederhana masih menyisakan sistem perbiakan tumbuhan, yakni yang kita sebut hermafrodit (berkelamin ganda), seperti belut. Kerumitan ini muncul dari proses perbiakan ini sendiri. Dengan pembedaan yang tajam antara jantan dan betina, dibutuhkan proses kopulasi (injeksi sel jantan kepada sel betina). Proses kopulasi adalah proses yang (di alam liar) membahayakan, karena dua mahluk yang terlibat dalam proses ini harus mencurahkan perhatian pada proses ini sehingga ia akan rentan pada ancaman pemangsa atau bahaya lain di sekitarnya. Hewan-hewan tidak bisa begitu saja melakukan kopulasi di manapun dan kapanpun – karena mereka bisa dimangsa ketika sedang melakukannya. Oleh karena bahaya ini, maka masing-masing spesies hewan mengembangkan cara-cara untuk memberi tanda agar proses ini dapat dilakukan secara paling ekonomis. Ekonomis di sini berarti saat di mana proses kopulasi dipastikan menghasilkan keturunan (yakni ketika si betina berada dalam masa subur) dan bagaimana proses ini dapat menghasilkan keturunan dengan kualitas terbaik (artinya si betina mendapatkan benih dari pejantan berkualitas unggul). Salah satu proses evolusi terpenting dalam dunia hewan adalah pengasahan terhadap kemampuan anggota spesies menerapkan efisiensi dan efektivitas dalam perbiakan seksualnya.
Oleh karena proses peningkatan efisiensi dan efektivitas inilah kita menemui berbagai perilaku dan perubahan struktur tubuh yang digunakan hewan-hewan dalam proses yang kita sebut “musim kawin”. Pemastian bahwa betina berada dalam masa subur seringkali dilangsungkan dengan mekanisme di mana masa subur itu hanya terjadi dalam waktu tertentu dalam setahun – ini terutama terjadi pada hewan yang bersifat sosial atau berkumpul dalam kawanan. Pada rentang waktu yang relatif sempit ini, hampir semua betina yang telah mencapai kematangan seksual (mampu menghasilkan sel telur) mengalami masa subur secara bersamaan. Dengan demikian, begitu banyak pasangan melakukan kopulasi pada saat bersamaan. Ini meningkatkan persentase peluang untuk bertahan hidup, karena pemangsa cukup memilih salah satu atau beberapa pasangan, sementara pasangan lain akan selamat. Ini prinsip yang disebut “keamanan dalam kawanan” (safety in numbers) – prinsip yang digunakan juga dalam aksi massa, di mana orang yang berada di tengah barisan dan berdisiplin biasanya adalah orang yang selamat ketika aksi massa mengalami represi.

Cara lain yang digunakan beragam dan begitu menakjubkan. Gajah betina, misalnya, mengabarkan bahwa ia sedang subur dengan menghentakkan kakinya dengan irama tertentu. Getaran yang merambat di permukaan tanah dapat “didengar” dengan indera khusus yang terdapat pada telapak kaki gajah jantan yang berada sampai 4,5 kilometer jauhnya dari si betina. Dengan petunjuk kekuatan getaran dan arah datangnya, seekor gajah jantan dapat menemukan si betina dengan mudah. Beberapa jenis kera lebih vulgar, karena bila si betina sedang subur, ia akan berjongkok di depan para jantan, memamerkan alat kelaminnya, memancing para jantan untuk mendekatinya. Rusa betina, di lain pihak, terasa lebih “sopan” karena mereka hanya mengeluarkan bau khas ketika sedang subur. Dengan mengikuti petunjuk dari indera penciumannya, rusa jantan akan menghampiri si betina.

Untuk proses pemilihan calon ayah terbaik (yang berkualitas paling unggul), proses evolusi juga menghasilkan berbagai hal yang mencengangkan dan kadang tidak masuk akal kalau dipandang dari pertimbangan evolusioner. Misalnya saja, kita tahu burung merak jantan akan memamerkan bulunya yang lebat dan indah itu untuk memikat si betina. Ini agak aneh, karena warna bulu yang menyolok itu akan mengundang predator (pemangsa). Berbagai jenis hewan berkuku belah (ungulata), seperti sapi, kuda atau rusa, akan mengadu para jantan untuk memperebutkan hak kawin. Ini juga menyulitkan dalam proses bertahan hidup, karena pejantan terkuat akan kelelahan setelah bertarung dan rentan terhadap pemangsa.

Para ahli masih belum yakin betul mengapa evolusi menghasilkan paradoks semacam ini. Tapi, teori yang sementara ini diunggulkan adalah teori yang diusulkan Amotz Zahavi. Teori ini mengatakan bahwa, jika si jantan masih dapat bertahan hidup sekalipun ia mengundang bahaya, inilah tanda bahwa dia benar-benar pejantan unggul. Kita sendiri masih begitu sering melihat bagaimana seorang perempuan baik-baik, cerdas dan cantik ternyata memilih seorang lelaki bajingan sebagai pasangan hidupnya. Tak terkira juga contoh di mana seorang lelaki berusaha mengesankan pasangannya dengan menantang maut. Rayuan gombal yang sering kita dengar, “Aku cinta padamu, belahlah dadaku,” barangkali bisa mewakili teori ini.
3. Battle of sexes, memperebutkan hak pewarisan
Jika diperhatikan, uraian di atas menunjukkan bahwa peran yang dimainkan betina jauh lebih vital dalam proses evolusi dan pewarisan genetik – ketimbang yang jantan. Sejak evolusi menghasilkan tumbuhan jantan dan betina, hanya yang betina yang berbuah. Proses ini jauh lebih nyata terlihat dalam dunia hewan – terutama mamalia (hewan menyusui) dan aves (burung), yang proses evolusinya tergolong paling “baru” dalam sejarah bumi.

Kini, proses menghasilkan telur dan proses mengandung merupakan proses yang menuntut enerji biosintetik (proses menghasilkan jaringan tubuh) yang sangat besar. Enerji ini harus disediakan oleh si betina. Si pejantan tidak dapat membantu dalam proses ini. Kelihatannya, ini tidak adil. Tapi, demikianlah cara evolusi bekerja.

Dari sudut pandang ideologi kelas berkuasa saat ini, barangkali keadaan tersebut akan dilihat sebagai bukti “superioritas pejantan” (male superiority) – di mana para pejantan dilihat sebagai penikmat waktu luang (idle). Tapi, dari sudut pandangku, ini berarti para pejantan tidak memiliki peran penting dalam proses evolusi, kecuali berfungsi sebagai gene pool (himpunan materi genetik) yang dapat dipilih oleh si betina dalam memastikan agar keturunannya merupakan keturunan kualitas unggul. Si betina sudah pasti mewariskan materi genetiknya, tapi si pejantan tidak bisa memastikan ia mendapat kesempatan mewariskan gennya melalui proses perkawinan.

Karena perempuan yang ber-“investasi” lebih besar pada proses pewarisan ini, kebanyakan spesies memasukkan mekanisme pencarian makanan secara lebih kuat pada para betinanya. Pada hampir semua (kalau tidak dapat disebut “semua”) spesies, yang betina biasanya lebih cerdik dalam mencari makan dan lebih ulet dalam berjuang mempertahankan hidup (tahan stress). Termasuk kasus ekstrim seperti laba-laba Janda Hitam (Black Widow) yang terkenal itu, di mana si jantan biasanya dimakan oleh si betina segera setelah proses kopulasi selesai. Si jantan sudah melakukan tugasnya menyampaikan materi genetik, kini ia memberi sumbangan terakhir dengan memberi protein yang cukup bagi si betina dengan jalan mengorbankan hidupnya sendiri.

Mekanisme evolusi yang secara umum sangat berat memihak para betina ini menimbulkan counter-measure (mekanisme tandingan) dalam evolusi para jantan. Sekarang para ahli evolusi dan zoologi (ilmu hewan) terutama yang menyangkut perilaku hewan, telah menemukan bahwa para pejantan melakukan hal-hal yang ajaib bersangkutan dengan upayanya untuk mendapat bagian dalam memperbesar kesempatan mewariskan materi genetiknya. Mekanisme ini meliputi perselingkuhan dan penipuan, misalnya, yang terjadi pada burung Pied Flycatcher (sangat mirip dengan yang dilakukan manusia lelaki) bahkan juga infantisida (pembunuhan balita) yang dilakukan di kebanyakan komunitas gorila.

Dalam kasus-kasus di mana proses evolusi memunculkan mekanisme tandingan bagi para jantan, para betina berada dalam posisi dirugikan. Di satu pihak, ia tetap merupakan pihak yang menanam modal paling besar dalam proses pewarisan keturunan. Tapi, seringkali usahanya ini menjadi sia-sia. Para betina Pied Flycatcher yang tertipu dan dijadikan “selingkuhan” tidak mendapatkan tambahan makanan yang dibawakan si jantan, karena yang jantan hanya membawakan makanan bagi betina pertama yang dikawininya (mirip dengan manusiakah?). Akibatnya, banyak telur dari betina “selingkuhan” ini tidak menetas akibat kurang gizi. Yang terjadi pada gorila betina bisa kita pandang lebih “tragis” karena sekian banyak enerji yang mereka curahkan untuk menghasilkan keturunan mubazir begitu saja, ketika ada pejantan baru merebut kepemimpinan kelompok dan membunuhi anak-anak dari kepala kelompok sebelumnya.

Kemunculan mekanisme tandingan ini memang bukan norma dalam dunia hewan. Tapi keberadaannya saja sudah cukup membuktikan bahwa mekanisme yang sangat memihak para betina memang mendapat tandingan dari mekanisme yang memihak para jantan. Ini kasus yang sangat bersesuaian dengan dialektika, yakni apa yang bertentangan niscaya muncul bersamaan dan saling menyaratkan – sekaligus saling menggulingkan.
Persoalan mana mekanisme yang akan dominan dipakai dalam satu spesies ditentukan oleh kemampuan mekanisme itu dalam memastikan keberlangsungan hidup spesiesnya. Di sini, ternyata, battle of sexes merupakan satu mekanisme alami dalam memperkuat peluang satu spesies dalam bertahan hidup.

4. Seksualitas dalam masyarakat manusia
Salah satu ciri yang menyolok dalam seksualitas manusia (secara spesifik adalah spesies Homo sapiens) adalah ketidakmampuan perempuan untuk menunjukkan masa suburnya. Ini bukan hal yang umum terjadi dalam dunia hewan, sekalipun beberapa hewan (terutama dari keluarga kera) juga menunjukkan hal ini – apa yang dikenal sebagai “ovulasi (pematangan sel telur) tersembunyi.” Baik perempuan maupun laki-laki memang menunjukkan ciri-ciri kematangan seksual – tumbuhnya rambut di tempat tertentu, perubahan suara, “mimpi basah” pada lelaki atau pembesaran payudara pada perempuan. Tapi, tidak ada orang yang bisa tahu apakah seorang perempuan sedang mengalami masa subur atau tidak dari penampilannya. Yang kita tahu justru masa di mana seorang perempuan paling tidak subur – yakni saat menstruasi, di mana sel telur yang gagal dibuahi dikeluarkan paksa oleh tubuh daripada membusuk di dalam rahim. Di masa kini, ketika kita sudah mengenal siklus kesuburan perempuan, kita dapat memperkirakan dengan kalender bilamana seorang perempuan mengalami masa subur. Itupun seringkali tidak memadai.

Menurut para ahli, tersembunyi kesuburan perempuan ini berkaitan erat dengan posisi tubuh yang semakin lama semakin mengandalkan bipedalisme (bergerak dengan dua kaki), bukan empat kaki sebagaimana kera. Posisi yang tegak ini memaksa posisi organ-organ peranakan perempuan tertarik lebih ke belakang, untuk mencegah kerusakan pada janin apabila dibawa ke mana-mana sambil berlari.

