Selasa, 29 April 2008

Harmoni Dalam Kapitalisme?

Coen Husain Pontoh

HARI-HARI ini, frasa yang paling seringdidengung-dengungkan, terutama di kalangan pejabatbirokrasi Partai Komunis Cina, adalah frasa“harmonious society/ héxié shèhuì” atau “masyarakatharmonis.”Frasa ini pada mulanya digaungkan oleh Jiang Zemin,sekretaris jenderal PKC setelah Deng Xiaoping, ketikamemberikan laporan dalam Kongres ke-16 PKC padatanggal 8-14 Nopember, 2002, dimana ia mengemukakanpentingnya untuk menciptakan sebuah “masyarakat yanglebih harmonis.”

Selanjutnya, pada bulan Juni 2004,People’s Daily melaporkan berita tentang aktivitasyang terjadi di provinsi Zhejiang, yang sedangmempromosikan apa yang disebut “Peaceful Zhejiang.”Laporan itu mengutip pernyataan sekretaris provinsi XiJinping, yang mengatakan, “Untuk mempromosikanpembangunan ekonomi adalah tujuan politik kita, dan untuk mempertahankan sebuah masyarakat yang stabil danharmonis juga merupakan tujuan politik kita.”Kemudian, dalam Kongres Rakyat Nasional pada 2005,pemerintahan baru Hu-Wen (Hu Jintao dan Wen Jiabao),untuk pertama kalinya secara resmi mengusung gagasanmengenai pergeseran fokus pembangunan nasional daripertumbuhan ekonomi ke keseimbangan masyarakat secarakeseluruhan. Dan menjadi sebuah isu nasional bahkan,menjadi sebuah kebijakan politik PKC, ketika HuJintao, sekretaris jenderal PKC pengganti Zemin,melontarkannya dalam kongres ke-17 PKC, yangberlangsung pada 15 Oktober 2007, di Beijing, Cina.Dalam pidatonya, Hu menginstruksikan kepada seluruhpejabat partai di segala tingkatan dan pemerintahanpusat untuk menjadikan “pembangunan masyarakat yangharmonis” sebagai prioritas utama dalam agendakerjanya.

Program ini sendiri didasarkan pada tujuan untuk membangun masyarakat yang sejahtera dan pembangunansituasi sosialis yang baru. Menurut Xiao Zhuoji,profesor ilmu ekonomi di Universitas Peking danwakil-presiden dari the Social and Legal AffairsCommittee of the Chinese People's PoliticalConsultative Conference, pembangunan sebuah masyarakatyang baru pertama-tama berarti menempatkan rakyatsebagai yang utama. Dalam masyarakat yang harmonis,diharapkan rakyat di semua tingkatan salingmenghormati satu-sama lain. Dan pada akhirnya, kerja,pengetahuan, teknologi, kapital, dan seluruh faktoryang menciptakan kesejahteraan, yang bisa menghasilkankeuntungan, seharusnya saling menghormati sejauhmereka menyumbang pada masyarakat.

Ketimpangan Sosial yang Tajam

Dengan dijadikannya kebijakan “pembangunan masyarakatyang harmonis” sebagai agenda utama kerja partai danpemerintah, muncul beragam tafsir mengenai dasar utamadi balik kebijakan itu. Ini lumrah, karena inilahuntuk pertama kalinya setelah reformasi pada 1978,pemerintah Cina menjadikan teman keadilan sosialsebagai kebijakan resmi.Allen T. Cheng, misalnya, mengatakan, dasar di balikkebijakan itu harus dilihat pada pengaruh ajaranKonfusian yang melekat kuat pada diri Hu Jintao.

Menurut Cheng, ketika Mao Zedong mengambilalihkekuasaan di Cina pada 1949, Hu yang saat itu baruberumur enam tahun, sedang asyik-asyiknya belajarKonfusian dari bapaknya, seorang pedagang teh di rumahmereka di sebelah timur kota Taizhou. Pendapat lainmengatakan, kebijakan “membangun masyarakat yangharmonis” sesungguhnya dimaksudkan untuk menyelamatkannasib PKC. Seperti dikemukakan Laurence Brahm, penulisbuku "China's Century: The Awakening of the NextEconomic Powerhouse'' (Wiley 2001), "ideologi komunistelah mati dan di Cina saat ini terjadi kekosonganspiritual yang luar biasa.

Dengan mengajukan kebijakantersebut, Hu mencoba mengisi kekosongan itu dengan
mengembalikan PKC pada nilai-nilai budaya dankepercayaan Cina.”Namun demikian, tafsir yang paling luas diterima,adalah makin terbelahnya masyarakat Cina saat ini.Setelah reformasi yang digulirkan pada 1978, potretkesenjangan sosial itu sangat mengerikan. Pertumbuhanekonomi yang mencengangkan dunia luar, ternyata tidakterbagi secara adil di tengah masyarakat.

Potretmasyarakat egaliter warisan Mao terjungkir-balik,justru ketika ekonomi Cina berhasil menyalip posisiJerman sebagai negara dengan kekuatan ekonomi ketigaterbesar di dunia.Inilah pendapat Willy Wo-Lap Lam, penulis buku“Chinese Politics in the Hu era," yang juga merupakansenior fellow di Jamestown Foundation yang berbasis diWashington DC,“Polarisasi antara kaya dan miskin semakin memburuk.Inilah sebabnya mengapa presiden Hu Jintao menekankandoktrin Masyarakat Harmonis. Partai benar-benar sangatketakutan.”Sebagai contoh, menurut lembaga Merrill Lynch CapGemini, yang berbasis di New York, ketika ledakanekonomi menciptakan para milioner dengan pendapatan$320 ribu, daerah pedesaan justru tertinggal dibelakang.

Sementara sumber resmi pemerintah yakni,hasil survey yang dilakukan oleh Biro StatistikNasional tahun 2005, menunjukkan, 10 persen terataspenduduk perkotaan menerima 45 persen dari totalkekayaan di perkotaan Cina, sementara 10 persenterbawah hanya menerima 2 persen dari total kekayaan.Bank Dunia memperkirakan, lebih dari 300 juta pendudukCina hidup di bawah $2 per hari. Survey lain yangdilakukan oleh majalah New Fortune pada 2003,menunjukkan, 400 orang terkaya (tycoons) memilikijumlah kekayaan yang luar biasa besar, 303 milyar yuan(US38 milyar). Jumlah ini tiga kali lipat dari seluruhproduk domestik bruto (GDP) Guizhou tahun itu. Guizhouadalah salah satu provinsi termiskin di Cina.

Dari ukuran Gini Coefficient (GC), kota-kota di Cina saat ini rata-rata di atas 0.4. Padahal menurut studidari tim universitas Nankai yang dipimpin olehProfesor Chen Zongsheng, GC pada 1988 hanya sekitar0.35 dan meningkat mendekati 0.5 pada 2003. GC sendiriadalah alat untuk mengukur tingkat kesenjangan denganmengambil nilai antara 0 dan 1; semakin besar angkayang diperoleh, semakin besar tingkat kesenjangan.Angka 0.4 secara umum dianggap sebagai tanda bahaya(red alert) dan 0.5 berarti bersiap-siap untukmenghadapi pemberontakan sosial.Kesenjangan kekayaan antara wilayah perkotaan danpedesaan juga meningkat pesat. Pada 2005, rata-ratapendapatan perkapita penduduk perkotaan adalah 3.22kali pendapatan petani.

Harian ekonomi Bloombergmelaporkan, pendapatan per kapita penduduk perkotaanmeningkat menjadi 10.493 yuan, dibandingkan dengan3.254 yuan yang diterima penduduk pedesaan. Padahalpada 1978, pendapatan penduduk perkotaan hanya sebesar607 yuan, lebih kecil ketimbang pendapatan yangdiperoleh penduduk pedesaan sebesar 624 yuan.Kesenjangan antar wilayah juga turut meluas. Perkapita provinsi kaya Pantai Timur Cina, kini sepuluhkali lebih besar ketimbang per kapita provinsi miskindi Barat Cina. Demikian juga kesenjangan pendapatan diantara buruh berbagai industri, makin lebar.Masalah kesenjangan sosial, yang dipicu oleh reformasiekonomi ini, tak pelak menimbulkan gejolak luas dimasyarakat.

Pada tahun 2005, misalnya, menurutstatistik pemerintah, tercatat 87.000 protes massa diCina. Pencaplokan lahan pertanian dan ketidadilanmerupakan penyumbang terbesar protes sosial itu yakni,90.000 protes massa pada 2004.

Slogan Kosong

Bagi para pengamat, protes massa yang terus meluas,terutama di wilayah pinggiran, seperti mengingatkanpemerintah pusat di Beijing, akan 5000 tahun sejarahpemberontakan terhadap kekuasaan pusat.Dalam konteks itulah, kita mesti melihat kebijakan“pembangunan masyarakat sosialis yang harmonis,”
digulirkan.

Soalnya, bagaimana pelaksananya dalampraktek? Di sini, ada dua pertanyaan kunci yang patutdiajukan untuk menguji efektivitas slogan “MasyarakatHarmonis” itu. Pertama, jika kita menganggapketidakadilan sosial yang meluas di Cina sebagai hasildari salah urus kebijakan yang muncul dalam bentukkorupsi, kolusi, dan nepotisme, maka solusi praktisdari slogan “Masyarakat Harmonis” itu adalahmemberlakukan kebijakan pemerintahan yang bersih.

Solusi ini tampak dari kebijakan tebang pilihpemerintah dalam menindak aparatur birokrasi Cina yangterindikasi KKN.Demikian juga, jika dasarnya adalah ketidakpedulianpemerintah terhadap lapisan terbesar rakyat miskinCina, maka solusinya adalah menggelar serangkaiankebijakan “murah hati,” seperti yang tampak dalamgerakan membangun perumahan dan penyediaan fasilitaskesehatan bagi penduduk pedesaan.Tetapi, penciptaan sistem pemerintahan yang bersih danaktivitas “murah hati” dipandang tidak mencukupi,karena adalah musykil hal itu terjadi dalam sistempolitik yang tertutup. Seperti kata Gordon Chang,penulis buku "The Coming Collapse of China'' (Arrow2003), “yang dimaksud Hu dengan harmoni tak lainadalah semua orang setuju dengan apa yangdiinginkannya.” “Jika ia benar-benar ingin menciptakankeharmonisan, “ lanjut Chang, “maka ia harusmelaksanakan pemilu, menghilangkan praktek sensor, danmengijinkan hakim untuk memutuskan setiap kasus tanpaintervensi partai.”

