Minggu, 06 Juli 2008

Kisah Para RemajaAnti (Pendidikan) Kapitalis

Nurani Soyomukti

(Diambil dari mailinglist Indoprogress)

Ini kisah nyata, tentang para remaja yang berani dan para pelajar yang kritis. Kisah ini bukan fiksi, karena merupakan laporan penelitian yang dijadikan buku, judulnya ”Branded” (1996), ditulis oleh Allisa Quart. Karena membaca ulasan Quart inilah saya terdorong untuk menuliskan satu buku lagi, judul yang saya ajukan ke penerbit adalah ”Pendidikan Anti-Kapitalis”—dalam waktu dekat mungkin akan segera terbit! ”Branded” dalam bahasa Indonesia dapat diartikan ”korban merek”—suatu frase untuk menggambarkan bagaimana para remaja di penjuru bumi ini dapat dengan mulusnya diseret untuk berpihak pada para pemasar korporasi, hingga mereka hanya menghabiskan hidupnya untuk membeli, meniru, dan bangga diri hanya dengan memiliki barang mewah.Saya tidak dapat menyebutkan nama-nama para ”korban merek” itu satu persatu. Mereka adalah korban kapitalisme yang lumrah kita jumpai disekitar kita.Tapi hal penting yang ingin saya tampilkan dalam esai ini adalah beberapa remaja yang punya nyali dan keberanian, dengan otak mereka yang cerdas dan kritis terhadap situasi kehidupan yang berkembang dewasa ini.

Salah seorang gadis yang ingin saya kenalkan pada Anda adalah Lindsay—bukan Lindsay Lohan tentunya! Remaja ini mewakili wilayah tersembunyi potensi reaksi balik remaja terhadap Iklan. Lindsay benar-benar mengalami perlakuan yang dianggapnya merasa terteror oleh ara pembela produk. Awalnya, pemasar produk Delia*s pernah mengikutsertakan Lindsay dalam diskusi kelompok mereka untuk memahami bagaimana agar remaja menjadi sosok yang ”arty”—begitu istilah para pengiklan produk Delia*s. Akhirnya Lindsay justru mengatakan bahwa upaya pemasar itu sama sekali tak ada gunanya. Bayangkan, Lindsay didiamkan ketika ia mengaku tak begitu mengenal Shakira, seorang penyanyi yang menjadi model iklan Delia*s terbaru. Lindsay berkomentar: ”Tindakan mereka itu sungguh merendahkan kepandaian saya”.[1]

Lindsay pun menjadi salah satu remaja yang belakangan kian mengetahui dekadensi kapitalis yang benar-benar ingin mecetak remaja yang hafal nama-nama artis dan suka belanja. Pada saat para pembela produk dan para remaja maniak-belanja membenci seorang gadis seperti Lindsay, juga banyak remaja-remaja yang semakin sadar pada kebodohan dan pembodohan kapitalis. Di sini seakan kita akan melihat bahwa kontradiksi kapitalisme semakin nyata saat kita melihat kontradiksi budaya. Antara kapitalis dan para pembelanya, dengan anak-anak muda yang mewakili keresahan buruh-buruh dan rakyat miskin yang tertindas.

Keresahan remaja juga tak sedikit yang muncul pada saat mereka melihat situasi pendidikan. Keresahan dahsyat dialami oleh seorang pelajar Amerika bernama Tristan, yang oleh kawan-kawannya dikenal sebagai ”pemberontak McDonald”. Tristan berkata: ”Aku masuk sekolah untuk belajar pelajaran sekolah, bukan menghafal dogma korporasi. Aku anak yang tak mau mengenakan pakaian bermerk yang dibuat oleh buruh yang diperlakukan seperti budak”.[2]Tristan punya seorang teman yang punya tingkat kekritisan yang sama. Nama Nick Salter (17 tahun). Anak ini adalah tipe ’pemberontak’ yang berpikir taktis dan bekerja keras agar kebohongan korporasi daat dimengerti oleh publik.

Lihatlah tingkahlakunya: ia pernah berjalan menelusuri (sekolah) SMU-nya, Cherry Creek High School yang berlokasi di pinggiran kota Denver. Ia mencatat semua produk korporasi di lorong-lorong sekolah dan ruang-ruang kelas dan hasil itu semua dilaporkan pada Center for Commercial-Free Education yang tak lagi berfungsi. Menurut hitungan Nick, ada 34 mesi soda, semuanya ditempeli iklan. Papan reklame iklan mengitari seluruh lapangan baseball dan fottball di sekolahnya. Ada buku pelajaran yang mncantumkan iklan M&M; kafetaria sekolah memiliki outlet Domino dan Blimpie. Sampul plastik untuk melindungi buku juga disesaki dengan sponsor korporasi bisnis, yaitu perusahaan seperti Clinique; sebagai bagian dari sampul buku gratis menyediakan kupon untuk pembelian bedak dan pemulas pipi.

Nick menyatakan kebenciannya terhadap teknik penjualan diam-diam itu; ia juga seringkali merasa dibodohi oleh dunia orang dewasa. Dia berkata: ”Kita dipaksa menonton iklan-iklan di Channel One sejak kelas 6. Suatu yang tidak beres telah terjadi”.[3]Nick dan Tristan juga membangun kelompok organisasi yang bertujuan untuk melaan kesewenang-wenangan korporasi. Organisasi-organisasi perlawanan semacam inilah, yang kalau kita telisik, yang turut menyemarakkan aksi-aksi global di berbagai belahan dunia untuk menentang organisasi-organisasi ekonomi seperti WTO (World Trade Organization) yang mengendaki agar pendidikan bukan lagi sektor publik, tetapi sektor jasa komersial.

Contoh yang paling fenomenal adalah aksi Seattle tahun 1999 pada saat anak-anak muda, pelajar, dan mahasiswa mengepung gedung mewah di mana para dedengkot kapitalis dunia berkumpul untuk membicarakan bagaimana agar penindasan atas nama ”pasar” berjalan terus.