Ini jelas tidak “menguntungkan” bagi kelangsungan reproduksi spesies ini. Ketidaktahuan individu mengenai masa subur perempuan menyebabkan ketidakmampuan untuk menyelenggarakan aktivitas perkembangbiakan di saat yang tepat. Maka, tak terhindarkan lagi, manusia terpaksa menyelenggarakan aktivitas reproduksi sebagai aktivitas harian – bukan lagi musiman.

Untungnya bagi manusia, perkembangan evolusinya yang menyembunyikan masa subur perempuan ini terjadi seiring dengan perbesaran otak dan semakin diandalkannya mekanisme sosial (budaya) dalam pewarisan kemampuan bertahan hidup. Oleh karena itu, proses kawin-mawin pun kemudian terserap ke dalam proses budaya ini pula. Barangkali, karena proses ini menjadi proses harian, manusia terpaksa menjalankannya di tempat-tempat tersembunyi – untuk menghindar dari kemungkinan dimangsa ketika sedang berkopulasi. Barangkali keharusan ini berkontribusi (merupakan satu faktor penting) dalam proses mulai menetapnya manusia ke dalam gua-gua – satu hal yang tidak ditemui pada kebanyakan kera.

Tidak akan mengherankan jika kemudian manusia mengembangkan satu sistem budaya untuk mewariskan cara perkawinan semacam ini, yakni dengan menandai bagian kelaminnya dengan pakaian. Kalau kita berpegangan bahwa segala sesuatu berjalan dari yang sederhana menuju yang lebih kompleks dan rumit, maka bentuk paling sederhana dari budaya berpakaian (hanya menutupi kelamin) tentulah merupakan cara berpakaian paling awal yang dikenal manusia. Dapat dibayangkan bahwa nenek-moyang kita ingin memberi tahu: jangan dibuka di sembarang tempat, bahaya. Bahayanya bukan “kecelakaan” atau kehamilan tak diinginkan seperti maknanya yang sekarang, tapi bahaya dimangsa hewan buas ketika sedang berkopulasi.

Dengan sistem pewarisan sosial melalui pengajaran (yakni budaya), manusia meneruskan sistem ini dari generasi ke generasi. Mengingat bahwa pewarisan budaya paling awal dalam sejarah manusia adalah dalam bentuk tabu atau pamali, tidak akan terlalu mengherankan jika kemudian banyak komunitas manusia yang menabukan ketelanjangan. Lama-kelamaan manusia lupa mengapa ia membuat ketelanjangan alat kelamin menjadi sebuah tabu. Ia kemudian mengarang cerita untuk menjelaskan hal ini. Sampai sekarang pun banyak orangtua masih lebih suka menakut-nakuti anaknya yang ingin tahu dengan cerita-cerita seram. Sangat mungkin bahwa, sejak jaman dahulu, manusia sudah berkelakuan seperti itu juga: lebih suka menakut-nakuti ketimbang berusaha mencari tahu kebenaran di balik satu peristiwa atau keadaan.

Satu hal lain yang penting dari lingkup reproduksi manusia adalah kenyataan bahwa semua bayi manusia lahir dalam keadaan prematur. Kita kini mengartikan prematur sebagai “lahir sebelum masa kandungan berusia 9 bulan 10 hari.” Tapi, sebenarnya, semua bayi manusia lahir dalam keadaan sama sekali belum siap untuk dilahirkan. Semua bayi hewan lain telah memiliki kelengkapan bertahan hidup memadai ketika lahir. Tapi, bayi manusia membutuhkan lima tahun, setidaknya, untuk mulai dapat menyamai tingkat kesiapan alat-alat perlengkapan hidup seperti yang dimiliki seekor bayi sapi atau kerbau, misalnya, dalam waktu beberapa menit. Seorang anak manusia membutuhkan setidaknya lima tahun lagi sampai ia mulai memasuki masa kematangan seksual dan lima tahun berikutnya agar proses kematangan seksual itu selesai.

Kenyataan ini menimbulkan kerumitan tersendiri, karena “investasi” yang diperlukan dalam proses pewarisan genetik menjadi berlipat ganda. Dan, nampaknya, jalur evolusi yang menghasilkan manusia berlangsung terlampau cepat (hanya sekitar 6 juta tahun) sehingga alam belum lagi mengembangkan mekanisme perawatan investasi, yang ditanam secara genetik ke dalam tubuh manusia. Perkembangan yang terlampau cepat ini dijawab oleh manusia melalui proses sosial.

5. Jawaban sosial manusia atas problem seksualitas
Manusia menjawab persoalan ini dengan sistem sosial yang kini kita kenal dengan nama “keluarga”. Jangan dulu dibayangkan bahwa sistem keluarga ini selalu tinggal tetap dari jaman ke jaman. Evolusi yang bekerja pada alam juga bekerja pada sistem sosial, di mana satu sistem akan berkembang untuk mengatasi satu situasi tertentu, dan akan terguling ketika situasi yang berubah menuntut pula perubahan pada sistem.

Ada begitu banyak bentuk yang diambil dalam sistem keluarga ini, tapi di sini aku akan mengikuti penggolongan yang dibuat oleh Lewis Morgan, seorang etnolog (ahli kebudayaan manusia), di akhir abad ke-19 lalu. Aku mengambil sistem penggolongan yang usianya sudah lebih dari 100 tahun ini semata karena inilah salah satu upaya pertama manusia memahami pola reproduksinya sendiri.

Morgan membagi pola-pola reproduksi manusia ke dalam empat golongan:


1. Keluarga konsanguin (consanguine family), satu sistem perkawinan di mana lelaki dan perempuan di satu generasi diperbolehkan kawin-mawin dengan bebas, tapi tidak dengan lelaki atau perempuan lain dari generasi di atas atau di bawahnya. Dengan demikian, seorang lelaki adalah “ayah” bagi semua anggota generasi di bawahnya, dan seorang perempuan akan dipanggil “ibu” oleh semua orang yang satu generasi dengan anak kandungnya. Di abad ke-19 sekalipun sistem ini sudah tidak lagi dipraktekkan orang. Hanya tinggal sisanya saja, seperti sistem sosial orang Hawaii, di mana seseorang akan memanggil lelaki yang sebaya dengan ayah kandungnya sebagai “ayah” dan perempuan yang sebaya dengan ibu kandungnya sebagai “ibu”.


2. Keluarga punaluan (punaluan family), sistem di mana, di samping larangan kopulasi antar generasi, saudara sekandung juga tidak lagi diperbolehkan saling mengawini. Sampai akhir abad ke-19, sistem ini masih banyak ditemukan di seluruh penjuru dunia. Di kepulauan Shakalin, misalnya, seorang perempuan dari bangsa Gilyaks, yang menjadi istri seorang lelaki, secara otomatis turut mengawini pula saudara kandung suaminya dan suami dari saudari-saudari sekandungnya. Demikian pula lelaki itu, otomatis mengawini saudari kandung istrinya dan istri dari saudara-saudara sekandungnya. Sistem kekerabatan ini diberi nama dari sistem serupa yang merupakan bagian kebudayaan Hawaii, di mana para suami yang terikat pada istri yang sama (atau para istri yang terikat pada suami yang sama) saling memanggil punaluan – yang artinya rekanan. Selain di kepulauan Shakalin dan Hawaii, sistem ini juga ditemukan di tengah masyarakat Aborigin Australia.


3. Keluarga berpasangan (pairing family), sistem di mana satu keluarga tinggal terdiri dari satu orang lelaki dan satu orang perempuan, tapi hubungan ini dapat diputus oleh salah satu pihak tanpa ada hambatan. Bentuk ini adalah transisi (peralihan) dari sistem keluarga berkelompok ke keluarga individual. Seringkali dalam tahap transisi ini, sisa dari sistem lama masih tertinggal. Misalnya, pada akhir abad ke-19 orang-orang di kepulauan Balearik (Spanyol) atau suku Bareas di Etiopia ditemui menganut satu budaya di mana seorang perempuan yang menikah harus terlebih dahulu mengadakan kopulasi dengan saudara-saudara suaminya, bahkan si suami mendapat giliran terakhir. Orang-orang di Alaska dan suku Tahus di Meksiko bagian utara memiliki kebiasaan lain, di mana para shaman atau pemimpin suku mendapat hak pertama setelah malam upacara pernikahan. Kebiasaan ini masih terus tersisa di Eropa sampai abad pertengahan dalam bentuk hak primae noctis.


4. Keluarga berpasangan tunggal (monogamous family) adalah bentuk keluarga yang kita kenal saat ini. Seharusnya, dalam keluarga semacam ini tidak ada lagi perselingkuhan, bigami (beristeri dua) atau poligami (beristeri banyak). Tapi, itu angan-angan belaka. Perselingkuhan menjadi penyakit akut dalam sistem monogami. Sementara beberapa lembaga masyarakat menganjurkan poligami, yang kiranya merupakan sisa ingatan kolektif manusia atas sistem perkawinan kelompok – hanya saja dalam poligami tidak dikenal kesetaraan derajat lelaki dan perempuan seperti dalam sistem perkawinan kelompok. Monogami adalah sistem di mana kekuasaan laki-laki atas perempuan berada pada puncaknya.


Penggolongan yang dibuat Morgan boleh jadi bukan penggolongan yang tepat atau dibenarkan oleh data-data yang lebih modern. Namun demikian, tidak dapat disangkal lagi bahwa, pada awalnya, manusia mengembangkan sistem perkawinan kelompok (group marriage) sebagai jawaban atas ketidakmampuan spesies ini untuk mengetahui kapan para betinanya mengalami masa subur. Dengan adanya perkawinan kelompok ini, ketika semua pria adalah “ayah” bagi anak-anak yang dilahirkan, masyarakat manusia mengambil oper tanggungjawab pemeliharaan balita dari pundak individu.


Dengan model seperti ini, tidak terhindarkan lagi, akan terdapat anak-anak yang “kurang fit” karena lahir dari bibit yang kurang baik (misalnya cacat atau menderita penyakit degeneratif, penyakit bawaan bayi). Oleh karena itulah, barangkali, masyarakat manusia mengembangkan berbagai upacara akil-baliq (initiation rituals) untuk menguji apakah seorang anak cukup sehat dan kuat untuk meneruskan keturunannya. Maka, upacara-upacara ini biasanya mengandung horor yang luar biasa. Suku Wayana, di Guyana Perancis, misalnya, mengharuskan para remaja lelaki atau perempuan melakukan upacara di mana seluruh tubuh mereka disengat semut bakau. Mereka harus bertahan tanpa mengeluh selama jangka waktu yang ditentukan. Siapa yang tidak lulus dinyatakan belum dewasa dan belum boleh menikah. Dalam buku-buku karangan Karl May, yang banyak bercerita tentang kehidupan Indian Amerika, kita temui berbagai upacara di mana anak-anak muda diharuskan bertahan dari bahaya maut, bahkan juga siksaan, sebelum dinyatakan dewasa. Nampaknya, upacara ini ditujukan agar mereka yang lemah dan tidak fit tidak akan “mengotori” himpunan genetik. Dengan kata lain, orang yang dianggap bukan bibit unggul tidak usah memiliki keturunan. Ini, menurutku, adalah bentuk paling primitif dari eugenetika (pemilihan bibit unggul) yang pada abad lalu diterapkan secara brutal dan membabi-buta oleh Hitler dengan membantai semua orang yang dianggap cacat, sakit jiwa dan bodoh.


Penelitian sejarah menunjukkan bahwa, pada awalnya, manusia menjawab persoalan seksualitas mereka dengan menjadikan aktivitas reproduksi ini sebagai bagian dari tanggungjawab masyarakat.