Cara pandang kedua melihat, akar ketidakadilan dandisharmoni yang meluas, merupakan hasil daripertumbuhan pohon kapitalisme. Jika ini soalnya, makaharmoni sosial hanya mungkin dibangun dengan syaratmerobohkan pohon kapitalisme itu. Sebab, adalahmustahil rakyat yang lahannya dirampas, secarasukarela berdamai dengan sang perampok. Adalah musykilpara imigran yang hidup bersesak-sesak di perkampungankumuh di kota-kota, mentolerir gaya hidup orang kaya baru yang supermewah. Dan tidaklah mungkin, sebuahprogram “murah hati” sanggup mengentaskan rakyat darikemiskinannya sembari pada saat yang sama mendukungpenuh pertumbuhan pohon kapitalisme dimana-mana.

Pada titik ini, saya setuju dengan Gordon Chang, bahwa“kebijakan membangun masyarakat yang harmonis taklebih sebagai slogan kosong.”***

Kepustakaan:

Wu Zhong, "China yearns for Hu's 'harmonioussociety,'' Oct. 11, 2006,http://www.atimes.com/atimes/China/HJ11Ad01.html

"What is a harmonious society?" www.chinaview.cn2005-03-21 19:45:53.

Allen T. Cheng, "Hu Invokes Confucius to AppeaseMasses, Save Communist Party,"http://www.bloomberg.com/apps/news?pid=newsarchive&sid=avMr4F3vE_GM

By Allen T. Cheng and Dune Lawrence, "China Has 106Billionaires, Up From 15 Last Year" (Update1),http://www.bloomberg.com/apps/news?pid=newsarchive&sid=a_TDRFAAr7.k

Artikel ini juga dimuat di http//indoprogress.blogspot.com

Minggu, 13 April 2008

Belajarlah dari Amerika Latin: Gerakan Sosialisme yang Terus Membara
Oleh Herdiansyah "Castro" Hamzah
(Disadur dari www.prp-indonesia.org)

"Sosialisme Tidak Akan Pernah Mati, Ia Akan Terus Hadir Dalam Setiap Nafas Kaum Yang Dihinakan, Dia Adalah Hantu Bagi Tuan-tuan Serakah, Malikat Bagi Kaum Miskin!!!"

The End Of Ideology(1), demikian judul buku yang dijadikan alat propaganda kekuatan kapitalisme Global yang ditulis oleh Francis Fukuyama. Dibalik analisis yang membenarkan tonggak berdirinya kapitalisme dengan gagah perkasanya itu, tersimpan black propaganda terselubung yang semakin menyudutkan ideologi Sosialisme sebagai salah satu alternatif di tengah situasi kegamangan Kapitalisme yang mengalami gelombang krisis pasang surut.

Sungguh suatu hegemonisasi yang ingkar dari fakta dan kenyataan. Atas dasar dan fakta apa Fukuyama membenarkan bahwa pertarungan ideology-ideology dunia telah berakhir dengan kemunculan KAPITALISME sebagai pemenang yang tak terkalahkan? Gambaran situasi gelombang perlawanan rakyat amerika latin hari ini dalam menghadapi neo-liberalisme adalah titik tolak kebangkitan gerakan kiri dunia yang secara objektif telah mencapai tahapan-tahapan revolusioner di dalam kerangka menempatkan spektrum politik sosialisme dalam pentas kekuasaan (road to the power).

“Sejarah pasti menempatkan kelas buruh-tani dalam kekuasaan ditengah himpitan krisis yang terus melanda buasnya sistem kapitalisme”, demikian maxim yang selalu terucap dari mulut seorang Marxis sejati, V.I. LENIN yang berubah menjadi sebuah keyakinan akan kemenangan kelas buruh-tani dibawah panji-panji sosialisme. Krisis ekonomi kapitalisme adalah kepastian yang absolut muncul sebagai akibat-akibat yang timbul dalam kontadiksi-kontradiksi dalam tubuhnya sendiri dan kemenangan kelas buruh-tani adalah mutlak adanya.

Soialisme bukanlah praktek ekomomi-politik dogmatis, namun suatu arahan-arahan bertindak dengan sejuta keyakinan yang dilandasi pembacaan objektif keadaan ekonomi-politik dimana Sosialisme mencoba dipraktekkan. Krisis, kemiskinan, konflik dan gejolak sosial serta carut-marutnya situasi sebuah negara adalah bom waktu yang akan meledakkan gelembung perlawanan massa secara spontanitas. Tinggal bagaimana sebuah gerakan mampu mengolah, memimpin dan mengarahkan spontanitas perlawanan massa rakyat tersebut agar tepat mengenai jantung kapitalisme. Faktualnya, kemenangan-kemenangan yang diraih gerakan kiri di seantero amerika latin bukanlah tanpa direncanakan, namun adalah praktek nyata akan keyakinan sebuah ideologi Sosialisme dengan bangunan alat politik yang terarah, rapi, sistematis dan kuat.

Spontanitas massa adalah pemicu, dan alat politiklah sebagai gerbong yang akan mengarahkan kemenangan Sosialisme.

Tidak ada kemenangan tanpa pemahaman akan tujuan, begitu pula dengan sosialisme! Tidak akan pernah terwujud jikalau sejarah tidak pernah berpihak dan kesadaran tidak diarahkan dalam bentuk perlawanan yang lebih kongkrit.

Kasus amerika latin mengajarkan serta memberikan keteguhan hati maupun semangat tajam akan kebenaran sebuah ideologi Sosialisme yang selama ini dianggap busuk dimata tuan-tuan pemilik modal; imperialisme!!!

Rakyat Venezuela; Berjuang Ditengah Badai Krisis Kesejahteraan

Amerika latin tak jauh beda dari benua asia-afrika dalam hal posisi ketergantungan (Dependensia) (2) terhadap kekuatan kapitalisme global. Infrastruktur ekonomi negara-negara amerika latinpun tentu menjadi sapi perahan penetrasi modal-modal imperialisme melalui proyek Neo-Liberalnya. Perangkat Structural Adjusment Programs (SAP) atau penyesuaian struktur ekonomi dinegara-negara amerika latin begitu massif yang menandakan tonggak merajalelanya praktek Neo-Liberal. Pencabutan subsidi publik, privatisasi, divestasi, deregulasi dan kebijakan pro-pasar bebas lainnya adalah menu santapan utama program ekonomi rezim-rezim pada era tahun 80-an sampai hari ini.

Kemiskinanpun bertaburan dimana-mana, pengangguran menjadi pekerjaan utama dan hantu kemelaratan bahkan kematian, setiap hari membebani pikiran rakyat amerika latin. Hal tersebut adalah pemandangan sosial yang tak asing lagi bagi massa rakyat amerika latin. Ketika Mexico dinyatakan default atau tidak mampunya arus kas nekonomi negara untuk membayar utang pada tahun 1982, maka dimulailah babak ekonomi baru amerika latin dengan sejuta ilusi penyelesaiaan yang ditawarkan oleh IMF yang notabene merupakan alat kekuatan imperialisme modal untuk menekan dan memaksakan reformasi ekonomi melalui bengunan sistem ekonomi neo-liberal yang berusaha mengintegralkan sistem ekonomi domestik suatu negara kearah kompetisi pasar bebas (free market Competition) tanpa intervensi politik negara. Kenyataan tersebut menjadi sebuah bom waktu yang suatu saat akan menjadi pemicu krisis baru ketika mencapai titik kulminasinya.

Pada tahun 1989, tahun disaat terpilihnya Carlos Andres Perez sebagai presiden Venezuela, program ekonomi Neo-Liberal pro pasar bebas telah menjadi trend kebijakan yang dijadikan basis utama dalam menggerakkan arah perekonomian domestik negara Venezuela. Program-program seperti pencabutan subsidi publik, privatisasi dll-pun mulai dijalankan. Tak ayal, program Neo-Liberal Perezpun menuai dampak krisis sosial-ekonomi baru. Gross Domestic Product (GDP) Venezuela mengalami kontraksi sebesar 8,6 persen, kemiskinan meningkat 66,5 persen dari tahun sebelumnya. Gejolak sosialpun tak terhindarkan lagi. Tentu keadaan ini telah menjadi stimulus peningkatan kesadaran politik rakyat venezuela.

Disaat badai krisis melanda Venezuela, letupan perlawanan yang berwujud dalam bentuk pemberontakan guna menggulingkan pemerintahan Perez terjadi dibawah pimpinan Hugo Rafael Chavez Frias melalui barisan Bolivarian Revolution bentukannya yang meskipun akhirnya gagal. Namun, kejadian ini meningkatkan popularitas Chaves dimata rakyat ibaratkan tokoh Simon Bolivar yang selama ini menjadi legenda populis rakyat Venezuela. Terlebih lagi, logika pemberontakan yang terbangun dari rakyat akibat kemiskinan dan krisis kesejahteraan semakin meluas. Bayangkan, dinegeri yang merupakan penghasil minyak ke-empat terbesar didunia menemui kenyataan bahwa 70 % penduduknya berada dalam garis kemiskinan yang sangat tajam membuat mata terbelalak seakan tak percaya. Kekayaan negara melalui minyak sekan raib entah kemana.