Remaja Anti-MTV

Anak-anak muda dan para pelajar itu tentu saja marah, justru karena mereka sadar atas apa yang sebenarnya terjadi di dunia ini. Tampaknya mereka paham akan kemunafikan kapitalisme bahwa tak mungkin kapitalisme butuh anak-anak dan remaja-remaja pintar dan cerdas (berpengetahuan dan berteknologi) karena kalau itu terjadi maka pendidikan dan ilmu pengetahuan tak lagi bisa dikomersialkan oleh pihak korporasi.

Para remaja berotak kritis itu tentu juga sadar bahwa demi menciptakan pasar, kapitalisme tak segan-segan mengorbankan nyawa dengan cara membunuhi orang—seperti terjadi di Irak dan Afghanistan.Aksi itu terjadi di Times Square New York City. Sekelompok aktivis remaja dan plajar berkumpul. Perang Afghanistan baru saja dimulai dan gerakan ini adalah gabungan antara aktivisme perdamaian dengan gerakan anti-MTV. Tentu ara remaja ideot lainnya akan bertanya: Apa hubungannya perang Amerika terhadap Afghanistan dengan MTV yang ”asyik” itu?

Pertanyaan itu dapat dijawab secara fasih dan yakin oleh seorang gadis berusia 16 tahun, yang bernama Sandra Garcia. Ia berseru: ”Kita sangat menderita, mengapa kita harus menyakiti negara lain? Kita sudah dicuci otak oleh TV dan merek: MTV dan Amerika berusaha menguasai negara lain. Saya tinggal di New Jersey dan di sana tak ada seorangpun yang setuju dengan saya, tetapi orang-orang takut mengetahui kebenaran.

Lihatlah mereka berteriak-teriak untuk band mereka. Seluruh hidup mereka hanya berputar di sekitar omong kosong ini. Lihatlah remaja MTV itu”.[4]Sandra bersama-sama remaja lain berkumpul di depan markas utama MTV. Di bawah panji organisasi Youth Action Network mereka membentangkan spanduk bertuliskan: ”Remaja New York Menolak Perang!”, ”Anak Muda Ingin Perdamaian!”, ”Ini Masa Depan Kami, MTV!” Seorang remaja secara berani memegang tanda MTV dengan huruf V yang serupa dengan tanda perdamaian di pasang terbalik. Sandra sendiri membawa poster bertuliskan: ”Mata Dibalas Mata Hanya Membuat Seluruh Dunia Buta”.Anak-anak itu adalah anak kandung kapitalisme.

Mereka dilahirkan dari rahim ibu kapitalisme, tetapi ketika mulai tumbuh mereka mulai tahu bahwa kapitalisme berusaha menyuapinya dengan racun atau zat-zat yang akan membuat anak-anak itu bidoh dan cepat mati. Makanya, anak-anak yang menyadari bahwa ia akan hanya dimanfaatkan ibu kandungnya, dengan tegas segera membangkang terhadap orangtua—dan kadang memang dicap durhaka oleh anak-anak dan saudara-saudara kapitalisme yang lain.

Pelajar SMU Menolak Privatisasi Pendidikan

Mereka tahu bahwa kapitalisme ingin terlalu berkuasa. Dan mereka yang masih percaya pada sekolah, anak-anak itu juga menolak kampus dikuasai. Sebelum, para mahasiswa Indonesia ramai-ramai menolak privatisasi kampus belakangan ini, anak-anak SMU di negara-negara Barat telah memulainya lebih dulu.

Di Amerika, misalnya, aksi yang dapat dicatat di sini terjadi pada bulan Desember 2001. Lebih dari 2.500 remaja berjalan keluar ruang-ruang kelas SMU negeri Philadelphia menuju perempatann kota. Masih sebagaimana dikisahkan Allisa Quart[5], sekelompok remaja yang memakai seragam melewati beratus-ratus bangunan di ”kota perumahan” sekaligus kota kemiskinan. Mereka ini adalah 500 pelajar dari sekolah-sekolah yang relatif miskin, seperti Strawberry Mansion High School. Juga ada anak-anak yang berasal dari sekolah mewah seperti Materman High School dan Central High School.

Artinya, anak-anak dari 15 sekolah yang berbeda berkumpul di depan aula kota, kerumunan itu bahkan berpawai sampai Broad Streetm salah satu jalan utama kota itu. Isu yang diangkat dalam aksi itu adalah menolak privatisasi yang hendak dilakukan terhadap sekolah mereka oleh Edison School Inc., perusahaan perdagangan aset-aset publik. Berkantor pusat di New York, perusahaan itu telah berhasil membeli berbagai macam sekolah di Amerika. Lebih dari 133 sekolah negeri di 22 negara bagian dan Washington D.C.Sebagian upaya anak-anak sekolah menolak privatisasi ini berhasil.

Awalnya pada musim gugur tahun 2001, Mark Schweiker, gubernur Pennsylvania menawarkan kontrak pengolahan seluruh sekolah negeri di bawah sistem administrasi terpusat Edison, bersama dengan pengelolaan sampai 60 sekolah. Akhirnya, pada 7 April, setelah pemungutan suara panel pemerintah akhirnya hanya 20 sekolah kota yang diberikan pada Edison; tidak semua sekolah distrik diambil-alih, hanya beberapa kontrak. Selain beberapa sekolah yang dikelola Edison, 25 sekolah dikelola oleh dua universitas, yaitu Temple University dan University of Pennsylvania.