6. Seksualitas manusia dan sistem kepemilikan dalam masyarakatnya
Yang juga menarik adalah kenyataan bahwa perkembangan sistem perkawinan dalam masyarakat manusia berjalan sejajar dengan perkembangan sistem kepemilikan di dalamnya. Semakin ke belakang, ketika kepemilikan pribadi semakin menjadi raja, tanggungjawab untuk membesarkan balita juga semakin ditumpangkan ke pundak pribadi-pribadi. Sistem kepemilikan menentukan hak penggunaan (utilisasi) atas berbagai barang pemenuhan kebutuhan hidup. Karenanya, dalam masyarakat di mana berlaku sistem kepemilikan komunal, distribusi atas barang pemenuh kebutuhan hidup juga diputuskan bersama. Ini terlihat dalam berbagai macam suku bangsa yang masih hidup dalam tahap yang kini disebut “primitif” – satu penyebutan penuh prasangka atas masyarakat yang masih menganut sistem kepemilikan bersama.


Perkembangan di mana keluarga semakin menjadi urusan individu, bukan lagi urusan masyarakat atau urusan bersama, menurutku merupakan formasi yang merugikan bagi perempuan. Dengan mempertimbangkan bahwa seorang laki-laki tidak akan pernah sanggup memberikan sumbangan berarti dalam perawatan anak, beban untuk membesarkan keturunan jatuh sepenuhnya ke pundak perempuan.


Sialnya lagi, pergeseran dari model perkawinan kelompok ke model perkawinan perseorangan ini terjadi di tengah berkembangnya masyarakat berkelas – yang membagi anggota masyarakat ke dalam kelas-kelas penghisap dan kelas-kelas terhisap. Dalam kondisi ini, semakin tidak mungkin seorang laki-laki kelas pekerja sanggup memberi nafkah yang mencukupi bagi proses perawatan anak (yang mencakup juga jatah untuk sang induk, atau ibu). Seorang laki-laki kelas pekerja hanya akan dapat menghasilkan nafkah jika ia mempekerjakan perempuan sebagai tenaga kerja di rumah tangganya.


Beberapa ahli mencurigai bahwa perubahan pola penghidupan masyarakat, dari berburu-mengumpul ke pertanian, adalah biang keladi dari pergeseran pola kepemilikan dan pola perkawinan. Pertanian membutuhkan banyak ketrampilan (skill) yang sifatnya hanya dapat dikuasai oleh individu – karena untuk menguasai ketrampilan itu dibutuhkan begitu banyak waktu dan tenaga. Misalnya, teknik pengolahan logam atau pembuatan gerabah. Demikian juga dengan ketrampilan bertanam satu jenis tanaman atau merawat satu jenis ternak. Berlawanan dengan aktivitas berburu, yang sampai sekarang masih tetap harus dilakukan secara kolektif, pertanian mendorong orang untuk mengkhususkan diri pada bidang tertentu dari kerja pertanian itu.


Pertanian, pada awal kemunculannya, juga hanya memiliki satu pilihan untuk peningkatan hasil, yakni dengan perluasan areal tanam (ekstensifikasi). Untuk keperluan ini, dibutuhkan begitu banyak tenaga kerja tambahan. Tidak akan terlalu mengherankan kiranya jika masyarakat, setidaknya pada masa itu, memutuskan untuk memberikan tugas khusus pada para perempuan – untuk menghasilkan tenaga kerja ekstra itu. Kondisi di mana perempuan terikat pada proses reproduksi menyingkirkannya dari lapangan produksi. Ia tidak lagi punya tenaga untuk aktif menghasilkan barang kebutuhan masyarakat. Ia juga tidak punya waktu dan tenaga memadai untuk mempelajari khasanah pengetahuan yang dikumpulkan dengan cepat oleh masyarkat bertani. Dengan demikian, peran perempuan dalam lapangan pengambilan keputusan masyarakat pun terkikis.


Dari keterangan ringkas ini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pergeseran dalam pola kepemilikan, pola produksi masyarakat dan pola perkawinan merupakan kunci untuk memahami bagaimana peran perempuan dalam masyarakat manusia mengalami pergeseran.


7. Masyarakat manusia hari ini dan beberapa potensi yang dikandungnya
Saat ini, masyarakat manusia sedang berada di tahap tertinggi sistem kepemilikan pribadi. Di titik tertinggi ini, hampir tidak ada lagi kebersamaan di antara manusia. Pemujaan terhadap kepemilikan pribadi bahkan telah menjadikannya salah satu “hak asasi manusia”, yang konon telah dimiliki seorang manusia begitu ia dilahirkan. Kepentingan pribadi berada di atas segalanya, bahkan juga kepentingan umum. Sistem ekonomi-politik manusia didasarkan pada asumsi bahwa yang baik bagi individu adalah baik bagi masyarakat – seperti asumsi yang dilancarkan oleh Adam Smith, orang pertama yang menyusun pemahaman mengenai sistem yang kini kita kenal sebagai “kapitalisme”.


Namun, dialektika menggariskan bahwa ketika satu hal dibawa ke titik ekstrimnya, ia akan mulai berbalik kualitasnya. Semakin dekat satu hal ke titik ekstrimnya, akan semakin banyak unsur-unsur yang sifatnya berkebalikan dengan hal tersebut, unsur-unsur yang akan menjadi tulang punggung bagi satu hal yang baru, setelah menggulingkan dominasi penguasa lama.
Ini nampak jelas dalam dunia yang kini dikuasai sistem kapitalisme. Di tengah dunia ini, di mana individualisme dipuja sebagai dewa, sistem produksinya sudah berlangsung begitu massal dan jejaringnya mendunia. Tidak ada lagi orang yang dapat disebut “menguasai satu bidang pekerjaan”. Setiap orang (betapapun jeniusnya) hanya dapat menguasai satu aspek saja dari himpunan pengetahuan yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu jenis barang. Tanpa kerja bersama, proses produksi di jaman kapitalis ini tidak akan jalan.


Proses spesialisasi (pengkhususan kerja), yang di awal kemunculannya membiakkan individualisme, kini juga mulai memunculkan banyak hal yang sifatnya justru mendorong terjadinya kerja bersama. Dengan spesialisasi, proses produksi berlangsung terlampau cepat sehingga membutuhkan sarana transportasi dan komunikasi yang ekstra cepat pula. Ini hanya akan dapat dipenuhi dengan jaringan transportasi massal-cepat (Rapid Mass Transport) dan jejaring komunikasi yang massal dan terbuka (seperti misalnya internet).


Urusan membesarkan anak kini juga semakin menjadi urusan publik. Gairah kapitalisme untuk memperluas jejaring produksinya memaksa banyak perempuan untuk memasuki lapangan produksi. Akibat dari proses ini, perawatan anak telah banyak diserahkan pada para pekerja domestik (yang kita kenal sebagai “pembantu rumah tangga”) atau rumah-rumah penitipan anak (“daycare”).


Di pihak lain, teknologi biosintetik kini tidak lagi terbatas pada mahluk-mahluk bernyawa. Dengan kemampuan pengetahuan yang dimilikinya, Manusia telah berhasil melompati keterbatasan proses evolusi. Awalnya, pengetahuan tentang proses biosintetik ini diperlukan untuk meningkatkan hasil produksi pertanian dan peternakan – seperti bagaimana mencampur gen untuk mendapatkan bibit unggul bagi ternak dan tanaman. Namun kini manusia telah dengan gagah berani melangkah ke arah yang tak pernah terpikirkan selama milyaran tahun evolusi kehidupan di muka bumi: bagaimana menciptakan mahluk hidup sendiri. Manusia memulainya dengan teknik persilangan, teknik setek dan kultur jaringan, teknik manipulasi genetik. Kini Manusia telah sampai pada inseminasi buatan, operasi ubah kelamin, bayi tabung dan kloning. Beberapa percobaan yang lebih mencengangkan dan kontroversial, seperti membuat laki-laki dapat melahirkan dan menyusui, juga telah dilakukan di beberapa tempat (sekalipun, dengan bijaksana, disembunyikan dari pengetahuan publik). Tapi, setidaknya ada satu film (aku lupa judulnya, yang aku ingat salah satu pemerannya Danny de Vito) yang secara komedi melontarkan kemungkinan lelaki hamil. Peluang mengakali keterbatasan evolusi – pilihan strategi menguntungkan betina atau menguntungkan jantan – dapat diraih jika berbagai percobaan ini dibawa ke arah yang menguntungkan publik.
Kembalinya perempuan ke lapangan produksi, munculnya kembali sistem kerja bersama dan tergerusnya peran keluarga monogami (di mana ibu ditempatkan sebagai pekerja domestik), dapat diduga, merupakan faktor yang menyangga kembalinya ketertarikan manusia kepada imaji tentang tubuh yang telanjang. Ini, menurutku, adalah bagian dari kembalinya seksualitas ke dalam urusan publik.


Memang, saat ini, yang sanggup memanfaatkan kembalinya perhatian manusia kepada urusan seksual ini adalah kapitalisme. Sebagaimana segala hal lain, sebagaimana yang diatur dalam hukum besi kapitalisme, seksualitas juga ditempatkan dalam pemberhalaan komoditi (commodity fetishism) – segala sesuatu adalah barang dagangan. Maka, yang pertama kali melihat ini sebagai peluang adalah para kapitalis, yang memuntir seksualitas ini ke dalam sebuah eksploitasi bentuk baru: eksploitasi atas ketelanjangan manusia.


Padahal, jika masyarakat mengakui bahwa seksualitas adalah sebuah urusan publik – terutama dalam soal penyediaan kebutuhan perawatan anak dan penciptaan keturunan berkualitas unggul – gejala yang sekarang muncul di masyarakat merupakan hal yang sangat positif. Ketertarikan manusia pada hal-hal yang berbau seksual, jika dibawa menjadi urusan publik dan dibicarakan secara terbuka, akan membuka banyak kemungkinan baru dalam soal kemampuan bertahan hidup sebagai satu spesies. Kesehatan reproduksi, misalnya, sudah mulai masuk dalam ruang publik. Pendidikan yang menyangkut bagaimana menikmati seks secara sehat dan bertanggungjawab juga sudah masuk. Yang belum masuk adalah pembicaraan tentang peranan seksual laki-laki dan perempuan (baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat) dalam proses pengembangan generasi baru umat manusia yang berkualitas. Termasuk peran laki-laki dalam reproduksi, kemungkinan perempuan memilih bibit yang unggul bagi keturunannya dan bagaimana masyarakat mengatur penyediaan sumberdaya bagi perawatan generasi baru. Atau beberapa hal lain yang lebih imajinatif, seperti kemungkinan laki-laki memilih untuk hamil dan menyusui atau rekayasa genetika terhadap manusia.


Jika ini terjadi, jelas perkawinan monogami akan terguling. Bukan oleh poligami. Bahkan mungkin juga tidak kembali pada perkawinan kelompok. Tapi, mungkin, menjadi sistem baru di mana lelaki dan perempuan hidup berpasangan sebagai keluarga – untuk menikmati hidup (dan seks, tentunya) – tanpa terbebani terlalu berat lagi dengan persoalan membesarkan anak. Anak telah menjadi tanggungjawab bersama seluruh anggota masyarakat, direncanakan dan diatur bersama agar mendapatkan generasi manusia baru yang lebih unggul daripada yang pernah ada dalam 120.000 tahun sejarah evolusi Homo sapiens.


Tapi, persoalan-persoalan yang lebih lanjut ini tidak akan dapat dilakukan secara bertanggungjawab apabila sistem pengambilan keputusan dalam masyarakat masih dikuasai oleh beberapa gelintir orang. Basis bagi pengambilan keputusan dalam skala massal sudah tersedia – internet, telepon genggam, komputerisasi – tinggal bagaimana kita menggulingkan sistem yang dikuasai segelintir orang ini dan menggantinya dengan sistem di mana semua orang memiliki hak dan kewajiban yang setara terhadap pengambilan keputusan.