Pada tahun 1998, pemilu dilaksanakan dan Chavezpun muncul sebagai pemenang sah dengan mengalahkan lawan-lawannya yang tak lain merupakan orang-orang yang pro-Neo-liberal, Pro-Pasar bebas, Pro-Amerika yang sedikit demi sedikit semakin tersingkirkan akibat kebijakan-kebijakan terdahulu pemerintahan yang tak jauh beda dengan mereka. Tak ayal, Rakyat semakin muak dengan para tokoh-tokoh tersebut akibat krisis dan kemiskinan yang terus-menerus menghantam rakyat Venezuela(3) dan disisi lain semakin mengelu-elukan Chavez sebagai alternatif pemimpin yang membawa angin segar perubahan dan kesejahteraan.

Perubahan demi rakyat, kesejahteraan di bawah panji-panji sosialisme. Babak baru sejarah kemenangan rakyat di Venezuela-pun telah dimulai.

Di bawah kepemimpinan Chavez, perombakan sistem dan kebijakan-kebijakan ekonomi-politik Venezuela muilai dilakukan dengan menerbitkan konstitusi baru yang tentunya lebih mencerminkan keberpihakan dan kepentingan mayoritas rakyat Venezuela. Undang-undang Bolivarian, begitu konstitusi ini sering disebut, Yang mengatur tentang hak dasar rakyat serta bagaimana demokrasi patisipatoris benar-benar harus diwujudkan secara total dibawah kontrol rakyat sendiri. Di dalam UUD tersebut tertuang jelas bagaimana negara menjamin hak rakyat atas tanah dalam makna distribusi secara merata kepada rakyat Venezuela.

Hal yang paling fenomenal yang dilakukan oleh Chavez adalah melakukan kontrol atau Nasionalisasi total terhadap perusahaan minyak negara (PDVSA) untuk didistribusikan secara menyeluruh untuk kepentingan kesejahteraan rakyat Venezuela. Hal terebut tentu mendapat reaksi negatif dari para pengusaha borjuasi Venezuela yang diback-up oleh Amerika yang berkepentingan terhadap aset minyak Venezuela. Percobaan kudeta terhadap Chavezpun dilakukan oleh tokoh-tokoh oposisi yang notabene adalah para kaum mapan (baca; Borjuasi) yang disokong oleh kekuatan militer yang tentunya diskenarioi oleh amerika melalui badan intelijen-nya (CIA). Selama 48 jam, kudeta atau pemngambil alihan kekuasaan oleh kekuatan borjuis-reaksioner terjadi dibawah pimpinan Assosiasi pengusaha nasional (FEDECAMARAS) antek Imperialis Pedro Carmone. Pembubaran kabinet, pencabutan Konstitusi Bolivarian sampai pembubaran Ombudsmen adalah langkah-langkah yang dilakukan oleh kekuatan borjuis-reaksioner yang dianggap Chavez sebagai tindakan kontra-revolusi.

Namun sejarah berkata lain, tingkat kesadaran massa rakyat menggelembung cepat menyadari bahaya kembalinya kekuatan pro-Imperialis tersebut. Jutaan massa pro-Chavez, Pro-Demokrasi mengepung istana presiden meminta kembalinya Chavez dan memberlakukan kembali konstitusi Bolivarian yang Pro-Rakyat. Drama kudetapun berakhir selama 48 jam yang ditandai kembalinya Chavez ditampuk kekuasaan yang berarti kemenangan rakyat Venezuela, kemenangan demokrasi dan Sosialisme Venezuela.

Perjalanan babak sejarah rakyat Venezuela membuktikan bahwa hanya dengan kekuatan rakyat terorganisirlah yang mampu menciptakan demokrasi sejati demi terwujudnya Sosialisme Sejati.
Situasi terakhir di Venezuela sendiri pasca referendum mengenai presiden semumur hidup ditolak, kekuatan Chavez tetap tak tergoyahkan dari segala upaya dan hantaman imperialism Amerika yang mencoba menggoyahkannya. Propaganda hitam (black campaigne) yang terus dihembuskan Amerika terhadap Chavez sama sekali tidak membuat rakyat venezuela menanggalkan dukungannya terhadap Chavez. Sekali lagi, ini merupakan buah konsistensi Chavez dalam mewujudkan kesejahteraan bagi seantero Rakyat Venezuela. Bahkan yang paling menggakan adalah, dukungan serta solidaritas terahdap perjuangan (baca ; revolusi untuk sosialisme) Venezuela terus mengalir, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dengan terbangunnya komunitas “Hands Of Venezuela (HOV)”. Upaya ini dimaksudkan agar perjuangan Negara-negara dunia ketiga tidak terpisah-pisah dan terorganisir dengan rapid an terpimpin.

Panggung Elektoral : Strategi Gerakan Rakyat Brazil Menuju Kekuasaan

Bertahun-tahun perlawanan rakyat terus terlontar dari panah kemarahan rakyat akibat situasi ekonomi serta krisis politik yang terjadi dan berlangsung tanpa henti. Metodelogi yang digunakanpun sangat tergantung dari perkembangan situasi objektif di masing-masing negara. Tingkat perlawanan tentulah tidak hanya terhenti hanya sebatas menggugat dan menolak suatu kebijakan ekonomi-politik yang tidak pro terhadap rakyat, namun jika kita memandang suatu persoalan secara sitematis dan objektif, maka kita akan menemukan bahwa akar dari segala akar persoalan muncul dari bangunan sistem kekuasaan yang tentunya lebih mengabdi kepada segelintir orang yang kita sebut pemilik modal yang pada sisi yang lain telah mengeruk keringat serta memeras tenaga rakyat pekerja sebagai jalan kekuasaannya. Maka perjuangan dan perlawanpun harus diarahkan kepada pemenangan rakyat terhadap sisitem kekuasaan yang ada.

Begitu halnya dengan rakyat Brazil yang memilih memainkan peran dalam konteks demokrasi liberal dengan strategi elektoral menuju jalan kemenangannya. Kemengan Lula Ignasio Da Silva adalah langkah awal Brazil menuju sistem negara yang sepenuhnya mengabdikan kebijakan-kebijakannya kepada rakyat khususnya kelas pekerja dan kaum tani tak berpunya.

Akar tonggak berdirinya Babak sejarah perlawanan rakyat Brazil menuju kemenangan dimulai dari pembangunan wadah-wadah perlawanan rakyat yang secara teritorial berangkat dari wilayah pedesaan yang lebih besar populasi penduduk berbasis petani tak bertanahnya. Problem-problem pedesaan yang berangkat dari hubungan produksi kepemilikan tanah yang banyak mengeksploitasi para buruh-buruh tani atau pekerja pertanian yang tak bertanah, maka arah perjuangan para tani-tani tak bertanah tersebut memuncak pada tuntutan distribusi tanah dan pembagian hasil produksi secara adil. Merekapun lalu membentuk wadah-wadah perlawanan yang pada akhirnya mampu menghimpun perlawanan gerakan kaum tani tak bertanah (people landless movement) secara rapi, terstruktur dan militan dalam sebuah bangunan organisasi tani yakni Movimento dos Sem Terra atau yang lebih dikenal dengan sebutan MST(4) yang sekarang menjadi organisasi perlawanan yang mempunyai basis yang menguasai hampir 60 % petani yang tersebar diseluruh Brasil.

Para kader-kader militan MST menyadari bahwa tuntutan perjuangan yang akan menghantarkan kemenagan total rakyat tentu tidak hanya berkubang diteritorial pedesaan. Namun perjuangan tersebut mestilah menggunakan piont politik diperkotaan sebagai gerbong partisipasi politik untuk semakin menarik dukungan luas dan memantapkan strategi-taktik perjuangan menuju terbangunnya prinsip demokrasi kerakyatan yang seutuhnya mengabdi kepada rakyat Brasil. Maka, MST meskipun secara prinsip merupakan organisasi independen, menjalin hubungan dan kerjasama dengan Partido do Trabalhadores (PT) yakni partai politik pimpinan Lula Ignacio Da Silva sebagai jembatan politik menuju kemenangan rakyat melalui perjuangan Elektoral.

Tidak bisa dipungkiri bahwa kemenangan Lula Da Silva pada pemilu Brazil tahun 2003 adalah berkat sokongan politik dari MST. Bahkan pengurus-pengurus PT dari desa sampai tingkat nasional sebagian besar adalah kader-kader MST. Secara umum, hubungan MST dan PT adalah hubungan politik yang berwatak kritis, dinamis dan demokratis. MST melihat bahwa PT adalah alat politik yang paling progresif dalam menggolkan tuntutan-tuntutan kesejahteraan rakyat dalam sistem politik elektoral sebagai wujud pertarungan pada ranah demokrasi liberal di Brazil.
Namun, kemenangan Lula Da Silva tidaklah membuat MST berpikir bahwa pemerintahan lula akan secara cepat melahirkan perubahan fundamental mengingat kemenangan tersebut tidak diperoleh secara mutlak dari rakyat, akan tetapi adanya kompromi dan kerjasama politik dari kelompok tengah-demokrat yang notabene hanya berkepentingan akan kue kekuasaan semata.

Keraguan akan pemerintahan yang akan tetap terseret dalam pusaran ekonomi global pro-pasar bebas dengan trend Neo-Liberlismenya adalah beralasan mengingat aliansi taktis tersebut. MST bahkan hari ini menjelma menjadi kekuatan oposisi yang tetap memelihara watak dan karakter revolusionernya dan menggunakan gelombang massa yang terorganisir dalam memperjuangkan kepentingan rakyat Brazil. Apalagi pemerintahan Lula Da Silva mulai bergeser dan tenggelam dalam konteks perekonomian imperialis secara integral dengan masih mempraktekkan konsesi-konsesi ekonomi Neo-Liberal yang merugikan rakyat Brazil. Faktualnya, Gerakan MST tetap harus berjalan dalam koridor kesetiaanya terhadap politik pengorganisiran massa sebagai jalan mencapai kemenangan sejati rakyat. Hal tersebut harus dilihat dan dipahami sebagai proses politik rakyat Brazil dalam mencapai tahapan-tahapan kemenangan secara gradual namun semakin memberikan kepercayaan politik yang besar dalam penentuan sejarah kemenangan rakyat dan Sosialisme berikutnya.