Anak-Anak Anti-Kapitalis Indonesia

Di Indonesia, kita bukan hanya melihat anak-anak muda yang frustasi karena tidak mendapatkan hak-haknya di bidang pendidikan. Di antara mereka lari ke arah budaya negatif dan justru menjadi bagian dramatis dari musibah kapitalisme—yang tak jarang dieksploitasi dalam kisah-kisah sinetron dan film Hollywood yang menghibur. Sebagian lagi juga ada yang menangkap ketidakpuasannya dan diekspresikan melalui lirik-lirik lagu yang mereka nyanyikan di bus-bus dan kereta-kereta.

Sebagian dari mereka, meskipun mereka adalah anak-anak remaja yang tak dapat masuk sekolah, tetap saja dapat memahami betapa pendidikan sangat penting. Tentunya, mereka menghendaki sekolah yang adil. Saya seringkali mendengar anak-anak kecil yang kotor dan dekil menganyikan lagu-lagu di dalam bus atau kereta. Liriknya seperti ini:

”Belajar sama-sama...

Bekerja sama-sama...

Semua orang itu guru...

Alam raya sekolahku...

Sejahteralah bangsaku!”

Di tempat lain, juga sering saya dengar lagu-lagu-lagu yang, menurut saya, mampu menunjukkan kontradiksi kapitalisme terhadap pendidikan. Berikut ini liriknya:

”Apa guna punya ilmu tinggi,

Kalau rakyat masih kau bodohi.

Apa guna banyak baca buku,

Bila mulutmu sering menipu.

Di desa-desa, tani dipaksa,

Menjual gabah tapi tapi... dengan harga murah.

Di kota-kota, buruh dipaksa,

Bekerja keras tapi api... dengan upah rendah.

Di mana-mana, moncong senjata,

Berdiri tegak kongkalikong... dengan kaum cukong”.

Itu adalah syair lagu anak-anak muda Indonesia yang frustasi dan memberontak. Tentu saja mereka juga menambah daya gerakan yang dilakukan oleh teman-teman sebaya yang seringkali tak mau mengenal mereka, yaitu mahasiswa yang kadang juga tidak puas terhadap kebijakan negara dan kampus.

Berbagai macam aksi radikal anak-anak muda kampus itu seringkali terjadi, misalnya menuntut kenaikan SPP dan sekolah mahal—hingga menolak kebijakan privatisasi pendidikan tinggi yang benar-benar akan mengancam masa depan negeri Indonesia ini.Para remaja sekolahan dengan usia yang lebih rendah, anak-anak SD, SMP, dan SMU, belakangan juga begitu suka turun ke jalan, terutama menolak kebijakan Ujian Nasional (UN atau Unas). Anak-anak itu mungkin terbiasa terpasung di dalam kelas, hingga mereka begitu ceria ketika diajak demonstrasi di jalanan.

Pendidikan aksi massa semacam ini tentu akan melatih ’mental berontak’ (rebellious spirit) anak-anak—yang sebenarnya sangat berguna bagi upaya awal menempa jiwa kritis mereka. Mereka akan terbiasa, dan tak asing, dengan aksi massa pada saat mereka beranjak dewasa. Pasti ada di antara mereka yang akan menjadi aktivis-aktivis berani dan cerdas pada saat anak-anak itu nanti menjadi mahasiswa.Di Barat, anak-anak sekolah dan para remaja sudah mulai kritis dan cemerlang dalam memahami kapitalisme, dan sebagian dari mereka juga menolak dibohongi oleh korporasi-korporasi yang membuat mereka bodoh dan kadang tertekan. Mereka adalah remaja yang kadang merasa bahwa perusahaan-perusahaan yang menyuruh remaja ini bergabung juga menganggap remaja itu bodoh.***

[1] Lihat (baca) Allisa Quart. Belanja Sampai Mati. Yogyakarta: Resist Book, 2008, hal. 192

[2] Ibid., hal. 196

[3] Ibid.

[4] Ibid., hal. 198

[5] Ibid., hal. 215-220

Kamis, 03 Juli 2008


Diskusi dengan Ali Yusran
Sorga di Tanah Batak

Dian Purba


HAMPIR semua aktivis gerakan di Medan kenal Ali Yusran. Usianya sudah beranjak 70. Badannya masih tegap bagaikan pohon berusia ratusan tahun. Setelah mati-matian mencari kerja seadanya akhirnya Bung Ali, demikian dia sering dipanggil, bisa ngontrak rumah mungil di pinggiran kota.


Siang itu kami diterima dengan hangat. Kami biasa datang ke rumah itu untuk diskusi. Diskusi mulai hal-hal terberat sampai diskusi yang paling ringan. Memang begitulah. Setiap orang akan “kecanduan” diskusi dengan Bung Ali. Menurutku ada beberapa hal penyebabnya. Bung Ali menerapkan metode diskusi yang sehat. Tidak menggurui. Paparannya mendasar dan membumi. Analisanya tajam. Pendapatnya “subversif”. Bung Ali tidak pernah menunjukkan dirinya sebagai orang yang paham betul dengan materi yang akan didiskusikan. Semua diajak mengeluarkan pendapat. “Mulailah dengan bertanya,” ungkap Bung Ali tiap kali mau memulai diskusi.


Diskusi kali ini tentang adat isitiadat Batak. Bung Ali sendiri bukanlah orang Batak. Bung Ali berasal dari tanah di mana perempuan yang meminang laki-laki, Minang. “Tanah Batak tidak mengenal feodalisme, “ Bung Ali memulai diskusi. “Adat asli Batak rusak semenjak kolonial memasuki Tanah Batak. Adat asli batak itu bagaikan sorga,” tambahnya. Ketika kami tanya kenapa di Tanah Batak tidak ada feodalisme Bung Ali menjawab, “Di adat Batak kita mengenal banyak sekali raja. Tiap marga memiliki raja sendiri. Sistem inilah yang menangkal budaya feodal tersebut. Kalau kamu raja di margamu, ya, itu berlaku di margamu saja. Di marga lain kamu itu boru. Ini berbeda dengan adat Jawa yang terasa sekali budaya feodalnya,” komentarnya dengan yakin. “Adat asli Batak tidak mengenal raja turun temurun. Raja baru akan dipilih ketika dirasa sudah waktunya memiliki raja baru. Dan raja baru yang terpilih adalah raja pilihan dari marga tempat dia berada. Pemilihannya juga demokratis. Berbeda dengan adat Jawa. Di Jawa itu raja turun-temurun.” Kami ketawa ketika Bung Ali mengatakan kelemahan raja yang turun-temurun, “Walaupun raja Jawa yang baru itu bodohnya seperti kerbau, dia tetaplah raja yang harus disembah.” Kami sedikit kuatir mendengar komentar Bung Ali tentang raja Jawa tersebut. Kemudian dia mengatakan bahwa Pramoedya yang Jawa tidak pernah mengaku dirinya orang Jawa. “Pram itu orang Jawa, tapi dia benci sama budaya Jawa.”