Umat manusia kini menggenggam potensi untuk bergerak jauh lebih cepat daripada apa yang pernah dicapai oleh proses evolusi secara alami. Proses ini juga akan dapat menguntungkan bagi manusia sebagai spesies, jika keputusan-keputusan tentang hal ini juga diambil secara sadar oleh spesies Homo sapiens ini. Kata “sapiens” berarti “yang mampu berpikir”. Artinya, sebagai spesies, tanpa memandang perempuan atau lelaki, kita harus memiliki satu sistem yang membuat setiap anggotanya memberi sumbangan pemikiran bagi perkembangan spesiesnya sendiri.


8. Kesimpulan
Dengan begini, aku jadi berani mengambil kesimpulan bahwa kita harus menolak seruan “Jangan Telanjang di Depan Kamera”. Seruan ini didasarkan pada moral, sesuatu yang berasal dari jaman perkawinan monogamis – di mana perempuan ditempatkan sebagai pekerja domestik. Kita harus membela hak setiap orang untuk memperlakukan tubuhnya sendiri dengan cara yang terbaik untuk diri dan masyarakatnya.


Sebaliknya, kita akan menolak segala bentuk prostitusi, pornografi dan eksploitasi lain terhadap tubuh perempuan dan laki-laki – yang dilakukan demi kepentingan pemilik modal. Kita tidak menolak ketelanjangan tapi kita akan menghukum orang yang memanfaatkan ketelanjangan itu demi kepentingan yang sifatnya menindas atau eksploitatif. Kita akan mendorong terus agar seksualitas dan segala hal yang bersangkutan dengan proses reproduksi dan perawatan anak agar semakin masuk dalam wilayah publik dan dilindungi serta dirawat oleh masyarakat – sekaligus menolak adanya campur-tangan lembaga-lembaga publik dalam pilihan-pilihan pribadi yang bersangkutan dengan pilihan seksual seseorang. Termasuk di dalamnya menolak pilihan yang dibuat lembaga yang didominasi laki-laki terhadap cara perempuan berpakaian (atau tidak berpakaian). Dengan kata lain, kita mengembalikan seksualitas ke tempatnya semula, tempat terhormat yang menentukan dalam proses perkembangan evolusi manusia.


Evolusi boleh jadi menciptakan mekanisme yang menguntungkan salah satu pihak, entah itu yang betina atau yang jantan. Tapi, kita sudah menggenggam potensi untuk tidak lagi mempedulikan pembedaan itu. Sejak awal perkembangan evolusinya, manusia sudah memilih untuk mengatasi persoalan evolusi itu melalui proses sosial. Dan proses sosial yang pertama dibangun oleh manusia adalah sistem yang memaksa semua anggota komunitasnya (baik perempuan maupun laki-laki) bertanggungjawab setara dalam proses reproduksi. Akibat pergeseran sistem sosial, munculnya ketimpangan-ketimpangan dalam masyarakat manusia itu. Kini, ada potensi untuk menghapus ketimpangan-ketimpangan itu dan mengembalikan kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam proses reproduksi dan seksualitas.


Kesetaraan gender memang bukan bagian dari mekanisme yang diciptakan alam dalam proses evolusinya. Tapi, sejak awal, kesetaraan inilah yang membuat Homo sapiens dapat bertahan hidup dan berkembang menjadi penguasa bumi. Sudah tiba saatnya kita mengembalikan kesetaraan itu – kesetaraan dalam hak atas tubuh, kesetaraan dalam status sosial dan kesetaraan dalam pengambilan keputusan dalam masyarakat.


9. Bacaan lebih lanjut
Dalam penelusuranku, aku menemukan sebuah buku, “Why is Sex Fun, the evolution of human sexuality” karya Jared Diamond (Basic Books, New York: 1997). Sebagaimana karya Jared Diamond lainnya, buku ini juga sangat lugas dan menggelitik kekritisan pemikiran. Dalam buku ini, Diamond memaparkan berbagai aspek seksualitas manusia. Mulai dari peran seks dalam evolusi, manfaaat pembagian gender dalam membangun kemampuan spesies dalam bertahan hidup, sampai bagaimana sistem sosial terbangun sebagai bagian dari strategi evolusi masing-masing spesies. Setelah “berdialog” dengan buku ini, aku mencapai beberapa kesimpulan yang aku jadikan tulisan ini. Tulisan ini tidak berkaitan dengan pandangan Diamond, yang aku pikir banyak mengandung kekeliruan asumsi, tapi memang sudut pandang yang diambilnya sangatlah menarik.

Buku kedua yang aku pakai di sini adalah karya Muriel Gargaud, dkk., “From Suns To Life: a chronological approach to the history of life on earth” (Springer, Dordrecht: 2006). Buku ini sangat teknis dalam pembahasaan, sehingga agak sulit diikuti oleh orang-orang yang tidak mendapatkan latihan formal dalam ilmu arkeologi-bumi (geoarcheology), fisika perbintangan (astrophysics), kimia kehidupan (biochemistry) dan biologi evolusioner (evolutionary biology) – seperti aku. Tapi data di dalamnya sangat mengagumkan dan mencengangkan. Terpaksa aku cantumkan di sini sebagai salah satu buku yang dianjurkan. Siapa tahu saja ada yang berniat mencoba-coba.

Buku lain yang aku anjurkan adalah karya Ted Grant dan Alan Woods, “Reason in Revolt” (WellRed Books, London: 1995). Buku ini merupakan upaya untuk menunjukkan penerapan dialektika pada gejala-gejala alam. Sangat baik dibaca, sekalipun dianjurkan untuk mendiskusikan kembali implikasi ideologis dan saran-saran yang diajukan oleh penulisnya, karena kedua penulis mewakili satu aliran politik yang mereka definisikan dengan baik, yakni Trotskyisme. Tidak selalu cocok untuk diterapkan dalam konteks kita.

Untuk karya klasik, aku menganjurkan untuk membaca karya Frederick Engels, “The Origin of Family, Private Property and the State” yang dapat diunduh dari internet dengan alamat www.marx2mao.com/M&E/OFPS84.html. Buku yang didasarkan pada penelitian Lewis H. Morgan yang diberi judul “Ancient Society, or Researches in the Lines of Human Progress from Savagery, Through Barbarism to Civilization” ini sangat gamblang menjelaskan perjalanan sejarah pembentukan keluarga dan represi terhadap peran perempuan dalam masyarakat.
Untuk memahami sejarah perkembangan masyarakat, buku karya Chris Harman, “A People’s History of the World” dapat dibaca. Buku yang dapat diunduh dari tp://www.istendency.net/node/view/7 ini sangat baik dalam menggambarkan posisi dan hubungan sebab-akibat dari berbagai peristiwa dalam sejarah.

Sumber lain, yang tidak secara langsung berhubungan dengan masalah reproduksi seksual, tapi menurutku sangat tepat menggambarkan konteks perkembangan fisiologis (struktur tubuh) manusia yang melahirkan kecerdasan dan strategi bertahan hidup secara sosial, adalah karya-karya W.H. Calvin, yang dapat diunduh di http://www.williamcalvin.com/. Anda akan menemukan begitu banyak buku yang dapat diunduh gratis dan dalam bahasa yang sangat populer.

Bahan-bahan tentang arkeologi dan antropologi aku ambil dari artikel-artikel dalam National Geographic. Tidak jarang artikel-artikel di sini memiliki bias kelas yang tajam. Maklum saja, majalah ini didanai besar-besaran oleh lembaga-lembaga bisnis Amerika Serikat. Tapi, sebagai sumber data, sayang bila kita lewatkan begitu saja.

Memang sayang, seribu sayang, buku-buku ini dalam bahasa Inggris. Tapi, untuk itulah serikat rakyat perlu keluar dari kungkungan ekonomisme, membatasi diri pada tuntutan ekonomis dan kesejahteraan yang sifatnya instan. Serikat perlu membangun pula kemampuan anggotanya menyerap ilmu pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat – seperti kemampuan berbahasa asing. Sebaliknya, itulah juga gunanya orang-orang yang memiliki akses pada pengetahuan untuk “menerjemahkan” (dalam arti menuliskan ulang dalam bahasa Indonesia yang mudah dipahami) teori-teori ilmu pengetahuan yang rumit, agar dapat diserap oleh para pimpinan yang tumbuh dari kalangan rakyat pekerja. **

Jakarta, 20 September 2007
* Ketua Divisi Pendidikan KP PRP

Membandingkan Sistem Pendidikan Indonesia dan Kuba
Oleh Wiily Aditya
Friday, 15 June 2007
(Disadur dari http://www.prp-indonesia.org/)

Membandingkan Kuba dengan Indonesia tentu terdapat banyak perbedaan, baik itu yang fundamental (pokok) maupun yang komplementer. Kuba yang sosialistik (karena di bawah kekuasaan Partai Komunis) tentunya berbeda dari Indonesia yang baru saja melewati satu fase pemerintahan otoriter dan pro-pasar. Karenanya sistem pendidikan kedua negara ini juga berbeda secara fundamental.

Sehingga alangkah tidak layak kiranya jika tiba-tiba sistem pendidikan Kuba diterapkan di Indonesia tanpa memperhatikan aspek kesejarahan dan kenyataan faktual di Indonesia. Maka yang paling mungkin dilakukan adalah menemukan relevansi yang kira-kira bisa menjadi pencerahan terhadap sistem pendidikan Indonesia.

Dari Sosialisme ke Neoliberalisme

Indonesia di era Soekarno (Orde Lama), sebagaimana Kuba sekarang, merupakan negara yang sarat dengan cita-cita sosialisme. Cita-cita sosialisme ini termasuk juga dalam bidang pendidikan. Statuta Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1951 sangat tegas menyatakan bahwa tujuan UGM adalah menyokong sosialisme pendidikan. Namun pada tahun 1992, di bawah kekuasaan Orde Baru, statuta ini diganti dengan banyak perubahan pada isinya di mana salah satu perubahannya adalah menghilangkan pasal mengenai tujuan menyokong sosialisme pendidikan Indonesia.Indonesia pada era tersebut sangat mendukung pendidikan sebagai satu alat akselarasi masyarakat menuju masyarakat adil dan makmur sesuai cita-cita UUD 1945.

Indonesia bahkan mampu mengekspor guru ke negara tetangga, menyekolahkan ribuan mahasiswa ke luar negeri, dan menyebarkan mahasiswa-mahasiswa ke seluruh penjuru negeri untuk mengatasi buta huruf. Tahun 1960-an terjadi peningkatan luar biasa perguruan-perguruan tinggi yang sekaligus berarti peningkatan jumlah mahasiswa dan pelajar di seluruh negeri. Tenaga-tenaga pengajar diupah dengan layak, bahkan menjadi primadona pekerjaan bagi rakyat. Jargon “study, work, rifle” atau “belajar, berkarya, dan senjata” yang dipakai Kuba sekarang merupakan satu jargon yang juga dipakai oleh beberapa organisasi mahasiswa dan pelajar pada era tersebut. Semangat antikolonialisme setelah lepas dari kolonialisme Belanda dan Jepang diejawantahkan dengan semangat membangun sosialisme, termasuk dalam hal pendidikan. Tidak ada halangan ekonomis yang merintangi seseorang untuk belajar di perguruan tinggi atau sekolah. Diskriminasi dianggap sebagai tindakan kolonialis (seperti dilakukan kolonial Belanda).

Rezim berganti, ideologi dan politik pendidikan pun berganti. Awalnya perubahan ideologi dan politik ini belum berubah tajam, sampai suatu hari terjadi krisis minyak dunia pada awal 1980-an, yang membuat negara mengetatkan anggaran. Ketergantungan pada ekspor minyak seketika mendatangkan malapetaka karena harga minyak turun drastis di kala utang luar negeri juga jatuh tempo. Anggaran untuk publik diketatkan termasuk di bidang pendidikan. Seketika rakyat masuk dalam sistem pendidikan pasar yang memperbesar ketimpangan si kaya dan si miskin. Gaji guru tidak lagi mampu mendukung kebutuhan minimal untuk mengajar dengan tekun dan baik. Ekstensifikasi pendidikan berjalan lambat karena keterbatasan anggaran.