Lantas bagaimana dengan Indonesia sendiri? Hingga saat ini kekuatan rakyat masih terlalu dini untuk dikatakan matang untuk mengambil alih kekuasaan politik dari tangan imperialisme dan antek-anteknya. Kekuatan rakyat harus mampu menguji perjaungan secara multi-sektor dengan melatih pertempuran dengan persatuan sebagai alat utamnya. Buruh, tani, miskin kota, intelektual, harus mampu melakukan praktek penguatan gerakan rakyat secara terpimpin.

Kondisi ekonomi yang kian memprihatinkan, seharusnya mampu untuk diolah sebagai sebuah senjata pemantik kemarahan rakyat. Meluasnya protes kontrak dan outsourcing dikalangan buruh, harga gabah petani yang semakin murah akibat liberalisasi impor pangan, kian mahalnya penidikan bagi mahasiswa dan pelajar akibat praktek swastanisasi, penggusuran yang semakin marak dialami oleh miskin kota, serta sejumlah persoalan pokok rakyat lain yang semakin bertumpuk, menjadi senjata bagi meluasnya protes rakyat. Persoalannya sekarang adalah, tinggal bagaimana kita mengolahnya dengan baik agar mampu melahirkan sebuah kekuatan yang mampu merobek dinding kedzaliman penguasa. Apa yang terjadi dengan rakyat Amerika Latin hari ini, mudah-mudahan mampu menjadi spirit baru bagi gerakan rakyat Indonesia, dan akan selalu memberikan kita pelajaran bahwa Sosialisme sebagai lawan dari kapitalisme, bukanlah sebuah mimpi. Tapi ia adalah praktek nyata gerakan rakyat yang harus diperjuangkan.
Catatan Kaki :
(1). The End of Ideology adalah buku karangan Francis Fukuyama mengenai pandangan yang banyak mengulas tentang propaganda kemenagan Kapitalisme tanpa pemaparan data dan fakta yang lengkap besarta alasan-alasan asumsinya.
(2) Dependensia adalah suatu penafsiran akan sebuah ketergantungan parah terhadap sebuah pusaran ekonomi global (baca; imperialisme) yang dicetuskan oleh Andre Gunder Frank dan Cardoso. lengkapnya baca buku teori-teori pembangunan Oleh Arief Budiman
(3) Sampai pada tahun 1998, penduduk Venezuela yang hidup di bawah garis kemiskinan mencapai 70 % dari total penduduk. Sungguh ironis mengingat Venezuela merupakan negara penghasil minyak terbesar ke-empat didunia.
(4) Movimento dos Sem Terra (MST) lahir dan berkembang luas akibat kesadaran politik massa yang terorganisir terutama dari kalangan petani tak bertanah sebagai alat perjuangan menuju kebebasan dan kesejahteraan kaum tani Brazil.

*Penulis adalah Ketua Divisi Pendidikan PRP Komite Persiapan Kota Samarinda

Ketika Kaum Buruh Perempuan Bergerak: Sekilas mengenai Revolusi Febuari 1917 di Rusia

Oleh Ken Budha Kusumandaru*

(Disadur dari www.prp-indonesia.org)

Prolog

Pada bulan Maret ini, tepatnya pada tanggal 8 Maret, kita sepatutnya mengenangkan kembali sebuah peristiwa besar yang mengguncang seluruh dunia, yang mengubah arah sejarah, yang dampaknya masih terasa sampai sekarang—namun yang juga diupayakan pelupaannya oleh para intelektual pengabdi kelas berkuasa—Revolusi Februari 1917 di Rusia.

Revolusi ini disebut Revolusi Februari karena penanggalan yang dipakai di Rusia pada jaman itu merupakan penanggalan Gereja Ortodoks Yunani (Kalender Julian). Kalender ini, pada abad ke-20, ketinggalan 13 hari dari penanggalan Gereja Katolik Roma (Kalender Gregorian, yang di Indonesia dikenal sebagai penanggalan Masehi). Maka, seturut penanggalan tersebut, apa yang bagi kita adalah 8 Maret 1917, bagi kaum revolusioner Rusia masa itu adalah 22 Februari 1917. Oleh karena itulah revolusi yang dipicu oleh demonstrasi di tanggal 8 Maret 1917 ini dikenal sebagai Revolusi Februari.

Revolusi ini sangat menarik dan tepat dibahas dalam satu edisi yang tema utamanya bicara tentang Hari Perempuan Internasional karena picu bagi Revolusi ini ditarik persis ketika kaum buruh perempuan di St. Petersburg, Rusia, berdemonstrasi memperingati Hari Perempuan Internasional. Penembakan yang dilakukan pasukan tentara dan polisi Tsar Rusia terhadap 128.000 buruh yang terlibat dalam peringatan Hari Perempuan Internasional itu merupakan bendera start bagi sebuah gelombang revolusioner yang mampu memaksa salah satu Kekaisaran tertua dan paling kolot di Eropa untuk turun tahta.

Kaum perempuan seringkali dipandang sebagai elemen terbelakang dalam gerakan revolusioner. Kaum revolusioner seringkali memandang kaum perempuan dalam hidup mereka sebagai penghalang bagi aktivitas revolusioner mereka. Kaum liberal memandang tidak seharusnya perempuan terlibat dalam aktivitas revolusioner dan mengarahkan perempuan pada aktivitas politik berbasis “gender” yang anti perjuangan kelas. Kaum konservatif yang paling parah, memandang gerakan perempuan dengan jijik, tapi sekaligus berusaha mengorganisir perempuan agar tetap terpenjara oleh semboyan “kasur, dapur dan sumur”.

Menarik pelajaran dari sebuah masa revolusioner adalah tugas yang nyaris mustahil dilakukan dengan sempurna. Tapi, setidaknya ada beberapa point yang harus dikemukakan karena point-point ini muncul dengan begitu jelas di tengah gejolak revolusioner di Rusia, yang diawali oleh demonstrasi memperingati Hari Perempuan Internasional 8 Maret 1917.

Menuju Revolusi Februari 1917
Latar Belakang

Kalau mau menunjuk, peristiwa mana yang menjadi titik-tolak dari Revolusi Februari 1917, kita akan mengalami kesulitan memilih. Proses yang terjadi menjelang Februari 1917 adalah satu proses yang membingungkan. Ada setidaknya tiga faktor pembingung yang beredar di tengah gerakan buruh Rusia masa itu:

  1. Di satu pihak, Perang Dunia I yang pecah di tahun 1914 telah membuat banyak buruh dikirim ke medan pertempuran, baik sebagai anggota pasukan garis depan ataupun sebagai tentara cadangan. Dapat diperkirakan bahwa jika pengusaha ditanya oleh kekaisaran: “buruh mana yang kiranya akan dilepas untuk dijadikan tentara wajib militer?”, tentunya buruh-buruh maju yang “rewel” yang akan pertama kali dilepas oleh pengusaha untuk dibiarkan maju berperang. Sekitar 17% dari kader buruh maju Rusia terpaksa pergi ke garis depan karena wajib militer ini.
  2. Di pihak lain, terjadi kekacauan di tengah gerakan sosialis di seluruh dunia akibat pertikaian yang dipicu sikap Partai Sosial Demokrat Jerman, yang memilih untuk mendukung pemerintahnya berperang. Dengan kata lain, gerakan buruh Jerman kemudian memobilisasi diri untuk bertempur dengan buruh-buruh dari negeri lain, yang pada saat bersamaan dimobilisasi juga oleh pemerintah masing-masing. Partai Sosial Demokrat Jerman, yang dipimpin Kautsky, pada saat itu adalah suar bagi partai-partai buruh dan revolusioner di seluruh dunia. Dapat dibayangkan kekacauan yang timbul gara-gara sikap ini—sikap yang oleh Lenin disebut sebagai “sosial-chauvinisme”.
  3. Keadaan darurat perang juga membuat aktivitas polisi dan militer meningkat tajam. Ini jelas merupakan satu penghalang yang besar bagi kekuatan-kekuatan revolusioner Rusia yang, di masa itu, bergerak di bawah tanah. Keadaan darurat perang ini membuat banyak jalur dana, terbitan dan komunikasi antar kader terputus dan, kalaupun ada, menjadi beresiko sangat tinggi. Hampir semua kader revolusioner yang bekerja “di atas tanah” ditangkapi, disiksa dan/atau dipenjarakan. Terhitung Januari 1915, hampir semua jaringan legal gerakan buruh revolusioner Rusia telah berhasil dihancurkan oleh polisi dan tentara Rusia.

Akibat kekacauan ini, terjadi penguatan yang besar pada kekuatan kiri-tengah, yang pada saat itu diwakili oleh Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia (RSDRP—Rossijskoj Social-Demokratičeskoj Rabočej Partii) dari sayap Mensheviki. Sementara RSDRP dari sayap revolusioner, Bolsheviki, mengalami kemunduran yang tajam.


Gerakan buruh, secara umum, juga mengalami pukulan hebat. Para buruh yang sudah lama terlatih dalam teori dan praktek progresif, harus merunduk-runduk di bawah penerapan “disiplin militer” dalam pabrik. Akibat banyaknya buruh laki-laki yang dikirim ke medan tempur, para pengusaha mengisi kebutuhan tenaga kerja mereka dengan buruh-buruh perempuan—yang, selain dianggap lebih patuh, juga dapat diupah lebih murah. Meningkatnya jumlah buruh perempuan dan buruh-buruh muda yang tidak pernah terlatih dalam perjuangan buruh menyebabkan padamnya suasana pergerakan di pabrik-pabrik.


Para buruh Rusia, di awal Perang Dunia I, bersedia bekerja lembur demi memacu produksi untuk memenangkan perang. Mereka juga lebih suka mengumpulkan dana untuk membantu keluarga buruh yang kepala keluarga atau anggota keluarganya harus pergi berperang—bukannya untuk dana mogok. Pendeknya, propaganda revolusioner tentang sikap yang harus diambil gerakan buruh terhadap perang ditabur di tanah yang kering dan gersang.