“Masuknya kolonialisme ke Tanah Batak (agama, dalam hal ini agama Kristen) adalah awal mula hancurnya budaya asli Batak,” tambahnya. “Budaya asli Batak tidak mengenal agama. Mereka menganut agama animisme. Masyarakat dengan tingkatan kelas juga tidak ditemukan di Tanah Batak.” Ini mengingatkan kita tentang teori masyarakat tanpa kelasnya Karl Marx. Sebuah pemaparan yang sangat baru bagi kami. Kami yang hadir sore itu semua suku Batak. Kami terkejut. “Ahli-ahli sejarah Batak tidak pernah atau takut mengatakan fakta ini. Mereka malu mengatakan bahwa agama asli orang Batak itu adalajh animisme,” Bung Ali berkata sambil menyalakan rokok. Bung Ali mengatakan bahwa cirri-ciri masyarakat tanpa kelas tidak mengenal adanya agama. Karena agama, menurut Bung Ali, adalah alat penindasan. Agama hanyalah pelarian rakyat kecil untuk mengendapkan masalah ekonomi-sosial-politiknya. Agama tidak pernah menyelesaikan masalah. “Kakek kita itu mengatakan bahwa agama itu adalah candu masyarakat.” Kakek yang dimaksudkan adalah Karl Marx.


Generasi yang tumbuh di jaman sekarang sudah sangat jarang yang mau mendalami budaya asli Batak. Sangat jarang kita temui pemuda-pemudi Batak yang peduli dengan masalah ini. Kami terpukul dengan paparan Bung Ali. Kami beranggapan bahwa budaya Baratlah budaya yang patut ditiru.


Diskusi pun berlanjut. Sambil meneguk kopi yang dari tadi belum diteguk, diskusi semakin hangat saja. “Alat produksi utama orang Batak adalah tanah,” Bung Ali memulai lagi. “Tanah bagi orang Batak adalah tanah kolektif. Tanah milik bersama. Tanah kolektif ini dibagi berdasarkan clan (marga). Marga Purba misalnya memiliki tanah yang diusahai bersama oleh marga Purba. Tanah di Tanah Batak tidak untuk diperjualbelikan,” Bung Ali bertambah semangat. “Setiap anggota keluarga mendapatkan tanah sesuai dengan kebutuhan. Orang Batak tidak pernah bersengketa gara-gara memperebutkan tanah.” Kami makin asik mendengarkan penjelasan Bung Ali. Kami mencoba membandingkan dengan kondisi sekarang. Orang Batak sudah banyak yang bertengkar gara-gara tanah. Bahkan saling membunuh. Persatuan marga terpecah gara-gara perebutan tanah.


“Tanah inilah yang dijadikan untuk berladang. Hasil dari ladang adalah milik bersama. Dulu di Tanah Batak kita mengenal adanya lumbung padi besar. Lumbung ini fungsinya sebagai stock gabah. Setiap kali panen lumbung ini diisi. Cara pengisiannya setelah semua kebutuhan keluarga terpenuhi. Sisa panen inilah yang disetor ke lumbung tersebut.” Bung Ali kelihatan paham betul dengan topik diskusi kali ini. “Siapa saja bisa mengambil gabah dari lumbung tersebut. Tentunya sesuai kebutuhan. Takkan ada yang berantam dan berebutan. Setiap orang akan mengambil sebanyak yang diperlukan. Kepemilikan lumbung padi besar ini bersifat kolektif.” Sesuatu yang sangat langka di jaman sekarang.


Era komunal primitif, sejarah perkembangan masyarakat, mendasari pola produksinya berdasarkan nilai guna. Artinya semua produk yang diproduksi semuanya diperuntukkan untuk kebutuhan masyarakat. Karena alat produksi satu-satunya pada masyarakat Batak adalah tanah, maka hasil produksinya adalah hasil ladang, terutama padi. Inilah yang dimaksudkan Bung Ali dengan kepemilikan kolektif itu. “Inilah sorga di tanah Batak itu. Setiap orang bekerja dan mendapatkan sesuai dengan kebutuhannya,” Bung Ali meneguk kopi sambil tersenyum sumringah.
“Sorga ini kemudian hancur dengan datangnya Belanda ke Tanah Batak. Agama Kristen diperkenalkan. Awlalnya agama ini ditentang keras,” tambahnya dengan wajah tampak kesal. “Perlahan-lahan namun pasti, budaya asli masyarakat Batak terkikis. Ini tidak boleh kita biarkan,” Bung Ali menatap kami dengan mata tajam. “Ini tidak boleh dibiarkan,” ulangnya lagi.
Kondisi Tanah Batak sekarang ini sudah jauh menyimpang dari budaya aslinya. Tanah sudah dijual. Lumbung padi besar sudah tidak kita temukan lagi. Agama yang masuk melalui penjajah sudah menghilangkan agama asli masyarakat Batak. Masyrakat berkelas sudah tercipta. Konsep raja seperti dipaparkan di atas sudah tidak ada lagi. Raja masih ada. Namun, proses pemilihannya tidak lagi demokratis. “Budaya Jawa yang feodal sudah memasuki seluruh negeri. Hampir 75 persen penduduk Indonesia beretnis Jawa. Orang Batak ikut-ikutan memilih budaya ini,” Bung Ali memberikan jawaban.