Ketidakpuasan menggejala pada rakyat, karena akses terhadap pendidikan yang makin berkurang. Sekolah dan perguruan tinggi swasta menggejala karena keterbatasan pemerintah untuk menyediakan sekolah-sekolah baru. Ekstensifikasi pasar ini kemudian diimbangi oleh Orde Baru dengan proses indoktrinasi. Peng-asastunggal-an ideologi Pancasila melalui pengajaran Pancasila dari bangku sekolah dasar sampai perguruan tinggi, penataran P4 bagi pegawai negeri sipil dan militer, pelarangan ideologi-ideologi tertentu untuk dipelajari, pembelokan sejarah, dan banyak doktrinasi lain adalah contoh-contoh proses tersebut. Pada era ini pula mahasiswa dibungkam dengan pembubaran dewan-dewan mahasiswa dan pelarangan mahasiswa berpolitik melalui kebijakan NKK/ BKK.

Dalam sistem pendidikan yang ada, berkembanglah ideologi pasar sebagai konsekuensi Indonesia berada dalam peta kapitalisme global. Pendidikan direndahkan posisinya sebagai alat elevasi sosial untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Ilmu direndahkan menjadi deretan angka-angka indeks prestasi (IP). Akses masuk semakin terbatas karena formasi sosial tidak memungkinkan warga masyarakat kebanyakan (miskin) menginjak bangku sekolah yang lebih tinggi. Kecenderungan mahasiswa berasal dari kalangan menengah ke atas terus meningkat dari tahun ke tahun. Penelitian majalah Balairung UGM pada tahun 2000 membuktikan terjadi tren penurunan anak buruh, petani, dan anak guru yang menginjak bangku kuliah di UGM.

Karena pada saat yang sama indoktrinasi dari negara juga berlangsung, muncul kritik-kritik dari kalangan pengamat pendidikan yang kritis namun liberal yang memandang terjadinya paradoks dalam dunia pendidikan karena sama sekali tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Banyak muncul ketidakpuasan dan perlawanan dari dalam kalangan akademisi pendidikan terhadap intervensi negara dalam kurikulum pendidikan. Ketidakpuasan muncul karena mereka menganggap tidak efisien.

Ketidakpuasan dan perlawanan dari dalam kampus ini menyemai bibit perlawanan mahasiswa. Pada tahun 1994 misalnya berdiri Dewan Mahasiswa UGM yang tegas menolak korporatisme negara terhadap kampus. Langsung atau tidak langsung, masifnya demonstrasi mahasiswa pada tahun 1998 merupakan imbas dari kebijakan pendidikan yang korporatis dan tidak demokratis di perguruan-perguruan tinggi.

“Reformasi 1998” memanglah pas disebut sebagai reformasi. Diakui atau tidak, momen ini merupakan awal perubahan bentuk kapitalisme di Indonesia. Ditandatanganinya letter of intents antara pemerintah Indonesia dan IMF menjadi legitimasi formal bagi kapitalisme untuk mengembangkan neoliberalisme yang berpijak pada tiga program utama, yakni deregulasi ekonomi, liberalisasi, dan privatisasi. Di bidang pendidikan, pada tahun 1999, dengan dana dari Bank Dunia, ditandatangani kesepakatan melakukan pilot project “Otonomi Kampus” pada empat perguruan tinggi negeri utama di Indonesia, yaitu Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Beramai-ramai akademisi yang kabarnya “reformis” dari empat perguruan tinggi ini mendukung program baru ini. Inilah antitesa dari sistem pendidikan Orde Baru yang mengekang perguruan tinggi melalui korporatisme birokrasi dan kurikulum. Korporatisasi yang berkedok “otonomi perguruan tinggi” dipandang sebagai suatu kemajuan, lebih baik, dan tentunya lebih menjamin prospek yang bagus bagi mereka, misalnya dalam hal fasilitas dan tunjangan sebagai tenaga pengajar. Padahal, inilah era neoliberalisme!

Dari Egalitarianisme ke Militerisme

Orde Lama merupakan satu fase yang mirip dengan fase pascarevolusi demokratik di Prancis pada 1789. Saat itu di mana-mana muncul semangat egalitarianisme yang mengejawantah dalam masyarakat. Panggilan-panggilan terhadap orang, baik yang sudah berumur maupun belum, disamaratakan dengan sebutan “bung”. “Bung” merupakan pengganti sebutan orang yang tidak mengenal strata kelas, status, dan umur. Semangat ini merupakan refleksi masyarakat terhadap kolonialisme yang membuat masyarakat berkasta-kasta berdasarkan warna kulit, agama, dan asal daerah.

Inilah orde di mana semua orang merasa sejajar, tanpa dibedakan warna kulit, keturunan, agama, dan sebagainya.Begitu juga dalam dunia pendidikan. Orde Lama berusaha membangun masyarakat sipil yang kuat, yang berdiri di atas demokrasi, kesamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara termasuk dalam bidang pendidikan. Inilah amanat UUD 1945 yang menyebutkan salah satu cita-cita pembangunan nasional adalah mencerdaskan bangsa.

Di dalam kampus muncul kebebasan akademis yang luar biasa, ditandai dengan fragmentasi politik yang begitu hebat di kalangan mahasiswa. Mahasiswa bebas beroroganisasi sesuai dengan pilihan atau keinginannya. Kebebasan berpendapat, memang sempat muncul juga pembredelan pers oleh Soekarno, namun relatif lebih baik dibandingkan masa Orde Baru yang pada suatu waktu (setelah peristiwa demonstrasi mahasiswa 1978) pernah membredel 15 media massa sekaligus. Inilah salah satu era keemasan bagi gagasan dan ilmu pengetahuan di Indonesia.

Sebaliknya, di era Orde Baru kebebasan ini sedikit demi sedikit direnggut sampai tak tersisa sama sekali. Membaca buku tertentu bahkan dianggap sebagai tindakan kriminal. Kebebasan berorganisasi dikooptasi dengan adanya organisasi-organisasi yang sudah korporatis pada kekuasaan, sehingga menganalisasi politik mahasiswa. Kebebasan akademis dikekang dengan perlunya izin kegiatan dari pihak yang berwenang.

Peristiwa meninggalnya Wahyu Hidayat, praja STPDN, karena kekejaman para seniornya pada tahun 2004 merupakan wujud dari masuknya warna militerisme pada pendidikan di Indonesia. Hal ini adalah bentuk lain dari korporatisme pendidikan yang terjadi di Indonesia. Lembaga pendidikan semacam ini lahir dari rahim rezim militer Orde Baru yang masuk ke ranah sipil. Di perguruan-perguruan tinggi swasta dan negeri, hal ini mewujud dengan adanya resimen mahasiswa. Resimen mahasiswa (menwa) merupakan salah satu unit kegiatan mahasiswa yang berafiliasi langsung ke institusi-institusi militer seperti kodam.

Di dalam kelas ataupun birokrasinya, reproduksi sistem ini juga berlangsung. Dosen seringkali dipandang oleh mahasiswa sebagai orang yang ditakuti, berkuasa. Birokrasi perguruan tinggi berkembang begitu kuat tanpa adanya kebebasan berserikat bagi civitas-civitas akademika, kecuali terbatas pada mahasiswa. Namun, bagi karyawan-karyawan nonpengajar di perguruan tinggi, seringkali posisi mereka sangat lemah secara politik dan hukum, seperti halnya kelas pekerja lain di Indonesia. Penelitian pers mahasiswa Mahkamah Fakultas Hukum UGM pada tahun 2000 mengungkapkan sekitar seperempat karyawan UGM merupakan karyawan honorer dengan status tidak jelas dan upah tidak sesuai dengan upah minimum regional (sekarang upah minimum provinsi) yang berlaku.

Seleksi Kelas dalam Pendidikan Neoliberal

Masuk dalam era neoliberal, seleksi kelas dalam mengakses pendidikan semakin menguat. Ditambah lagi dengan lahirnya UU Sistem Pendidikan Nasional yang baru, yang telah melegalkan pengalihan tanggung jawab negara kepada masyarakat (baca masyarakat pemilik uang). Berbagai kampus, tidak terbatas pada empat kampus pilot project mencari sumber pendanaan baru termasuk dengan memungut lebih untuk mahasiswa-mahasiswa baru. Harian Kompas (18/6/2003) mengungkapkan munculnya model baru penerimaan mahasiswa seperti dengan menambah kuota 10% hingga 20% dari formasi mahasiswa baru jalur reguler dengan tarif mahal, bahkan mencapai Rp 150 juta.

Jauh hari sebelumnya, Republika (16/8/2002) menulis, 11,7 juta anak tidak pernah sekolah dan putus sekolah (berumur 10 - 14 tahun) dan 5,2 juta anak usia sekolah tidak mampu membaca, menulis, dan berhitung. Tentunya angka putus sekolah ini semakin jadi tren seperti juga tren angka pengangguran yang terus meningkat yang diakibatkan salah satunya oleh angka putus sekolah karena alasan ekonomi. Republika menyajikan data bahwa hanya 11% tamatan SLTA yang bisa melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.

Situasi ini menunjukkan tren angkatan kerja Indonesia pada saat ini bukanlah well-educated dan skilled karena sebagian besar hanyalah lulusan SLTA atau lebih rendah. Selain itu, ternyata lulusan perguruan tinggi Indonesia pun tidak cukup berkualitas. Jacob Nuwa Wea (Menaker) seperti dikutip detik.com (16/4/2002) mengatakan 30% pasar tenaga kerja Indonesia diisi tenaga kerja asing (ekspatriat). Pernyataan ini menandaskan bahwa link and match yang diinginkan kapitalisme dalam sistem pendidikan Indonesia belumlah sepenuhnya terwujud.

Anarkisme sistem pendidikan di bawah neoliberalisme menempatkan rakyat sebagai komoditas pendidikan, bukan berfungsi sebagai sarana bagi rakyat untuk menjadi lebih baik: link and match dengan keadaan. Setelah pencanangan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) atau korporatisasi perguruan tinggi, perguruan-perguruan tinggi tersebut berlomba-lomba membuka jalur penerimaan baru yang tak mengindahkan saringan akademik. Terjadi lonjakan kuota mahasiswa baru yang diterima di berbagai perguruan tinggi negeri sebagai konsekuensi dari kebijakan ini. Kuota ini tentunya tidak direncanakan secara nasional, terintegrasi dengan kebijakan tenaga kerja, namun tidak lain hanyalah cara untuk mendapatkan dana tambahan bagi perguruan-perguruan tinggi tersebut.

Pelajaran dari Kuba

Dari keadaan pendidikan Indonesia yang seperti itu, ada beberapa hal yang bisa dipelajari dari sistem pendidikan Kuba (Ministerio de Educación Superior, 2001). Terdapat empat hal berikut yang bisa dipelajari. Pertama, pendidikan gratis untuk seluruh warga negara. Pemerintah Kuba memandang pendidikan merupakan bagian terpenting dalam mempertahankan revolusi Kuba, di mana rakyat mempunyai hak yang sama dalam mengakses pendidikan dan negara berkewajiban menyelenggarakan pendidikan. Akses yang sama ini diwujudkan dalam bentuk pendidikan gratis bagi seluruh warga negara. Sehingga tidak mengherankan, Kuba sekarang menempati posisi teratas di dunia untuk angka melek huruf dan angka rata-rata sekolah per kapita.