Suasana gerakan buruh benar-benar amat lembam (macet, tidak mau bergerak). Massa yang apatis karena tidak memiliki teori dan pengalaman revolusioner memadai, ketakutan akibat represi dan suasana perang, kurangnya kader akibat keharusan menyembunyikan diri dan banyaknya penangkapan. Tidak ada kepemimpinan sentral dalam gerakan. Semua ini menyebabkan setiap orang yang “berakal sehat” akan mengatakan: suasana revolusioner di Rusia padam sudah.


Kebangkitan Kembali Suasana Revolusioner

Memang, orang “berakal sehat” akan mengatakan demikian. Tapi, karena itulah kita menolak penggunaan akal sehat. Kita memakai dialektika sebagai cara berpikir, bukan akal sehat. Dengan dialektika, kita tahu bahwa setiap hal selalu mengandung benih dari hal lain yang menjadi lawannya. Mudahnya: setiap kemunduran selalu mengandung potensi untuk terjadinya kemajuan, tiap kelemahan dapat dibalik menjadi kekuatan, tiap kekuatan dapat menjadi titik lemah yang mematikan, tiap kelahiran akan membawa kematian dan tiap kematian adalah bahan bakar bagi kelahiran baru.


Oleh karena itu, banyak orang menjadi tidak tahan dan berputus asa ketika mengalami kemunduran dan kekalahan serius. Banyak orang tidak sadar bahwa proses dialektika bekerja secara laten dalam tiap kekalahan, dalam tiap kemunduran, dalam tiap kejatuhan. Kesabaran, keuletan dan ketelatenan dalam mengolah kekalahan dan kemunduran adalah kunci bagi kemenangan dan kemajuan. Seperti burung Phoenix dari legenda kuno Timur Tengah, sejenis burung yang hanya bertelur sekali dalam 500 tahun, dan telur itu hanya bisa menetas jika si burung membakar dirinya sendiri—dari kematian, muncul kelahiran baru.


Banyak orang di sekitar kita yang tadinya terlibat dalam gerakan buruh, atau gerakan rakyat secara umum, menjadi tawar hatinya melihat kemunduran demi kemunduran yang terjadi di tengah gerakan ini. Pada titik ekstrimnya, orang-orang ini kemudian tidak lagi percaya bahwa gerakan buruh atau gerakan rakyat lainnya akan mampu mencapai kemenangan. Orang-orang yang putus asa ini kemudian berpaling pada cara-cara instan untuk “membantu rakyat”. Ada yang berpaling pada terorisme, ada yang berpaling pada “penguatan ekonomi”—ada pula yang terang-terangan menyeberang ke kubu musuh, dengan alasan “bermain dari dalam sistem”.


Mereka ini tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu, bahwa keuletan dan ketepatan kerja di masa-masa sulit akan menjadi kunci kemenangan ketika situasi berubah. Ini karena jika kita terus bertahan di masa sulit, kita akan menjadi yang paling siap ketika angin berganti arah. Secara mental dan disiplin tubuh kita paling siap. Tapi juga karena massa akan menilai siapa yang paling setia pada mereka di saat-saat tersulit.


Para kader partai proletariat revolusioner di Rusia, mereka yang tersisa, yang jumlahnya tidak banyak, memiliki kesabaran yang dituntut dari mereka dalam masa-masa sulit seperti itu. Tanpa terburu-buru, tapi juga sekaligus tanpa mengendurkan tuntutan politiknya, mereka berhasil mengorganisir pemogokan yang diikuti 2000 orang di St. Petersburg pada tanggal 9 Januari 1915. Mayday gagal diperingati karena aksi kepolisian dilancarkan secara membabi-buta pasca pemogokan Januari 1915 itu. Hanya 600 orang yang ikut serta dalam aksi Mayday di seluruh Rusia. Tapi, kerja-kerja propaganda, agitasi dan pengorganisiran terus dilakukan tanpa henti. Ketiadaan kepemimpinan sentral dijawab oleh para organiser dengan inisiatif dari bawah. Berbekal kemampuan menggunakan dialektika, para organiser dan “kolektif pimpinan dari bawah” ini menangkap situasi, memanfaatkan kabar yang datang dari luar sebisa mungkin sebagai bekal pengorganisiran mereka. Tidak ada yang nampak mendengarkan, oke sajalah. Tapi, seperti kebijaksanaan para petani tempo doeloe, apa yang kita tabur itulah yang akan kita tuai.


Demikianlah, di tengah kelembaman massa rakyat pekerja, ketidakpuasan perlahan-lahan muncul kembali ke permukaan. Kekalahan demi kekalahan yang dialami oleh tentara Rusia di medan perang, korban yang begitu besar akibat tidak kompetennya para perwira, harga-harga yang pelan tapi pasti merambat naik, makin langkanya barang-barang kebutuhan pokok karena semua produksi dikirim ke garis depan … semua ini tidak luput dari perhatian rakyat pekerja Rusia. Ketidakpuasan ini bukanlah hasil dari agitasi kader-kader revolusioner. Situasi ekonomi-sosial-politiklah yang menciptakannya. Tapi, rakyat pekerja Rusia mendapatkan ekspresi—jalan untuk menyatakan ketidakpuasan mereka—melalui apa yang diagitasi-propagandakan oleh para kader revolusioner, buruh-buruh maju dan mereka yang pernah berpengalaman terlibat dalam revolusi 1905.


Dengan kata lain, para kader yang bertahan dalam kondisi sulit di tahun-tahun awal Perang Dunia I berhasil menjadi corong (alias “megafon”) bagi ketidakpuasan massa rakyat pekerja.
Demikianlah, setelah begitu lama tidak terjadi pemogokan atau aksi besar di seluruh Rusia—mendadak—terjadilah aksi besar-besaran menentang keputusan Tsar yang membekukan Duma (parlemen kekaisaran Rusia). Kekalahan demi kekalahan yang diderita pasukan-pasukan Rusia bukanlah satu hal yang bisa diabaikan begitu saja. Para politisi yang ada dalam Duma melihat bahwa keresahan yang muncul di tengah rakyat jelata akibat kekalahan-kekalahan ini bisa dipicu menjadi sebuah pemberontakan yang lebih luas. Oleh karena itu, kaum parlementaris ini lantas mengajukan sebuah petisi pada Tsar untuk menghentikan perang, setidaknya mengurangi peran Rusia dalam perang. Tapi, Tsar yang bodoh itu menjawab petisi ini dengan membekukan Duma. Pecahlah demonstrasi dan pemogokan di seluruh Rusia pada tanggal 4 September 1915, diikuti oleh puluhan sampai ratusan ribu orang di St. Petersburg, Nizhni Novgorod, Moskow, Kharkov danYekaterinoslav. Di St. Petersburg sendiri aksi diikuti oleh 150.000 orang.


Betapa jauh bedanya dengan yang kita lihat terjadi pada tanggal 1 Mei 1915, di mana Mayday hanya diperingati 600 orang di seluruh Rusia!


Perubahan yang terjadi hanya dalam hitungan bulan!


Mereka yang berpikir dengan “akal sehat” tidak akan dapat mengerti hal ini. Mereka akan menuduhkan terjadinya konspirasi, hasutan, tipuan …. Yang benar saja! Mana mungkin berkonspirasi dengan 150 ribu orang? Atau menghasut, atau menipu, sekian banyak orang untuk bergerak hanya dalam satu hari setelah Duma dibekukan?


Dan, yang paling menarik adalah kenyataan bahwa buruh-buruh perempuan dan buruh-buruh mudalah yang paling banyak bergerak—lapisan yang tadinya dipandang sebagai lapisan berkesadaran paling terbelakang. Bagaimana mungkin mereka yang “paling belakang” bisa tiba-tiba melompat ke depan?


Kaum Perempuan Rusia Melompati Rintangan

Dialektika bekerja tanpa kasat mata. Ia adalah proses yang terus berlangsung (ongoing) dan tanpa henti (unceasingly). Ia adalah proses molekular (mengutip Trotsky), yang terjadi pada atom-atom dalam susunan masyarakat. Ia adalah tumbuhnya tanaman. Ia adalah geraknya bumi—kita tidak menyadarinya sampai gempa menghantam kita. Tumburan, kontradiksi, gesekan, terjadi dari hari ke hari. Tidak selalu dapat kita amati. Tidak selalu dapat kita analisa karena kerumitan dan kompleksitasnya. Tapi proses itu terus berlangsung tanpa sepengetahuan kita, dan kita pun terkejut ketika mendadak kita tiba di penghujung proses tanpa menyadari jalannya proses tersebut.


Oleh karena itulah setiap orang yang bekerja dengan gerakan rakyat harus selalu mawas diri dan waspada terhadap segala bentuk perubahan yang terjadi di tengah masyarakatnya. Perubahan-perubahan kecil, yang nyaris tidak terdeteksi, barangkali akan sangat vital dan menentukan di masa depan.


Perempuan adalah korban utama yang diserahkan oleh Rusia demi Perang Dunia Pertama. Memang, korban tewas dalam pertempuran mungkin 99% terdiri dari laki-laki. Namun, mereka adalah ayah dan suami dari banyak keluarga rakyat pekerja. Kekaisaran Rusia tidak mau tahu dengan nasib keluarga yang ditinggalkan suami atau anak atau saudara-saudara yang tewas di medan laga. Untuk mengisi perut mereka dan anak-anak mereka, mereka dipaksa menjadi pencari nafkah bagi keluarga. Di samping itu, kekurangan tenaga kerja (seperti sudah disebutkan di muka) membuat Kekaisaran Rusia menerapkan wajib-kerja (work draft) pada kaum perempuan Rusia. Maka, kini kaum perempuan Rusia mengalami penindasan berganda, di rumah oleh sistem patriarki dan di pabrik oleh sistem kerja-upahan. Mereka harus bekerja lima belas sampai delapan belas jam di pabrik, lalu masih harus melaksanakan “kewajiban” kerja-kerja domestik di rumah—hanya untuk mendapati bahwa harga-harga barang kebutuhan pokok melejit tinggi akibat perang dan semakin jauhnya kesenjangan antara si kaya dan si miskin.