Ruangan sepi sejenak. Hening. Mata kami saling melirik. Tampak tiap peserta diskusi memikirkan perkataan terakhir Bung Ali.


Salah satu dari kami memecah keheningan. “Apa solusinya?”


Bung Ali ketawa kecil. Asap rokoknya mengepul mengisi ruangan. “Kembalikan firdaus yang hilang itu, “ katanya tegas. “Tugas besar orang seperti kalian ini adalah mengembalikan sorga itu ke Tanah Batak.” “Apa itu mungkin?”, kawan tadi melanjutkan pertanyaannya. “Mungkin,” jawabnya ringkas. “Kalian mulai sekarang harus memikirkan caranya. Revolusi kebudayaan di Tanah Batak harus kita ciptakan. Tanah Batak yang dulunya tidak mengenal budaya feodal sekarang sudah merajalela,” Bung Ali seperti memberikan petuah. “Di sinilah kalian harus ambil peran. Hancurkan budaya feodal itu. ”


Kembali kami terdiam. Kali ini kami serasa mendapatkan titah dari sang raja. Titah yang harus cepat-cepat dilaksanakan. “Bentuk Front Pertahanan Adat Batak,” sang raja menambah titah. Kami saling melirik satu sama lain. Front Pertahanan Adat Batak????


Sore pun beranjak malam. Waktunya pamit dari tuan rumah. Peserta diskusi nampak sedikit letih. Diskusi sore ini menambah banyak pertanyaan baru di kepala kami. Bung Ali berdiri di depan pintu dan memberangkatkan pasukan tempurnya menuju medan juang. ***

Selasa, 01 Juli 2008


Bantuan Langsung Tunai, Problematika Sebuah Kebijakan Neoliberal
Ken Budha Kusumandaru*
Saturday, 28 June 2008

(Disadur dari prp-indonesia.org)


Pemerintah Indonesia terus-menerus berusaha meyakinkan rakyat bahwa subsidi BBM, yang selama ini dikeluarkan pemerintah, sebagian besar dinikmati oleh orang kaya. Dengan demikian, pemerintah merasa bahwa subsidi semacam itu tidak pada tempatnya dan harus digantikan dengan Bantuan Langsung Tunai yang ditargetkan pada orang-orang yang berada di bawah garis kemiskinan.


Yang tidak disadari banyak orang adalah bahwa pernyataan pemerintah ini sesungguhnya merupakan penyederhanaan yang berlebihan terhadap masalah. Masalah sesungguhnya adalah pergeseran dalam ideologi yang dianut pemerintah Indonesia—dari developmentalisme, yang diterapkan di era Orde Baru, menuju neoliberalisme. Paket kebijakan neoliberalisme digariskan oleh IMF dan Bank Dunia, yang bersama pemerintah negeri-negeri Barat, membentuk apa yang disebut orang sebagai Konsensus Washington. Secara umum, Konsensus Washington ini mempromosikan tenet liberalisasi, privatisasi dan keterlibatan minimal pemerintah dalam persoalan industrial. Lembaga-lembaga Keuangan Internasional ini berargumentasi bahwa kesejahteraan akan diraih melalui trickle-down effect dari manajemen sektor privat yang lebih efisien daripada negara, yang akan membuat negara memiliki lebih banyak sumberdaya yang dapat dipakainya dalam “subsidi tepat-sasaran” (James Haselip, 2004).


Kebijakan untuk membuat subsidi ditujukan kepada sasaran tertentu ini ditularkan pada negara-negara berkembang melalui instrumen-instrumen keuangan dunia, yang kini tidak lagi diberikan kepada “negara-negara miskin” tapi langsung kepada “orang-orang miskin” (Thandika Mkandawire, 2005). Salah satu bentuk pokok dari kebijakan keuangan dunia ini adalah bertumbuh pesatnya NGO-NGO di negara-negara berkembang, yang tidak lagi mengupayakan perbaikan sarana dan prasarana publik, melainkan mendorong terjadinya “parselisasi” dan “proyektisasi” terhadap kebijakan sosial.


Pentargetan yang Salah Sasaran


Penargetan subsidi seringkali dikampanyekan sebagai cara untuk membuat orang yang “benar-benar membutuhkan” mendapatkan apa yang menjadi haknya. Tapi, dalam realitasnya, kebijakan untuk membuat subsidi berlaku universal tanpa ditarget justru terbukti sanggup mengurangi kesenjangan antara si kaya dan si miskin (Mkandawire, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh di Honduras tahun 2003 menunjukkan bahwa subsidi listrik yang ditarget berdasarkan batas pemakaian ternyata bukan saja tidak efisien, melainkan juga memperbesar kesenjangan kesejahteraan (Haselip, 2004). Penelitian serupa yang dilakukan di Argentina menunjukkan bahwa perusahaan listrik negara yang telah diswastanisasi justru menolak untuk membangun jaringan listrik bagi warga di wilayah miskin.

Pemerintah Argentina terpaksa memberikan subsidi lebih banyak lagi pada perusahaan listrik yang telah menjadi lembaga usaha swasta. Lebih besar daripada ketika perusahaan listrik itu masih menjadi milik negara dan subsidi diberikan secara universal, bukan tertarget. Subsidi untuk perawatan anak di Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa manfaat subsidi ini tidak sampai pada targetnya, keluarga berpenghasilan rendah (Leonard Burman, et.al., 2005).