Kedua, jaminan terhadap persamaan hak ini diwujudkan dengan pendidikan diselenggarakan oleh negara sehingga bisa mewujudkan angka perbandingan guru dan pelajar yang luar biasa, yaitu satu tenaga pengajar untuk 13,6 pelajar. Pemerintah Kuba membelanjakan US$ 1,585 miliar atau setara Rp 13,4725 triliun per tahun untuk pendidikan dengan penduduk 11 juta (bandingkan Indonesia yang hanya membelanjakan Rp 11,5528 triliun pada tahun anggaran 2002 dengan penduduk 220 juta).

Ketiga, dengan adanya penyelenggaraan oleh negara, terdapat sistem yang terintegrasi antara orang-orang yang sedang belajar dengan kebutuhan tenaga kerja dan lapangan pekerjaan yang tersedia di seluruh negeri. Dengan ini, persoalan link and match menjadi terpecahkan dengan sistem pendidikan yang terintegrasi secara nasional. Dari sekolah menengah, seorang warga negara dipersiapkan untuk memilih mengikuti pra-universitas atau pendidikan teknisi dan profesional yang akan mengarahkan pada dunia kerja. Dari pra-universitas bisa melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi untuk memperdalam bidang akademik yang ingin diperdalam atau menjadi tenaga pengajar.

Keempat, dengan menggunakan seleksi akademis itu, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi benar-benar berada di tangan yang tepat, dengan kompetensi akademis yang benar-benar diarahkan oleh negara. Lulusan-lulusan perguruan tinggi terbaik diarahkan masuk ke 211 lembaga-lembaga penelitian ilmu pengetahuan dan teknologi dari berbagai kajian yang tersebar di seluruh negeri.

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PERENCANAAN ANGGARAN!
Oleh Ria Esterita*
(Disadur dari Buletin SADAR)

Harapan masyarakat di era paska kediktatoran Suharto berkembang menginginkan pemerintahan yang lebih baik dan peduli kepentingan masyarakat. Salah satu cara mewujudkan pemerintahan yang peduli masyarakat dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Secara legal-formal sepertinya ruang gerak masyarakat di daerah kemudian difasilitasi dengan dikeluarkannya UU No.22/1999 yang mengatur kewenangan daerah mengatur dan mengurus kepentin! gan berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundangan.! Unik se kaligus ironis, setidaknya ada 106 peraturan daerah (perda) yang diskriminatif terhadap perempuan (surya online, diakses 16 January 2008). Tulisan ini mencoba menunjukkan bahwa pada kebijakan otonomi daerah yang baik sekali pun dimensi keadilan gender masih luput diperhatikan sebagai faktor yang vital.

Dimensi yang sensitif gender jadi perlu dipergunakan dalam melihat pengalaman otoda seperti yang dilakukan Kabupaten Sumedang dengan mengeluarkan Perda No.1/2007, tentang Prosedur Perencanaan dan Penganggaran Daerah Kab Sumedang melalui Musrembang (musyawarah rembug pembangunan). Musrembang di seluruh Indonesia semua bertingkat: desa, kecamatan dan musrembang Kabupaten, diadakan tiap tahun melibatkan! unsur masyarakat. Paralel di tingkat kecamatan terdapat forum SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah) yang membahas usulan musrembang tentang kegiatan kecamatan yang ada dalam kewenangannya.

Tata cara Musrembang terbagi 3: Pra Musrembang, Pelaksanaan Musrembang, dan Paska Musrembang. Pra Musrembang tingkat desa ada tim untuk mengumpulkan data dan usulan kegiatan dan dilakukan diskusi di setiap RW. Tim Ini terdiri dari unsur Desa, LPM dan BPD. Diskusi diikuti 50-60 orang, terdapat pesoalan dan usulan. Pelaksanaan Musrembang, diikuti oleh 70 orang peserta terdiri dari unsur perwakilan RW, Pemerintah Desa, BPD, dan stakeholders desa lainnya.

Yang membedakan Musrembang Kab Sumedang dengan Kabupaten lainnya adalah adanya proses pendahuluan dalam bentuk penyepakatan antara Bupati dan DPRD mengenai Pagu Indikatif. Pagu Indikatif adalah rancangan awal program prioritas dan patokan batas maksimal anggaran yang diberikan pada SKPD dirinci berdasarkan anggaran sektoral dan anggaran kecamatan. Pagu Indikatif terdapat dua jenis yaitu Pagu Indikatif Sektoral dan Pagu Indikatif Kecamatan (PIK) – PIK tidak boleh diubah dan jadi putusan akhir.
Dengan adanya pagu indikatif ini masyarakat mulai p! unya kepastian, bahwa hasil rembug mereka berupa usulan kegiatan dalam PIK akan terealisasi. Aturan PIK ini membuat forum-forum musrembang menjadi hidup. Masyarakat bersemangat ikut serta dalam Perencanaan dan Penganggaran Kabupaten Sumedang. Karena sudah terdapat PIK, pembahasan fokus pada program-program prioritas desa yang akan dibiayai PIK (Saeful Muluk & Ria R. Djohani, Praktik Musrembang di Kabupaten Sumedang, Inovasi yang Memberi Harapan).

Masyarakat dapat mengontrol melalui Forum Delegasi Musrembang, yang merupakan wadah musyawarah para delegasi masyarakat kecamatan dan sebagai media pengawasan masyarakat terhadap penyusunan dan Implementasi APBD. Pe! lembagaan partisipasi masyarakat dan kontrol dalam proses peng! anggaran di Kabupaten Sumedang ini diklaim sebagai inisiatif yang pertama kali ada di Indonesia.

Problem Partisipasi Tanpa Sensitivitas Gender
Pelibatan masyarakat dilakukan agar mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki pembangunan. Delegasi ditentukan dalam Musrembang pada tingkatan desa dan ditugaskan untuk mengawal hasil Musrembang. Para delegasi menjadi unsur utama dalam Musrembang karena diharapkan dap! at mempresentasikan kepentingan berbagai unsur masyarakat. Jika kita hubungkan dengan Teori tingkat Partisipasi menurut Sherry Arnstein, Kab Sumedang sudah pada tahapan kontrol warga walaupun masih dalam tahap pendelegasian. Kegiatan Musrembang masih dipahami hanya proses bagaimana setiap desa mendapatkan alokasi dana, yang belum dipikirkan adalah prioritas atas kepentingan bersama. Tentu saja selama ini, ada anggota delegasi dan peserta Musrembang, tapi tanpa mengkonstruksikan bahwa ada persoalan keadilan gender yang harus dipecahkan dalam proses musyawarah demokratis ini.

Perda No.1/2007 mengindikasikan ada bentuk perubahan dari sistem pemerintahan yang sentralistik menjadi t! erdesentralisasi. Banyak hal harus diperbaiki, salah satu yang! mendasa r dan akan terbukti vital adalah soal siapa yang dilibatkan dalam musyawarah, apakah sudah memperhatikan usaha mengubah tatanan ketidakdilan sosial akibat sistem dan budaya patriarki. Sosialisasi tentang proses Musrembang jadi sangat penting untuk masyarakat, dan orang-orang yang kompeten sebagai fasilitator, agar Musrembang dijadikan sebagai sarana yang lebih terarah bukan hanya demi anggaran yang berasal dari proses musyawarah warga tapi juga untuk mendorong transformasi sosial yang lebih berkeadilan – termasuk bagi kaum perempuan.

*Penulis adalah anggota Perhimpunan Rakyat Pekerja, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.



PEREMPUAN-PEREMPUAN TANGGUH DI ISTANA:
CERITA PERJUANGAN BURUH PEREMPUAN DALAM MENUNTUT HAK
Oleh Kembang Fajar*

(Disadur dari Buletin SADAR)


Mendengar kata “Istana,” maka yang akan terbayang di benak kita adalah satu bangunan megah sebuah simbol kekuasaan. Bukan, bukan itu yang dimaksud “Istana” dalam tulisan ini. Melainkan sebuah nama pabrik PT. Istana Magnoliatama, di kawasan Kapuk Indah Jakarta Utara. Pabrik yang dimiliki oleh sorang ! pribumi bernama Andreas Sulaiman yang telah melakukan PHK atas! 460 ora ng buruhnya yang sebagaian besar adalah perempuan pada bulan Juli tahun lalu.
Alasan penutupan pabrik sendiri tidak tersebut dengan jelas, karena memang tidak melibatkan buruh dan terkesan mendadak. Namun para buruh tidak begitu saja menerima keputusan perusahaan atas keputusanya. Berbagai aksi penolakan terus mereka lakukan, dan pengaduan ke lembaga negara terkait (Disnaker) juga sudah mereka tempuh. Hanya dengan imbalan 2,5 kali gaji, mereka diminta menandatangani surat perjanjian pengunduran diri, tak terkecuali bagi buruh yang sudah bekerja sampai dengan 24 tahun.

Menduduki pabrik adalah jalan yang mereka pilih untuk bisa bertahan dan menuntut haknya agar dapat dipekerjakan kembali dan diberikan upah selama proses, sesuai dengan UU yang berlaku. Usaha menduduki pabrik ini tentu mendapat perlawanan dari pihak perusahaan, mulai dari cara kekerasan dengan mendatangkan preman bayaran untuk mengusir mereka sampai dengan pemutusan listrik dan air di pabrik.
Kurang lebih tersisa 100 buruh perempuan yang sudah selama 8 bulan, tak kenal lelah terus memperjuangkan apa yang mereka yakini adalah benar. Menghidupi perjuangan mereka dengan mengamen di jalan untuk biaya makan mereka selama bertahan di pabrik, mendapatkan caci maki dari sesama buruh yang berada di pabrik sekitar mereka juga menjadi suara keseharian y! ang mereka dengar. “Halah, ngapain tidur malem-malem! di pabr ik kurang kerjaan aja. Udah terima aja………”

Di tengah perjuangan, mereka juga tak melupakan ibadah. Bahkan mereka juga menggelar Shalat Idul Fitri di pabrik tersebut, demi menjaga agar aset-aset dan dokumen pabrik tidak dibawa pergi oleh pemilik, yang akan berimbas karena mereka tak lagi punya nilai tawar.
Ditemani dua orang teman saya, satu seorang fotografer dan satu seorang aktivis HAM. Satu hari sebelum perayaan hari perempuan sedunia, tepatnya tanggal 7 Maret kami berkunjung ke Istana, dan mendengar cerita tangguh permpuan-perempuan ! di sana dalam memperjuangkan kebenaran yang mereka yakini. Sebuah pelajaran atas sebuah nama perjuangan kami dapat di sana, sebuah applaus riuh kami salutkan atas perjuangan mereka, dari cerita keseharian mereka dalam bertahan untuk meraih kemenangan.
Adalah Sriatun, seorang ibu satu anak yang sudah bekerja selama 11 tahun, dan sekarang anaknya dititipkan ke orang tuanya di kampung halamanya. Yang mendapatkan dukungan penuh dari keluarganya, baik suaminya ataupun orang tuanya untuk terus bertahan dan berjuang menuntut hakanya. Ingin tahu sejauh mana akhir dari cerita perjuangannya. Dengan meneteskan air mata dan sesekali berhenti bercerita sambil mengusap air matanya, Hera bercerita tentang apa yang dia lakukan. Ia sempat berjualan gorengan untuk menutupi kebutuhan hidup ! sehari-harinya yang tek cukup hanya dengan mengandalkan pemasu! kan dari suaminya yang juga seorang buruh. Namun sayang, usaha berjualannya terhenti lantaran melonjaknya harga kebutuhan pokok belakangan ini.
Berbeda lagi dengan Endar, perempuan berusia 34 tahun ini kadang sering bertanya dalam hati tentang nasibnya, dan membayangkan kapan selesai kasusnya ini. Tapi, lamunan itu tak membuatnya patah arang dengan mundur dalam langkah perjuanganya. Suaminya adalah salah satu faktor yang menguatkan langkahnya, dan untuk itu dia harus rela berpisah dengan suaminya yang akan membuka usaha di Palembang agar dapat menghidupi anaknya dan terus mendukung perjuangan istrinya.
Sementara Turyati, harus rela mendekam selama satu minggu bersama 4 orang temanya di dalam pabrik dan tak berkesempatan untuk bertemu dangan calon suaminya. Mereka terkurung di dalam pabrik, ketika berusaha mempertahankan agar dokumen pabrik tidak diambil oleh pihak perusahaan yang menyuruh 5 orang preman bayaran. Sempat hendak dipukul dengan sebuah kursi kayu oleh preman tersebut, Turyati tak mundur. Dan baru keluar dari pabrik pada tanggal 7 Agustus 2007, sementara dia akan menikah pada tangal 13 Agustus 2007.