Semua ini terjadi di depan mata mereka. Dari hari ke hari mereka melihat hal ini berlangsung. Kemuakan bertumbuh di hati dan pikiran kaum perempuan Rusia. Bersamaan dengan kemuakan, tumbuh pertanyaan di hati mereka. Bersama dengan pertanyaan, muncul pula ketidakpercayaan pada sistem kemasyarakatan yang selama ini mereka anggap benar adanya.


Dan mereka menemukan jawaban pertanyaan mereka dari apa yang dilakukan, dipropagandakan dan diperjuangkan oleh kaum revolusioner. Mereka menemukan bahwa sosialismelah jawaban bagi pertanyaan mereka.


Tentu saja mereka tidak begitu saja percaya. Mereka akan terus mempertanyakan. Sebagian dari kaum perempuan ini, yang kepercayaannya tumbuh dengan cepat, lantas bergabung dengan kaum revolusioner. Tapi, mereka yang tidak yakin juga pada satu saat tiba pada kesimpulan bahwa mereka harus bergerak mengambil kesimpulan sendiri. Mereka harus memastikan bahwa mereka bisa mengambil kesimpulan sendiri.


Pada titik inilah kesadaran mereka melompat. Dari keadaan skeptis, terbelakang dan pasif, mereka melompat ke dalam kesadaran maju yang revolusioner.


Inilah yang sering tidak dipahami oleh mereka yang menepuk dada bahwa dirinya revolusioner. Mereka yang merasa kesadarannya paling maju dan paling menginginkan perubahan, sehingga gagal melihat bahwa masyarakat juga terus berubah dan menginginkan perubahan itu. Banyak orang yang mengaku revolusioner menginginkan agar jumlah orang yang revolusioner menjadi mayoritas dalam masyarakat. Tidak benar. Tidak pernah ada revolusi yang terjadi karena kaum revolusioner adalah mayoritas. Revolusi akan terjadi jika mayoritas rakyat sudah memutuskan bahwa mereka harus menemukan jawaban sendiri atas pertanyaan-pertanyaan dalam hati dan pikiran mereka. Mereka belum tentu sudah menerima bahwa jawaban yang diberikan oleh kaum revolusioner adalah benar. Mereka hanya mengambil keputusan bahwa pertanyaan mereka harus terjawab dan sistem yang sekarang ada tidak bisa memberikan jawabannya. Mereka mau dipimpin oleh kaum revolusioner hanya jika, bagi mereka, hanya kaum revolusioner yang memiliki jawaban. Biarlah sekarang kaum revolusioner yang memimpin, tapi nanti mereka akan menuntut pembuktian jawaban itu dari kaum revolusioner.


Saat-saat kritisnya terletak pada saat di mana pertanyaan mulai muncul secara spontan dalam bentuk-bentuk gerakan tak terorganisir. Jika pada titik ini kaum revolusioner gagal menanggapi, maka pertanyaan itu akan berubah menjadi rasa putus asa.


Kaum revolusioner Rusia tepat membaca pembalikan posisi ini. Pada saat yang tepat, pada peringatan Hari Perempuan Internasional 8 Maret 1914 (penanggalan kita), diluncurkanlah sebuah terbitan khusus perempuan: Rabotnitsa (Perempuan Buruh). Terbitan ini didanai oleh sumbangan kolektif-kolektif perempuan di tengah gerakan buruh, dikerjakan sendiri oleh para aktivis perempuan buruh. Isinya adalah tentang kondisi buruh perempuan dan perjuangan perempuan—baik di pabrik, di desa, di partai maupun di tengah rumah tangga. Terbitan ini juga memuat perjuangan perempuan di negeri-negeri lain—baik itu buruh maupun bukan. Satu seruan yang terus-menerus dikumandangkan oleh Rabotnitsa adalah agar perempuan kelas pekerja mengorganisir diri sendiri, lalu bergabung dengan perjuangan kaum laki-lakinya—bahkan juga menyerukan agar kaum perempuan berani membangunkan dan memimpin kaum laki-laki yang masih “tertidur”.


Jadi, ketepatan pembacaan situasi dan perumusan tindakan oleh kaum revolusioner berkecocokan dengan proses dialektik yang meradikalisir kaum buruh perempuan di Rusia. Ketika kedua hal ini bertemu dan berkecocokan, meledaklah tenaga revolusioner yang dibangunkan oleh situasi objektif di tengah kaum perempuan Rusia. Tanpa tindakan yang tepat dari kaum revolusioner, tenaga yang terbangun secara spontan ini akan selalu tersimpan sebagai potensi. Sama seperti batu batere atau accu, yang memiliki potensi tenaga listrik, baru dapat dimanfaatkan tenaganya ketika terhubung secara tepat dengan rangkaian listrik tertentu. Jika kutub-kutub batere dihubungkan dengan cara keliru, potensi tenaga listrik tidak akan keluar—atau malah menyebabkan korsleting (hubungan pendek), yang bersifat merusak.


Kita melihat kesadaran kaum perempuan Rusia seperti “melompat” karena kita tidak melihat proses dialektika yang terjadi di tengah mereka. Sebenarnya, potensi kesadaran mereka bergerak sejajar dengan kesadaran masyarakat pada umumnya. Hanya saja, karena mereka mulai dari posisi yang terbelakang, kaum revolusioner juga terlambat menyadari perkembangan kesadaran itu. Begitu disadari, begitu kaum revolusioner mengambil tindakan untuk menangkup kesadaran tersebut, kaum perempuan langsung menyambut—dan kita melihat seakan mereka mengalami “lompatan kesadaran”.


Penutup

Salah satu pelajaran terpenting dari Revolusi Februari 1917 di Rusia ini adalah bahwa kaum revolusioner tidak dapat—dan tidak boleh—mengabaikan sektor-sektor rakyat pekerja yang manapun. Kaum revolusioner tidak boleh memvonis satu sektor sebagai “terbelakang” dan kemudian meninggalkannya sama sekali. Semua sektor rakyat pekerja harus diberi perhatian yang sama—walau mungkin untuk penanganannya memang harus menuruti sebuah skala prioritas yang disesuaikan dengan sumberdaya yang dipunyai organisasi.


Revolusi Februari 1917 di Rusia merupakan pembuktian bahwa sektor perempuan bukan saja berpotensi revolusioner, melainkan berpotensi untuk memimpin sebuah revolusi. Di saat kaum laki-laki meragu, kaum perempuanlah yang tampil ke depan memicu revolusi berlangsung. Kalau ada yang kita bisa teladani, pengorganisiran spesial di sektor perempuan, penggemblengan kader-kader perempuan revolusioner menjadi pemimpin-pemimpin, harus dimulai dari sekarang. Sehingga, ketika peluang untuk perluasan propaganda, rekrutmen dan pendidikan di kalangan perempuan kelas pekerja terbuka lebih lebar, kitalah yang akan menjadi organisasi yang paling siap untuk mengambil peluang itu. ***

Jakarta, 7 April 2008
*Penulis adalah Ketua Divisi Pendidikan Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja

Jumat, 11 April 2008

AIR: KEKAYAAN ALAM RAKYAT INDONESIA, BENARKAH?

Oleh Sri Lestari *

(Disadur dari Buletin SADAR)

Sudah jadi kebiasaan Udin hampir delapan kali setiap hari mendorong gerobakpenuh air seharga Rp. 1.200/jerigen. Udin cukup kewalahan melayanipermintaan pelanggannya di komplek perumahan Rancaekek, Bandung. Saat ini
ada banyak orang seperti Udin hampir di seluruh Negeri.Air merupakan salah satu sumber kekayaan alam Indonesia yang berlimpah danpaling berharga bagi rakyat -- bahkan sebelum ada yang namanya NegaraIndonesia.

Air setiap saat dimanfaatkan, baik untuk mandi, mencuci, minum,memasak, mengairi sawah, kebun. Kini tak mudah mencari air sungai yangbersih, bening dan jadi pemandangan indah, yang dipakai ibu-ibu mencucisementara anak-anaknya berenang dengan riang. Yang diperlukan agar tanamanbisa subur, dan tempat hidup ikan-ikan. Semua itu kini hanya bisa kita temuidi tembang kenangan. Karena air sudah jadi sumber kekayaan hanya bagisegelintir individu yang serakah dan kuasa. Kaum pemodal begitu jeli menjadikan sumber kekayaan Indonesia sebagai barangyang diperdagangkan.

Setelah minyak bumi, emas dan tambang dikeruk, hutandan tanaman digunduli, tenaga buruh dijual murah, kini giliran air jadisumber kekayaan pribadi bagi kaum pemodal baik asing maupun lokal. Tiap hariberjuta liter air diambil dari sumbernya untuk keperluan industri berat, dankini pun dikerahkan juga untuk memenuhi ketergantungan membeli airkemasan/botol. Kapitalisme bisa dengan sangat leluasa mengubah air menjadibarang dagangan. Bagaimana dengan sikap pemerintah kita?

Pemerintah yang saat ini berkuasa justru mengambil kebijakan politik ekonomi yang memihakkepentingan pasar. UUD 1945 yang mengatur tentang pengelolaan sumber daya alam pun kini hanya menjadi tembang kenangan.

Bagaimana Sikap Masyarakat?

Sebagian besar masyarakat telah dibutakan dengan tipu muslihat kapitalismeyang difasilitasi pemerintah dalam menciptakan kondisi seolah-olah kitaberada pada jaman yang serba sehat, praktis, elit dan modern. Kita bisalihat hampir di tiap rumah mempunyai alat menyimpan air kemasan/galon."Rumah belum lah lengkap tanpa air isi ulang, minum belum lah sehat tanpaair botol," itu lah fenomena yang kita lihat dan rasakan, lewat berbagaiiklan di media baik cetak maupun elektronik.