Bantuan Langsung Tunai juga terbukti menimbulkan stigmatisasi di kalangan orang miskin (Mkandawire, 2005). Bukan saja melalui kampanye pemerintah tentang “kaum peminta-minta”, keharusan untuk mengantri di depan publik untuk mendapatkan subsidi tertarget itu merupakan satu cap sosial, di mana orang banyak mengenali individu tertentu sebagai “miskin”. Konteks masyarakat kita saat ini menempatkan kemiskinan sebagai sebuah penyakit sosial, yang kerap digaungkan sebagai akibat dari kemalasan dan ketiadaan kemampuan untuk menanggung beban kesulitan. Dalam konteks ini, keharusan untuk antri menerima bantuan langsung merupakan satu stigmatisasi sosial yang panjang konsekuensinya.


Namun, di atas semua itu, penerapan sistem target pada subsidi untuk orang miskin dipasang oleh Bank Dunia dan IMF bersamaan dengan pencabutan sistem subsidi tertarget pada para pelaku pasar. Bersamaan dengan dianjurkannya Bantuan Langsung pada mereka yang berada pada atau di bawah garis kemiskinan, Lembaga-lembaga Keuangan Dunia ini menganjurkan diterapkannya subsidi universal pada para pelaku pasar dalam bentuk lump sump transfer, penyeragaman tarif, penyeragaman aturan main, dan lain-lain.


Bantuan Langsung Menghancurkan Martabat Rakyat Kecil


Kisah sukses penerapan subsidi justru berasal dari sistem di mana pemerintah menerapkan subsidi universal, namun berlapis. Penelitian di negara-negara berpendapatan menengah ke atas (Mkandawire, 2005) menunjukkan bahwa akses universal terhadap subsidi merupakan jaminan akan adanya dukungan politik dari kelas menengah, berupa kemauan untuk membayar pajak, yang pada gilirannya akan dapat digunakan untuk membiayai program kesejahteraan masyarakat kecil.


Di tangah pemerintah-pemerintah yang tidak demokratis, seperti Indonesia di bawah Orde Baru, subsidi universal memang dapat disalahgunakan untuk membiayai kroni-kroni. Tapi, di bawah sebuah sistem yang demokratis, subsidi universal akan mendorong sebuah suasana ekonomi-politik yang lebih sehat.


Persoalan pemberdayaan juga harus diperhatikan secara seksama. Mengutip Amartya Sen, “Sistem subsidi yang menuntut orang untuk dikenali sebagai miskin dan dilihat sebagai peminta-minta yang tidak berdaya akan memukul balik pada harga dirinya, di samping juga rasa hormat orang lain terhadap mereka.” (Mkandawire, 2005). Pemerintah harus memikirkan cara pemberian subsidi yang membuat rakyat kecil merasa martabatnya terangkat.


Bantuan Langsung mengandung terlalu banyak mudharat ketimbang manfaat. Kalau pemerintah ini terus menerapkan Bantuan Langsung, rakyat di negeri ini akan makin miskin (karena bantuan itu niscaya salah sasaran) dan martabatnya makin terinjak-injak. Bagaimana mungkin kita “Bisa!” mengusung “kebangkitan nasional kedua” jika rakyatnya miskin dan tidak punya harga diri? ***


Sumber:
Burman, Leonard et.al. Tax Subsidies to Help Low-Income Families Pay for Child Care. 2005

Haselip, James. CSGR Working Paper No. 138/04. 2004

Mkandawire, Thandika. Social Policy and Development Programme Paper No 23. 2005

*Penulis adalah Ketua Div Pendidikan Komite Pusat PRP

Mahasiswa Itu Rakyat
Tanggapan untuk Benri Sihombing

Dian Purba


Membaca artikel Fenomena "Mahasiswa Aktivis" (Analisa 27/6) yang membahas tentang mahasiswa dan demontrasi menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Paling tidak ada beberapa hal menarik. Pertama, Benri mencoba menghubungkan mahasiswa dengan kondisi rakyat melalui demonstrasi. Kedua, , tentang siapa dan fungsi mahasiswa.

Mahasiswa dan Demonstrasi

Mahasiswa berdemonstrasi tentu ada sebabnya. Demonstrasi mahasiswa yang paling hangat dan massif terakhir yang kita lihat adalah demonstrasi menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Mahasiswa bersama rakyat sontak turun ke jalan. Mereka meninggalkan bangku kuliah yang nyaman. Bergerak bersama rakyat menentang kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat. Demonstrasi menolak kenaikan harga BBM ini terjadi hampir di seluruh daerah. Mahasiswa sebagai kelompok yang duluan sadar memainkan perannya.

Di sinilah letak perbedaan pemahaman saya dengan Benri. Benri mengatakan, "…mahasiswa sendiri sebagai superheroes", "Konsekuensinya, para mahasiwa mulai terkena sebuah syndrome. Merasa itu adalah tanggung jawab dari para mahasiswa." Dalam menanggapi ini butuh kehati-hatian dalam mengeluarkan pendapat. Kita dituntut mengedepankan fakta empiris. Ini perlu. Kita harus menghindari pendapat yang sifatnya a-politis dan juga a-historis. Mari kita flashback tentang sejarah mahasiswa, dalam hal ini sejarah gerakan mahasiswa. Saya akan menguraikannya secara garis besarnya saja.

Suharsih dan Ign Mahendra K dalam bukunya Bergerak Bersama Rakyat, Sejarah Gerakan Mahasiswa dab Perubahan Sosial di Indonesia (2007) akan membantu kita dalam memahami gerakan mahasiswa. Setelah Soekarno "menyerahkan kekuasannya" kepada Jenderal Soeharto tahun 1966, mahasiswa (baca gerakan mahasiswa) menjadi idola. Inilah pertama kali mahasiswa mendapat posisi yang membuat mereka berada di atas angin. Soeharto lewat bantuan militer waktu itu memakai jasa mahasiswa untuk melanggengkan kekuasaan yang baru saja direbut. Mahasiswa mengajukan tiga tuntutan. Pertama, bubarkan PKI sekarang juga. Kedua, bersihkan cabinet Dwikora dari menteri-menteri goblok dan Gestapu. Ketiga, cabut peraturan-peraturan pemerintah yang menyulitkan hidup rakyat. Setelah Orde Lama tumbang mahasiswa ditarik dari organisasi gerakan dan menempatkan mereka di kursi empuk di parlemen (DPR GR). Soe Hok Gie menyebut ini dengan pelacuran intelektual.