Begitu banyak pengalaman pahit yang mereka rasakan dalam langkah perjuangan mereka. Terus dipertanyakan oleh keluarganya bahkan harus berbohong agar bisa tetap berjuang, seperti yang dialami oleh Mbak Tri y! ang kebetulan suaminya juga bekerja di pabrik tersebut. Mereka! berboho ng kepada orang tuanya, bahwa telah bekerja kembali di tempat yang lain agar tidak dirong-rong untuk mundur dari perjuangan mereka.
Namun sebuah perasaan bangga juga berada di pundak mereka, atas apa yang telah mereka lakukan dan mereka yakini benar. Jalan panjang masih harus mereka tempuh untuk sebuah kata kemenangan, kerikil dan tembok besar akan mereka dapati dalam perjalanan itu, sebuah catatan sejarah dan cerita menarik akan menjadi dongeng di malam hari bagi anak cucu mereka kelak di kemudian hari. Sebuah inspirasi akan mereka torehkan bagi kaumnya, kaum perempuan. Dan kita tak boleh hanya menunggu akhir dari cerita mereka, sembari memberikan rasa kasihan atas kondisi mereka. Banyak hal yang bisa kita lakukan dan kita upayakan untuk mendukung perj! uangan mereka.

Dengan sebuah pertanyaan, saya akhiri cerita dan pengalaman saya ini. “Apa yang anda bisa lakukan untuk perjuangan mereka?”


*Penulis adalah Karyawan Swasta di Jakarta, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek।

Perokok Itu Konyol
Dian Purba

Di satu sisi rokok dibenci. Pada lain sisi ia dicintai sampai mati. Penyakit akibat rokok bertebaran, korban juga berjatuhan. Namun, para nikotinis alias perokok tetap mengabaikan. Serangan jantung? Stroke? Kanker? Anggaplah itu risiko. Namun kalau risiko itu juga harus ditanggung janin di dalam kandungan, juga mengancam potensi seksual kaum laki-laki, para perokok harus memikirkan kembali kesetiaannya
(Intisari, September 2001)


Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi,
gangguan kehamilan dan janin. (Iklan Rokok)


Entah apa yang dipikirkan mereka yang merokok. Konyol. Mereka sudah tahu pasti bahwa merokok itu membahayakan kesehatan. Kita tidak akan menjumpai satu hal pun yang menguntungkan dari merokok. Setiap sedotan mendekatkan mereka kepada kematian.


Di negeri ini perusahaan rokok bebas bergerak mengiklankan produk mereka. Bahkan even sepak bola terbesar kita disponsori oleh perusahaan rokok. Sangat ironis. Tidak ada korelasi antara rokok dan penyehatan badan. Incaran utama mereka adalah remaja usia sekolah. Mereka harus melakukan itu untuk menggantikan 57 ribu orang Indonesia yang meninggal setiap tahunnya akibat rokok. Data survey kesehatan rumah tangga tahun 2002 menyebutkan angka merokok aktif di Indonesia berjumlah 75 % atau 141 juta orang, dan 60 persennya adalah orang miskin. Itu masih di Indonesia. bagaimana dengan jumlah perokok di seluruh dunia ini?
Perhatikan isi klipping berikut.

Semiliar Orang akan Mati akibat Rokok
ADA peringatan baru bagi para pengusaha dan pemakai tembakau untuk rokok di seluruh dunia. Studi penelitian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menemukan fakta mencengangkan tentang tembakau. PENGGUNAAN tembakau yang sudah meluas di seluruh dunia berdampak pada tingkat kematian.
Jika konsumsi tembakau tidak dikurangi, lebih dari 1 miliar manusia akan menemui ajal. "Seratus juta kematian banyak disebabkan penggunaan tembakau selama abad 20 lalu. Jika tren tersebut terus berlanjut, jumlah kematian akan meningkat lebih dari satu miliar jiwa pada abad 21 ini," ujar Dirjen WHO Margaret Chan dalam keterangan persnya sebagaimana dilansir AFP, Jumat (8/2/).

Setidaknya pemerintah dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat harus segera mengambil tindakan agar tingkat kematian yang cukup tinggi itu bisa dicegah. "Jika tidak dicegah, tembakau menyebabkan kematian ini, akan meningkat lebih dari 8 juta pertahun hingga 2030. Dan 80 persen di antara kematian tersebut lebih banyak terjadi di negara-negara berkembang," tambahnya.
Dalam studi terakhir di WHO, data utama organisasi tersebut menunjukkan tentang penggunaan dan pengendalian tembakau di sejumlah negara yang merepresentasikan lebih dari 99 persen dari populasi dunia. Hasil studi tersebut juga menyerukan 6 strategi yang harus ditempuh untuk mencegah tingkat kematian yang tinggi.
Enam strategi itu disebut MPOWER, yaitu melibatkan pengendalian (Monitoring) kebijakan pencegahan dan penggunaan tembakau, melindungi (Protecting) manusia dari dampak rokok tembakau, menawarkan (Offering) bantuan kepada pecandu rokok untuk berhenti, mengingatkan (Warning) tentang bahaya tembakau, mendorong (Enforcing) pelarangan penggunaan tembakau untuk periklanan, dan menaikkan (Raising) pajak tembakau.
"Ketika upaya untuk memerangi tembakau menemukan momentumnya, seluruh negara tentu akan melakukan hal yang lebih dari sekedar memerangi," pungkasnya. (afp ) ( http://klipingut.wordpress.com/2008/02/13/semiliar-orang-akan-mati-akibat-rokok/)

Setiap rokok yang kita hisap hanyalah menambah kekayaan bagi pengusaha rokok. Eko Prasetyo memberikan komentar yang sangat lugas tentang hal ini: "
Kini para pemilik rokok tercatat sebagai orang terkaya di dunia. Dan nasib Anda--para perokok--mustahil bisa seperti mereka!". "Kalau pabrik rokok ditutup negara akan kehilangan devisa yang termat besar", kata seorang kawan. Ya, itu benar. Tapi kita tidak boleh lupa bahwa pemerintah mengeluarkan anggaran kesehatan lebih banyak untuk menanggulangi korban rokok ketimbang devisa yang diterima dari rokok.

Ada baiknya kita simak fakta-fakta berikut.

Bahaya Rokok
Racun pada Rokok

Rokok mengandung kurang lebih 4000 elemen-elemen, dan setidaknya 200 diantaranya dinyatakan berbahaya bagi kesehatan। Racun utama pada rokok adalah tar, nikotin, dan karbon monoksida।
-Tar adalah substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru-paru.
-Nikotin adalah zat adiktif yang mempengaruhi syaraf dan peredaran darah. Zat ini bersifat karsinogen, dan mampu memicu kanker paru-paru yang mematikan.
-Karbon monoksida adalah zat yang mengikat hemoglobin dalam darah, membuat darah tidak mampu mengikat oksigen.

Efek Racun
Efek racun pada rokok ini membuat pengisap asap rokok mengalami resiko (dibanding yang tidak mengisap asap rokok):
-14x menderita kanker paru-paru, mulut, dan tenggorokan
-4x menderita kanker esophagus
-2x kanker kandung kemih
-2x serangan jantung
Rokok juga meningkatkan resiko kefatalan bagi penderita pneumonia dan gagal jantung, serta tekanan darah tinggi.

Cara Berhenti Merokok
Analisis Kebiasaan
Lakukan analisis atas kebiasaan-kebiasaan merokok yang telah dilakukan selama ini. Misalnya:
-Kapan waktu tersering Anda untuk merokok
-Kapan Anda secara otomatis ingin merokok
Hasil analisis ini akan membantu dalam mengerem keinginan merokok.

Susun Daftar Alasan
Lakukan segala hal yang membuat Anda tidak kembali merokok. Selalu ingat alasan-alasan yang mendasari Anda untuk tidak merokok. Jika perlu susun daftar alasan itu.
-Menghindari kanker, gagal jantung, gangguan pencernaan
-Kehidupan sosial yang lebih baik
-Ingat kesehatan dan kepentingan anak / keluarga
-Makan lebih enak

Langsung Berhenti
Pilihlah sebuah hari di mana Anda akan berhenti. Dan pada hari itu, langsung berhenti total tanpa melakukan tahapan-tahapan. Umumkan rencana Anda kepada orang-orang dekat Anda agar mereka bisa membantu.

Waspada Pada Hari-Hari Awal
Hari-hari awal akan terasa sangat berat. Cobalah mengalihkan perhatian dengan mengkonsumsi permen atau permen karet tanpa gula. Sementara waktu, kurangilah kegiatan yang berkaitan dengan rokok, seperti pergi ke bar.

Konsumsi Rendah Kalori
Selama minggu-minggu pertama (sampai kira-kira empat minggu), makanlah makanan yang mengandung kalori rendah। Juga minumlah banyak air.


Keputusan ada di tangan kita। Langkah-langkah yang diterangkan di atas tidak akan ada artinya kalau kita tidak mencintai diri kita sendiri। Ingat, merokok artinya mempersiapkan kematian kita pelan-pelan dan pasti sembari kita terus memperkaya pengusaha rokok। Mari kita menikmati hidup tanpa rokok.

Disadur dari berbagai sumber.

Senin, 24 Maret 2008

Mari Berdialog
Dian Purba

Metode belajar paling tinggi dan paling efektif adalah dialog. Dialog dalam pengertian sederhananya adalah berbincang serius maupun santai dalam dua arah. Dalam diskusi tidak ada guru tidak ada murid. Yang ada adalah (meminjam istilah Paulo Freire) guru-yang-murid dan murid-yang-guru, bukan guru-nya-murid dan murid-nya-guru. Dalam dialog tidak dikenal model pendidikan gaya bank. Model pendidikan gaya bank hanya menghambat murid mengenal dirinya sendiri dan dunia sekitarnya dan juga menghambat murid untuk berpikir kritis.

Pendidikan dan dialog harus dikawinkan.

Selasa, 18 Maret 2008

PEMBEBASAN PEREMPUAN DALAM UNDANG-UNDANG PARPOL
Oleh Nelly Yarti*
(Disadur dari Buletin SADAR)

Kondisi masyarakat Indonesia, menempatkan perempuan sebagai mahluk yang lemah dan tidak dapat berbuat apa-apa. Hal ini tergambar dalam pandangan kebanyakan masyarakat bahwa karena lemahnya, perempuan tidak dapat keluar rumah dan hanya berkewajiban me layani suaminya. Atau pandangan yang mengatakan bahwa perempuan hanya bertugas untuk mengurusi persoalan-persoalan domestik belaka. Hal ini diperkuat dengan legitimasi “penafsiran” terhadap agama yang banyak mendiskreditkan perempuan.
Belum lagi masalah-masalah lain, seperti masalah kekerasan dalam rumah tangga, yang banyak menimpa kaum perempuan atau masalah trafficking, juga masalah buruh-buruh perempuan yang diupah di bawah standar UMP.
Mas! alah-masalah sosial ekonomi ini, dijadikan alasan oleh para wakil rakyat untuk mengakomodasi kepentingan perempuan ke dalam undang-undang partai politik yang mensyaratkan sebuah partai harus mengakomodasi perempuan dalam pencalonan anggota DPR.