Di perkotaan ada ironi tambahan, setelah PDAM diswastanisasi, banyak kerugian yang dirasakan olehwarga. Selain biaya berlangganan bertambah besar, juga pelayanannya tidaklagi seperti dulu yakni 24 jam. Bahkan seringkali mati, airnya keruh.Kapitalisme dengan kuasanya mampu menghipnotis masyarakat Indonesia tanpaharus memikirkan akibatnya bagi masyarakat dan alam.Dampak dari Penguasaan Sumber Alam oleh Swasta Setelah hutan-hutan digunduli, kini sumber mata air yang tersisa untukmengairi sawah dan kebunnya telah disedot pula oleh perusahaan-perusahaan.Jatah air yang diterima oleh petani tidak seimbang dengan kebutuhan pengairan bagi sawah dan ladangnya, sehingga terjadi ketidakmerataan dalampemenuhan pasokan air bagi petani. Bahkan air yang dibuang olehperusahaan-perusahaan tersebut telah tercampur limbah Industri. Akibatnyakini panen raya terjadi hanya di beberapa daerah saja itu pun yang belumterjamah oleh industri-industri.

Sebagai contoh di Rancaekek, dimana sebelumtahun 1994 per hektar sawah menghasilkan 1,4 ton gabah, namun setelahindustri massif kini hanya didapat hasil 600-800 kg gabah. Hal ini didapat akibat: pertama, sistem pengairan sawah dan sistem irigasisecara umum tidak terencana dan sesuai dengan kebutuhan maupun strukturtanah yang ada. Kedua, penataan industri dan IPAL (Industri PengolahanLimbah) Industri tidak memperhatikan kepentingan petani serta lingkungan.Ketiga, jenis padi tidak disesuaikan dengan keadaan tanah dimana mulaikekurangan air karena program pertanian top-down.

Dampak yang diterima secara umum oleh masyarakat perkotaan dengan banyaknyaindustri yang tidak ramah lingkungan adalah kurangnya pasokan air bersihyang dipergunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Air sungai yang dulu bersihkini kotor karena limbah-limbah industri. Kebutuhan air masyarakat terutamadi perkotaan, tidak mampu lagi tercukupi karena sumur warga kalah bersaing dengan sumur artesis pabrik. Air sumur rakyat warna airnya menjadi kuningdan bau hingga tidak dapat digunakan. Masyarakat harus membeli air untukmemenuhi kebutuhan hidupnya. Kondisi ini yang membuat kesehatan masyarakatsecara umum merosot parah, selain itu, memaksa pengeluaran asyarakatbertambah besar.

Nasionalisasi

Harus ada upaya serius dari seluruh elemen masyarakat untuk pembenahanpersoalan air yang ternyata tidak berdiri sendiri. Sumbernya adalah sistemekonomi yang menghisap rakyat tapi memberi keleluasaan bagi swasta menguasaiair serta kehidupan ekonomi terkait. Melihat kenyataan ini, nasionalisasiproduksi sumber alam serta aset negara jadi tuntutan mendesak dan harusdibangun komunikasi antara organisasi rakyat (baik sektor lingkungan, buruh,petani maupun nelayan) agar mampu membuat kekuatan perlawanan. Nasionalisasi berarti kembali ke khittoh UUD 45 pasal 33, bisa jadi isubersama yang menyatukan elemen rakyat.

Bagaimanapun sumber alam serta isibumi harus dipergunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat.
"Dan Tuhan pun akan marah, karena air dan isi bumi yang diciptakanNya dikuasai dengan serakah oleh segelintir orang. Sementara yang lain menderitakarenanya..." (Mang Udin, penjual air jerigen keliling)

* Penulis adalah anggota Perhimpunan Rakyat Pekerja, Bandung, sekaligusanggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

SUSAH MINYAK DI NEGERI LADANG MINYAK

Oleh Beno Widodo *

(Disadur dari Buletin SADAR)

Beberapa bulan terakhir rakyat di negeri kita disuguhi kenyataan yang serba pahit dan sulit, selain bencana di mana-mana, kebijakan! negara yang menyulitkan rakyat, diperparah dengan kelangkaan dan harga yang melambung tinggi pada minyak dan gas elpiji. Kelangkaan minyak dan membumbungnya harga minyak telah menghadirkan kesulitan luar biasa bagi rakyat kecil karena penghasilan yang
pas-pasan. Pemerintah berdalih ini semua karena harga minyak dunia melambung di luar batas normal sampai menginjak level tertinggi sebesar 100,7 dolar/barel adalah situasi terparah sepanjang sejarah kapitalisme dunia. Namun pemerintah dalam hal ini SBY hanya mengarahkan rakyat untuk irit menggunakan minyak dan energi. Benarkah itu solusi atau itu sebenarnya kegagapan dari pemerintah?

Sebenarnya kalau kita mau menengok ke belakang, krisis minyak ini telah diprediksi oleh jauh-jauh hari oleh banyak kalangan termasuk ! para pengusaha internasional itu sendiri. Kita bisa lihat pada bulan September 2001, Pusat Analisis Penapisan (Depletion Analysis Centre) mengeluarkan memo yang menyebutkan, “Dunia sedang menghadapi masalah serius dalam cadangan hidrokarbon. Suplai minyak dunia saat ini akan menghadapi instabilitas politik. Jika investasi baru secara massif dalam produksi minyak Timur Tengah tidak berlangsung dengan baik, maka akan menyebabkan kenaikan jumlah produksi, namun itu hanya dalam jumlah terbatas, pengecualian satu-satunya adalah Irak…” ! Memo itu juga menyatakan akan terjadinya resesi suplai minyak. Memo itu menyatakan, “Prediksi ideal terjadinya resesi minyak itu diperkirakan lima sampai sepuluh tahun dari sekarang.”

Prediksi tersebut juga menyatakan terjadinya resesi gas alam setelah 20 tahun dari sekarang. Pada bulan Mei 2003 selama berlangsungnya Konferensi seputar Masalah Resesi Minyak, Matew Simons, ahli energi Amerika sekaligus penasehat Bush dan Cheney, yang ikut hadir dalam konferensi tersebut menyatakan, “Apa yang dimaksud dengan resesi dan kapan?” Dia menjawab pertanyaan itu dengan mengatakan, “Sesuatu yang mencemaskan adalah ketika resesi itu tinggal dalam jangkauan tangan, bukan dalam hitungan bertahun-tahun dari sekarang.”

Prediksi itu terbukti sekarang dengan berkepanjangan serta menghawatirkan perkembangan kapitalisme itu sendiri.! Beberapa analis sempat memprediksi akan ada perang dunia akibat krisis ini karena memperebutkan sumber migas. Namun prediksi ini agaknya kurang mendekati kebenarannya karena energi alternatif menjadi proyek utama untuk mengatasi krisis ini. Namun sumber energi alternatif seperti batu bara, biodiesel belum mampu secara massif bisa dikembangkan.

Di lain hal, penyebab naiknya harga minyak dunia ini adalah faktor pasokan minyak yang mengalami penurunan akibat krisis di beberapa negara Timur Tengah penghasil minyak seperti Irak dan Afganistan. Sementara penghasil minyak lainnya yang selama ini menjadi sumber pemasok minyak 5 terbesar Amerika yakni Venezuela menerapkan sistem penjualan secara ketat kepada negara-negara pembeli. Selain itu spekulasi yang terus dilakukan pengusaha minyak di Amerika karena ketakutan berle! bih juga mempercepat naiknya harga minyak dunia.

Dari melambungnya harga minyak dunia dengan mudah bisa kita lihat bahwa organisasi negara-negara penghasil minyak (OPEC) pun tidak dapat berbuat banyak, bahkan tidak dapat menikmati hasilnya. Karena tetap saja keuntungan besar diperoleh oleh perusahaan-perusahaan MNC dari Amerika dan Eropa. Kecuali negara-negara yang melakukan nasionalisasi sumber dan perusahaan migas dapat meraup keuntungan ganda, yakni dalam negeri mereka rakyatnya mendapatkan harga lebih murah serta tetap terpasok dengan lancar kebutuhan akan minyak dan negara mendapat keuntungan dari penjualan ekspor minyak mereka.

Indonesia: Miskin Karena Minyak

Kondisi ini berbanding terbalik dengan yang dialami oleh Indonesia, baik rakyat dan negaranya. Sebagai negara yang memiliki sumber daya alam berlimpah, beratus ladang minyak bertebaran dari Aceh sampai Papua, namun hari-hari sekarang rakyatnya menjerit karena minyak mahal dan langka. Padahal statistik hasil eksplorasi minyak menunjukkan grafik peningkatan.
Penyebabnya adalah pemerintah lemah dan tidak mampu mengatur suplai minyak kepada rakyatnya sesuai yang dibutuhkan karena eksplorasi migas dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing, sehingga penetapan harga dan distribusinyapun diatur oleh mereka. Ini akibat politik orde baru yang masih dilanjutkan sampai sekarang. Selain itu, membumbungnya harga minyak dunia dimanfaatkan oleh spekulan dalam negeri! untuk melakukan penimbunan minyak sehingga terjadi kelangkaan! minyak dan melambungnya harga minyak dalam negeri.

Spekulasi bidang ekonomi biasanya dikuti oleh spekulan politik dengan “menggelitik” SBY-JK untuk melakukan
reshuffle kabinet dengan alasan sebagai solusi. Tentu itu bukan solusi, selama pemerintahan memakai sistem ekonomi kapitalis yang dipraktekkan dengan menganut paham “pasar bebas.”

Resiko yang diterima rakyat begitu besar akibat sistem ini dan khusus kenaikan harga minyak dunia dan dalam negeri serta kelangkaan minyak. Selain antrian panjang menyita banyak waktu dan berimbas pada kejiwaan (psikologis) masyarakat yang terganggu. Selain itu semua harga akan merangkak dengan pasti naik, mulai dari harga makanan kecil, harga sembako, tranportasi serta harga-harga lainnya. Kenaikan itu tidak diikuti oleh peningkatan pendapatan rakyat sehingg! a kemiskinan akan menyergap rakyat dalam sekejap. Pukulan telak sisi ekonomi ini pastilah rakyat berpendapatan rendah, yakni buruh, tani, nelayan, PKL, guru dan pegawai negeri maupun prajurit-prajurit rendahan yang sangat merasakan walaupun masyarakat berpendapatan menengah juga terkena imbasnya.