Inilah yang menghancurkan gerakan mahasiswa periode pertama pasca kemerdekaan. Mahasiswa yang dulunya turun ke jalan kini sudah nyaman dengan tugas baru mereka lengkap dengan fasilitas serba mewah.


Gerakan Mahasiswa tahun 1974 (hal 77-84)
Sejak tahun 1966 hingga tahun sebelum 1974 mahasiswa berhasil "dikandangkan". Mereka melaksanakan tugas rutin mereka: belajar, belajar, dan belajar. Sesekali berpesta dan bercinta. Konsep gerakan yang mereka pakai waktu itu adalah konsep gerakan moral (moral force). Dalam konsepsi ini nahasiswa bertindak sebagai kekuatan moral daripada kekuatan politik. Dalam arti bahwa mahasiswa muncul sebagai aktor politik ketika situasi bangsa sedang krisis. Setelah krisis berlalu kemudian mahasiswa kembali ke kampus untuk belajar.

Sepanjang tahun ini, pemerintahan Orde Baru belum bisa membuat hidup rakyat makin sejahtera. Mahasiswa menganggap pemerintahan Soeharto masih mengecewakan. Korupsi di jajaran pejabat terjadi. Selain korupsi masih banyaknya pelanggaran HAM di berbagai tempat, pembantaian massal terhadap orang-orang yang dianggap ada hubungan dengan PKI. Di samping itu jumlah mahasiswa semakin bertambah, sementara anggaran yang disediakan pemerintah sangat minim. Selain itu, pembangunan ternyata tidak membuat sejahtera seluruh lapisan masyarakat. Kondisi objektif inilah yang tidak terbiarkan oleh mahasiswa. Pada masa inilah kita mengenal munculnya sebuah gerakan mahasiswa yang menamakan diri mereka "Mahasiswa Menggugat". Gerakan ini dimotori oleh Victor D, Arief Budiman, Sjahrir, dan Julius Usman. Mereka memrotes naiknya harga bahan bakar dan juga menuntut pemerintah memberantas korupsi.

Gerakan ini kemudian meluas ke kampus-kampus yang ada di Jawa. Gerakan ini pun berlanjut. Tahun 1974, tepatnya 15 Januari, kerusuhan terjadi. Aparat bertindak represif. Sebanyak 820 orang ditangkap, 9 orang meninggal, dan ratusan gedung dibakar dan dirusak. Aksi ini terjadi untuk menolak modal asing masuk ke Indonesia lewat lawatan Perdana Menteri Jepang Tanaka ke Indonesia. Pasca peristiwa ini pemerintah memperketat control terhadap gerakan mahasiswa. Pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Pemerintah No. 028/1974. SK ini memberi wewenang kepada pimpinan perguruan tinggi untuk mengontrol mahasiswa. Ijin ini juga membuat tugas tambahan kepada Menteri Penerangan untuk mengawasi setiap aktivitas mahasiswa di dalam kampus.

Gerakan Mahasiswa tahun 1978 (hal 84-87)
Kondisi ekonomi politik tahun 1977 belum menunjukkan kea rah yang lebih baik. Jumlah penduduk miskin bukannya berkurang malah makin bertambah. Perbedaan tingkat penghasilan antara orang kaya dan orang miskin bagaikan jurang tak terseberangi. Jumlah pengangguran menggila. Jumlah hutang luar negeri meningkat tajam. Mahasiswa melihat ini sebagai kebijakan omong kosong dari pemerintah. Tahun 1977 juga terjadi pemilihan umum. Golkar adalah pemenangnya. Mahasiswa menolak kemenangan ini. Mereka melakukan aksi protes karena pelaksanaan pemilu dinilai tidak jujur. Golkar menang dari pemilu yang cacat.

Momen inilah yang membuat gerakan-gerakan di berbagai kampus menyatukan diri. Tahun 1978 menjelang pertemuan parlemen untuk pemilihan presiden, mahasiswa lewat dewan mahasiswa sejumlah kampus melakukan aksi protes. Mereka menolak dengan tegas pencalonan kembali Soeharto menjadi presiden. Mereka menuntut pergantian kepala Negara. Aksi ini terjadi di beberapa kampus di Jawa. Kalau aksi-aksi protes sebelumnya ditujukan kepada para pembantu presiden, aksi kali ini langsung kepada presiden Soeharto. Pemerintah gerah. Pemerintah menuduh dewan mahasiswa telah melanggar konstitusi. Kegerahan pemerintah inilah yang kemudian memicu pemerintah lewat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan instruksi No. 1/U/1978 dan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 067/U/1979 yang berisi pembubaran Dewan Mahasiswa dan pembatasan akitifitas mahasiswa.

Upaya pemerintah untuk membatasi aktivitas mahasiswa diteruskan dengan dikeluarkannya NKK/BKK pada tanggal 19 April 1978 oleh Menteri Pendidikan Daoed Joesoef. Tujuannya untuk mengeliminasi mahasiswa dari gerakan politik yang semakin kuat; redefenisi, menata ulang kampus secara mendalam; membatasi kebebasan akademis; menumpas kegiatan politik mahasiswa; dan melarang mahasiswa berdemonstrasi. Kebijakan NKK/BKK adalah alat pemerintah untuk mencabut mahasiswa dari akar sosialnya: rakyat. Lanjutan dari kebijakan ini adalah diterapkannya system satuan kredit semester (SKS). Mahasiswa dituntut cepat tamat dengan indeks prestasi (IP) tinggi dan setelah itu bekerja.