Pertanyaannya adalah, apakah ini cukup untuk membebaskan perempuan? Dan apakah persoalan perempuan di negeri ini akan terselesaikan dengan memberikan kuota 30% kursi parlemen untuk perempuan?
Pada dasarnya, ada tidaknya perempuan yang duduk di parlemen, tidak akan berpengaruh terhadap pembebasan perempuan di Indonesia, toh di negeri ini, juga pernah mendudukkan perempuan di kursi presiden, tapi ternyata, ketertindasan perempuanpun juga tak kunjung berakhir.
Artinya, bahwa persoalan perempuan tidak akan mampu terselesaikan hanya dengan mendudukkan perempuan di parlemen.
Kenyataan yang ada,! bahwa perempuan yang sanggup untuk mendapatkan kursi di parlemen adalah mereka yang sanggup membayar partai-partai yang ada untuk mendukung dia agar dapat didudukkan di parlemen, artinya, seorang perempuan yang berasal dari kalangan bawah tidak akan mampu mengakses parlemen dan merumuskan kebijakan sendiri mengenai persoalan-persoalan yang dihadapinya.

Tentunya, perempuan-perempuan yang mengatasnamakan wakil perempuan di parlemen, akan berusaha mengembalikan uangnya yang dihabiskan pada masa kampanye (logika untung-rugi). Dan tidak akan memberikan apa-apa bagi pembebasan perempuan.
Lalu, apa sebenarnya tujuan para wakil rakyat di DPR mengakomodasi 30% suara perempuan di parlemen?
Sebenarnya konsep yang diberlakukan oleh para anggota dewan yang memberikan kesempatan bagi wakili perempuan untuk ikut bertarung dalam partai politik merupakan sebuah pandangan dari aliran yang hidup seiring dengan tumbuhnya sistem ekonomi liberal di Eropa.
Pandangan perempuan ini, menganggap bahwa keterti! ndasan perempuan selama ini diakibatkan oleh perempuan itu sendiri, yang tidak ingin maju, tidak ingin bersekolah dan tidak ingin maniti karir.
Selain itu, mereka juga menganggap persoalan kesetaraan perempuan dan laki-laki adalah hal yang paling mendesak, yang dihadapi oleh perempuan.

Pandangan ini, cenderung menyalahkan si perempuan, tanpa terlebih dahulu melihat persoalan sistemik yang dirasakan oleh perempuan, seperti persoalan anggapan sosial yang menganggap perempuan itu! lemah, sampai ketidakmampuan perempuan itu mendapatkan pendid! ikan yan g layak karena kemiskinan.
Kelemahan dari pandangan ini adalah, bahwa perempuan yang tidak mampu mengakses fasilitas yang memadai akan terus tertindas dan mereka yang mampu mengakseslah, yang akan mendapatkan semua yang diinginkannya.
Selain itu, pandangan ini juga gagal menganalisa bahwa persoalan utama yang dihadapi oleh perempuan bukan hanya persoalan kesetaraan, tapi juga persoalan sosial ekonomi kaum perempuan.
Kepentingan utama dari pandangan perempuan ini adalah, bagaimana para perempuan juga dapat ikut dalam kompetisi mendapatkan/mencari pekerjaan yang berujung pada bertambahnya pengangguran dari keseluruhan jumlah pencari kerja, dan memberikan kesempatan bagi pemberi kerja untuk dapat menekan harga/upah tenaga kerja.

Di Indonesia, selain kepentingan pengusaha yang bertujuan untuk mendapatkan tenaga kerja murah sebagaimaa telah dijelaskan di atas, juga untuk mendapatk! an suara dari perempuan yang jumlahnya tidak sedikit di Indonesia.
Artinya tujuan utamanya adalah bagaiman mengilusi perempuan-perempuan di Indonesia bahwa mereka juga telah mendapatkan wakil di parlemen. Padahal kebijakan-kebijakan yang diambilnya tidaklah berpihak pada perempuan.
Lalu apa yang harus dilakukan?
Persoalan perempuan sangatlah kompleks, artinya tidaklah dengan perempuan sudah mampu keluar rumah dan mendapatkan posisi sejajar dengan laki-laki, persoalan perempuan akan berakhir, atau dengan memberikan kuota kursi 30% bagi perempuan di parlemen maka masalah perempuan akan selesai.
Hanya dengan berhimpun dan sadar bahwa persoalan yang dihadapi perempuan selama ini adalah persoalan sistemik dan mencoba menyelesaikan persoalannya pula dengan
mengganti sistem, maka perempuan akan terbebas.
Tidak hanya be! rhimpun dengan sesamanya perempuan, tapi perempuan juga harus mencoba untuk berhimpun dan menyatukan gerakannya gengan kelompol-kelompok yang juga merasa tertindas di bawah sistem ini, seperti kelompok adat, serikat buruh, serikat mahasiswa, atau organisasi rakyat lainnya.


*Penulis adalah anggota Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

Wiji Thukul dan Puisinya




Tidak ada yang lebih menakutkan Orde Baru daripada Pramoedya Ananta Toer yang kreatif dan Wiji Thukul yang miskin dan bertubuh kurus kering yang seumur hidup bernaung di bawah atap rumah petak di sudut gelap kota Solo (Daniel Dhakidae). Untuk yang pertama disebutkan di atas, tidak ada penerbit yang bersedia menerbitkan karya-karyanya. Pramoedya yang “hanya” penulis roman menjadi “musuh” bersama ketika Orde Baru masih berkuasa. Tidak cukup hanya itu saja. Banyak naskah-naskah Pram (sebutan untuk Pramoedya) dibakar oleh kekuasaan fasis Orde Baru. Ini membuat Pram, dan juga bangsa ini, kehilangan harta paling berharga yang dia punya. Semua karyanya dilarang beredar. Tidak ada satu pun toko buku yang berani menjual bukunya. Sekolah-sekolah di negeri ini nyaris tidak pernah membahas karyanya. Tuduhan subversi (tindakan mengancam keselamatan negara) dilayangkan bagi siapa saja yang ketahuan membaca buku Pram.

Wiji Thukul mengalami hal yang kira-kira sama dengan apa yang dialami Pram. Kalau Pram kehilangan naskah-naskah berharganya, Wiji Thukul harus dihilangkan untuk menghentikan gerak “subversifnya”. Penyair yang berbapakkan seorang yang mencari makan dengan mengayuh becak ini tak ada satu pun yang tahu di mana rimbanya. Kemampuannya menghidupkan kata-kata menjadi api semangat perlawanan menentang ketidakadilan mengharuskannya untuk “dibumuhanguskan” (forced disappearance) dari negeri ini. Baik Pram maupun Wiji Thukul hanya memproduksi kata-kata. Dan rupanya yang paling ditakuti Orde Baru bukanlah senjata akan tetapi kata-kata.

Puisi yang membumi

Bagi Pram keindahan itu terletak pada kemanusiaan, yaitu perjuangan untuk kemanusiaan, pembebasan terhadap penindasan. Jadi, keindahan itu terletak pada kemurnian kemanusiaan, bukan dalam mengutak-atik bahasa. Wiji Thukul bukanlah seorang yang terlalu pandai mengutak-atik bahasa. Bahasanya begitu sederhana. Puisi-puisinya tidaklah memenuhi “kaidah-kaidah” penulisan puisi yang “baik”. Thukul menorehkan penanya menuliskan semua yang dialaminya sehari-hari bersama mereka yang selalu ditindas. Puisi bagi dia adalah media yang mampu menyampaikan permasalahan dirinya selaku orang kecil, orang-orang yang terpinggirkan. Kemelaratan hidup mewarnai hampir semua karyanya. Kita tidak akan menjumpai kata-kata simbol yang membingungkan pikiran dalam karyanya. Puisinya bagaikan sengatan lebah bagi penguasa lalim dikarenakan pemilihan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan kondisi sosial dengan begitu transparan. Kesederhanaan dalam berbahasa justru memperkuat makna puisinya sehingga kata-katanya akan menghunjam tepat ke sasaran bagaikan peluru.

Puisi yang ditakuti

Dalam semua puisi yang terkumpul dalam buku kumpulan puisi Aku Ingin Jadi Peluru, ada dua puisi yang selalu membuat kuping penguasa memerah mendengarnya. Puisi yang pertama berjudul Bunga dan Tembok.

jika kami bunga

engkau adalah tembok

tapi di tubuh tembok itu

telah kami sebar bibit-bibit

suatu saat kami akan tumbuh bersama

dengan keyakinan: engkau harus hancur!

Thukul menggunakan kiasan “tembok” untuk penguasa dan “bunga” untuk rakyat yang dirampas tanahnya dan digusur rumahnya. Sejarah dengan baik telah mencatat bahwa di mana ada penindasan, ketidakadilan, pembodohan, di sana akan tumbuh pula “bibit-bibit” untuk berlawan. Di sana bersama “tembok” dan “biji-biji” yang sudah disebarkan akan selalu ada kontradiksi. Kontradiksi yang terjadi adalah kontradiksi tak terdamaikan. Karena kondisinya memang harus demikian maka “tembok” itu harus hancur. Kemudian yang akan kita saksikan selanjutnya adalah mekarnya “bunga-bunga” yang harum yang di setiap musimnya akan selalu menghasilkan “bibit-bibit” unggul. Bibit-bibit ini selanjutnya akan meneruskan sirkulasi sejatinya: berbuah.

Puisi yang kedua berjudul Peringatan.

bila rakyat berani mengeluh

itu artinya sudah gawat

dan bila omongan penguasa

tidak boleh dibantah

kebenaran pasti terancam

apabila usul ditolak tanpa ditimbang

suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan

dituduh subversif dan mengganggu keamanan

maka hanya ada satu kata: lawan!

Slogan “hanya ada satu kata: lawan!” hampir bisa kita temui di setiap aksi-aksi mahasiswa maupun aksi-aksi buruh. Slogan ini begitu populer dan juga begitu menakutkan Orde Baru dengan seluruh jajarannya. Slogan ini emmpunyai kekuatan yang mampu membakar semangat dan menyatukan kekuatan para aktivis yang mau menjatuhkan Orde Baru. Slogan “hanya ada satu kata: lawan!” mungkin sama khasiatnya dengan slogan di zaman pra-kemerdekaan: “Merdeka atau Mati!.” Atau slogan Karl Marx yang menjadi “hantu” yang sangat menakutkan bagi para pemilik modal (kapitalis): “workers of the world, unite!”

Orang-orang seperti Pramodya Ananta Toer dan Wiji Thukul dianggap membahayakan keamanan negara karena berpikiran “di luar kerangka” berpikir Orde Baru. Orde Baru dengan semua bala-tentaranya dan juga kaum cendekiawan mengontrol bahasa dan juga pengetahuan. Sehingga ketika ada pihak ataupun individu yang mencoba bergerak di luar kontrol akan segera berurusan dengan alat pengontrol negara: polisi dan tentara. Di samping itu Orde Baru juga menerapkan solusi super-cepat dan super-efektif, yakni penculikan. Penculikan aktivis pro-demokrasi dan juga orang-orang kritis merupakan alat pembungkam paling berhasil. Padahal syarat utama membangun demokrasi di sebuah negara adalah berjalannya proses kritik dari berbagai pihak. Dan kritik hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki perspektif berbeda. Keragaman (pluralitas) berdiri setara sebagai bahan bakar dalam proses kritik yang sehat. Jika sudah begitu, mengapa seorang Wiji Thukul yang melakukan kritik kepada pemerintah harus diculik dan dihukum sampai tidak kembali kepada keluarganya?

Wiji Thukul, seperti penyair lain, hanya menjalankan fuingsinya sebagai penyair. Meminjam pendapat Yoseph Yapi Taum, Wiji Thukul, sebagai seorang penyair kerakyatan, mendudukkan fungsi sastra pada tempatnya, yakni sebagai sarana memperjuangkan cita-cita dan visi kemanusiaan. ***