Selain kondisi yang sudah diterima, ancaman juga sudah menunggu rakyat yakni PHK besar-besaran akibat ambruknya ekonomi menengah dan kecil dari kenaikan harga minyak dan listrik. Tentu dengan ancaman itu sebenarnya ekonomi Indonesia dalam ancaman besar dan akan terjadi resesi ekonomi. Namun sayang, dengan situasi yang serba sulit tersebut SBY hanya menyuruh rakyat berhemat. Apakah akan memberikan solusi? Tentulah tidak, karena rakyat sudah sangat ngirit, sudah sangat sederhana hidupnya dan sudah bekerja keras. Nam! un karena ulah spekulan dan kebijakan negara menerapkan pasar ! bebas se hingga rakyat menjadi korban.
Menyuruh hidup irit bukanlah gagasan brilian bahkan menunjukkan ketidakpedulian dari seorang presiden, dimana negerinya berlimpah minyak dan ternyata rakyatnya miskin karena kesulitan minyak? Pun dalam mencari sumber energi alternatif, rakyat tidak perlu diajari, mereka lebih cerdas dan kuat menghadapi situasi seperti itu. Yang dicari seharusnya adalah solusi jangka panjang buat negeri ini.

Nasionalisasi dan Nasionalisme

“Pemerintah diminta menegosiasi ulang kontr! ak-kontrak pertambangan yang terindikasi merugikan kepentingan rakyat. Jika pemerintah Indonesia berani melakukan ini maka akan memperoleh keuntungan jauh lebih besar dibandingkan yang diperoleh para investor asing. Mereka (para perusahaan tambang asing) tahu kok bahwa mereka sedang merampok kekayaan alam negara-negara berkembang," demikian kata Stiglitz, ekonom mantan Wakil Direktur Bank dunia beberapa waktu lalu di Indonesia.

Dalam situasi ini sudah seharusnya menyadarkan semua pihak untuk mencari solusi terbaik bagi rakyat, bukan solusi yang menghadirkan keuntungan segelintir pemodal. Gambaran keberhasilan akan nasionalisasi yang ditempuh oleh Venezuela, Bolivia dan diikuti oleh Thailand dengan berbagai variasinya (contohnya kontrak karya yang diperbaharui dengan prosentase lebih besar kepada negar! a dari pada perusahaan eksplorasi) harusnya menjadi inspirasi ! besar ba gi pemerintah. Nasionalisasi bukan saja ada sekarang dan di luar sana, tetapi kebijakan ini pernah jadi pengalaman bangsa ini di tahun paska kemerdekaan dengan menasionalisasi perusahaan perkebunan.

Kebijakan nasionalisasi dibutuhkan keberanian pemerintah dan sikap nasionalisme dari seluruh rakyat. Kalau rakyat tidak perlu diragukan lagi sikap patriotik dan nasionalismenya, namun para pejabat yang berlimpah harta selalu oportunis dan tidak lagi memiliki sikap patriotik. Maka dari situasi ini mereka bisa menunjukkannya dengan berani untuk mendukung dan menguatkan pemerintah mengambil sikap dengan menasionalisasi semua perusahaan migas di Indonesia untuk kepentingan bangsa ini.

Sikap patriotik dan nasionalisme ini juga harus dibangun dan dimiliki oleh pengusaha nasional, yang dalam kondisi seperti sekarang serta akibat kebijakan pasar bebas terlibas oleh perusahaan MNC-TNC. Dengan sikap ini, nasionalisasi menjadi kepentingan bersama serta menjaga kelangsungan industri nasional itu sendiri.
Hampir sampai sekarang nasionalisasi masih menjadi bahan perbincangan di luar lingkar kekuasaan, karena orang-orang yang dalam lingkar kekuasaan sangat ketakutan pendapatan mereka berkurang. Untuk itulah diskusi soal nasionalisasi, dan pembangunan kekuatan politik rakyat harus terus ditingkatkan kualitasnya sekaligus menawarkan kepada semua kalangan yang masih memiliki jiwa patriotik dan nasionalisme yang tinggi untuk menyelamatkan bangsa ini dari cengkeraman imperialisme (penjajah! an baru dengan bentuk baru) yang terpraktekkan dalam sistem ek! onomi pa sar bebas.

*Penulis adalah Pengurus Pusat Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

Jumat, 04 April 2008

FITNA dan Masalah Kebebasan

Oleh Coen Husain Pontoh*

1 Apr 2008 04:52

Dear all,

Dari jauh, sayup-sayup saya mendengar khabar, membaca berita, bahwa telah terjadi gelombang protes besar-besaran terhadap beredarnya film FITNA, garapanseorang politisi Belanda,pemimpin the Party for Freedom (PVV), Gert Wilders.Tetapi, saya tidak ingin membicarakan gelombang protes itu, terutama yang datang dari sebagian kalangan muslim. Saya ingin mengajak kita semua, untuk mendiskusikan satu tema penting berhubungan dengan kasus film FITNA itu yakni, tema kebebasan.Saya mengangkat masalah ini, ketika membaca satu pernyataan bersama yang dilakukan oleh beberapa rekan progresif seperti Kontras, YLBHI, dan Imparsial, yang ikut mengecam film FITNA. Menurut Edwin Partogi dari Kontras (lihat di sini,
http://www.detiknew/ s.com/indexfr. php?url=http: //www.detiknews. com/index. php/detik. read/tahun/ 2008/bulan/ 04/tgl/01/ time/170936/ idnews/916748/ idkanal/10), kebebasan berpendapat masih bisa dikurangi atas nama hak dan kepentingan yang lebih luas dan tidak boleh mengurangi makna substansial kebebasan itu.

Bagi saya, pernyataan bersama itu, menyimpan masalah yang serius. Secara sederhana, saya membagi kebebasan atas dua: pertama, kebebasan pada tingkat gagasan; dankedua, kebebasan pada level praktis-operasional . Pada tingkat gagasan (cara berpikir, produksi pikiran baik yang berbentuk buku, film, atau lukisan), tidak boleh dilarang. Sebagai contoh, kita tidak bisa melarang seorang Imam Samudra untuk berpidato atau berdakwah tentang gagasannya soal jihad. Kita juga tidak bisa melarang peredaran buku karya Imam Samudra, yang berisi propaganda tentang jihad. Sama seperti, kita menolak pembakaran buku-buku sejarah yang tidak memuat kalimat PKI di belakang kata G30S, atau menolak sweeping terhadap peredaran buku-buku Marxis atau sejenisnya.

Dan menurut saya, film FITNA itu masih berkutat di sisi gagasan. Film itu mencerminkan pemahaman Wilders terhadap Islam yang diketahuinya, berdasarkan preferensi-preferen si yang dimilikinya. Dengan demikian, menurut saya adalah keliru jika kalangan progresif ikut-ikutan gelombang protes terhadap peredaran film FITNA, apalagi jika itu mengatasnamakan kebebasan. Secara historis, kita telah dibuat mabuk dengan alasan melarang kebebasan atas nama kepentingan yang lebih luas. Bukankah, ketika Orba melarang penyebarluasan ajaran Marxisme/Leninisme, juga atas nama hak dan kepentingan umum ini?

Menjadi soal, jika kemudian Gert Wilders, atas nama kebebasan, melakukan tindakan kriminal, misalnya, membom masjid, membunuh para ulama yang mengobarkan perang jihad, dsb. Pada titik ini, kita bisa memvonis bahwa Wilders atas nama kebebasan ia telah menciderai kebebasan itu sendiri, dan karena itu harus ditindak. Perlakuan yang sama, juga kita berikan kepada para pembakar buku sejarah itu, atau kepada mereka yangmenyerbu kelompok Ahmadiyah, dimana mestinya mereka harus ditindak karena telah berbuat kriminal.Bagaimana jika kebebasan itu digunakan untuk mengobarkan perang, kebencian terhadap agama, ras, atau bangsa tertentu?

Ada contoh menarik di AS. Beberapa waktu lalu, salah satu pendeta konservatif paling berpengaruh, Pat Robertson, berkhotbah yang isinya adalah meminta pemerintah AS dalam hal ini CIA, untuk membunuh Hugo Chavez. Kontan khotbah ini mendatangkan polemik luas dalam media AS dan sedikit menganggu politik luar negeri Washington. Tapi, apakah Robertson ditangkap dan diintergoasi? Tidak, ia dbiarkan saja. Orang banyak berpendapat, "dasar pendeta gila."Kalau ada pernah menonton film komedi romantis berjudul Eurotrip, tentu akan melihat betapa film ini telah menghina umat Katolik. Di bandingkan karya Wilder, film ini sangat menghina tahta suci. Dalam satu bagian dari film itu digambarkan, bagaimana sepasang remaja bercinta di ruang pertobatan di dalam gereja. Pantat perempuan itu bahkan menempel jelas di kaca tenmpat dimana pastor biasanya menerima umat yang mau memberikan pengakuan dosa. Apakah film itu ditarik dari peredaran? Tidak.Contoh paling populer, adalah novel karya Dan Brown, Da Vinci Code, yang isinya mengobrak-abrik keyakinan suci umat Katolik. Apakah buku itu ditarik dari peredaran? Tidak.Saya juga telah menonton film FITNA itu, dan menurut saya secara sinematik dan artistik, film ini sangatlah buruk. Secara politik, film ini politically incorrect.

Wilders adalah orang yang memahami Islam dengan sangat dangkal. Dan dalam konteks ini, saya setuju bahwa film ini tidak menyumbang pada pemahaman bersama atas Islam. Tapi, ini bukan alasan untuk melarang peredaran film ini atas nama kebebasan.

*Saat ini menjadi editor untuk Indo Progress, sebuah blog yang berisikan pemikiran-pemikiran progresif dengan kontributor-kontributor terpilih. Silakan mengunjunginya di http://indoprogress.blogspot.com