Dalam menanggapi kebijakan ini mahasiswa tidak tinggal diam. Mereka membentuk kelompo-kelompok diskusi di kampus. Tentunya dengan sembunyi dari kekuasaan. Kelompok-kelompok diskusi ini semakin besar. Inilah kemudian yang menjadi motor penggerak demonstrasi besar-besaran tahun 1998. Mereka memanfaatkan momen krisis ekonomi tahun 1997 untuk keluar ke permukaan. Awalnya tuntutan mahasiswa adalah turunkan harga-harga kebutuhan bahan pokok. Pemerintah tidak bisa berbuat banyak. Tingginya harga-harga membuat rakyat tidak bisa duduk tenang di rumah. Mereka menggabungkan diri dengan mahasiswa. Kembali pemerintah menunjukkan tindakan represifitas. Tragedi Semanggi I, II memakan korban mahasiswa. Penculikan terhadap aktivis pun dilakukan. Sampai sekarang banyak diantara mereka yang belum jelas rimbanya. Inilah sejarah kelam bangsa yang menyisakan luka mendalam.

Kembali ke tulisan Benri. Mengatakan bahwa tempat mahasiswa adalah di kampus mengingat situasi sekarang ini sudah mulai teratur adalah opini yang tergesa-gesa. Paparan di atas telah membuktikan kepada kita bahwa mahasiswa dalam berdemonstrasi punya tujuan jelas. Mereka tidak bisa melawan hati nurani yang bergejolak. Mereka tidak bisa melihat rakyat semakin sengsara. Mengatakan bahwa aksi demonstrasi sudah seperti menembakkan peluru kosong kepada penguasa, sekali lagi, adalah pemikiran tergesa-gesa. Keputusan bukanlah keputusan. Demonstasi bukanlah demonstrasi. Sejarah membuktikan demonstrasi bisa mengubah keputusan.


Mahasiswa dan Kondisi Masyarakat

Mengatakan bahwa kondisi masyarakat sudah mulai teratur adalah sebuah pemikiran yang keliru. Benri mengutip pendapat Arief Budiman. Saya sudah membaca tulisan tersebut (Mahasiswa Indonesia dan Ilusi-ilusinya). Manusia adalah produk dari keadaan objektif. Lanjutan dari ini adalah timbulnya kesadaran sosial. Keadaan objektiflah yang membuat Arief Budiman mengatakan bahwa kondisi sekarang sudah mulai teratur. Seperti dipaparkan di atas, kondisi objektif tahun 1966 adalah masa-masa di mana mahasiswa sudah "dikandangkan" di kampus. Tugas mereka hanyalah satu: belajar. Apakah demikian halnya dengan keadaan objektif sekarang?

Keadaan objektif sekarang adalah jumlah orang miskin semakin bertambah. Kenaikan harga BBM cukup berperan dalam melambungkan jumlah ini. Rakyat sudah tidak bisa lagi makan tiga kali sehari. Pendidikan mahal. Biaya berobat harganya selangit. Jumlah pengangguran bukannya berkurang. Pemerintah tidak bisa menyediakan lapangan pekerjaan untuk rakyatnya. Rakyat tidak punya rumah layak huni. Jumlah merekalah yang mendominasi bangsa ini. Sementara itu, orang kaya semakin kaya. Bangsa ini memiliki orang terkaya nomor satu di Asia Tenggara di tengah kondisi bangsa yang carut marut. Pemerintah sudah kehilangan arah. Untuk menerangkan kondisi ini kita tidak butuh ahli statistik dengan data-datanya. Buka mata. Mereka hidup di sekitar kita. Inilah keadaan objektif bangsa hari ini.

Lantas, di manakah kita seharusnya memposisikan mahasiswa?

Mahasiswa adalah agent of change, mahasiswa adalah calon pemimpin. Sejarah mengatakan kepada kita bahwa jargon-jargon itu adalah mitos. Setelah tamat kuliah mahasiswa sibuk mencari kerja. Itu artinya mahasiswa hanyalah calon pekerja, bukan pemimpin dan bukan agent of change. Mari kita ubah cara berpikir yang demikian.

Benri bertanya kepada kita: "Apakah ini fungsi utama mahasiswa?"

Mahasiswa angkatan 66 mengadopsi metode bahwa mahasiswa adalah sebagai gerakan moral (moral force). Di atas sudah dijelaskan tentang metode ini. Apakah metode ini masih relevan? Atau apakah metode ini adalah metode yang seharusnya digunakan oleh mahasiswa?

Saya harus mengutip kembali Suharsih dan Ign Mahendra K. Menurut mereka (hal 216) gerakan moral empat kelemahan. Pertama, tidak mengembangkan konsepsi ideologis, apalagi ideologi kerakyatan. Bagi gerakan moral keadaan sekarang sudah baik. Kedua, gerakan mahasiswa tidak mau bergabung dengan rakyat dan tidak meluas ke kota-kota lain, sehingga hanya membesar di kota-kota pusat gerakan moral tersebut, dan hanya pada gerakan mahasiswa. Ketiga, strategi, taktik, program, isu ataupun tuntutan yang diambil pun akan sangat moderat. Keempat, gerakan moral hanya akan menjadi alat peralihan dari satu penguasa ke penguasa lain.

Kembali saya harus mengatakan bahwa mahasiswa harus melandasi demonstrasi sebagai suatu panggilan moral seorang warga negara adalah pemikiran yang tergesa-gesa.

Catatan Akhir

Kalau begitu metode apa yang harus digunakan oleh mahasiswa dalam gerakannya?

Ken Budha Kusumandaru (Mari Berdialektika) mengatakan bahwa mahasiswa adalah gerakan pelopor. Tujuannya apa? "Salah satu perjuangan utama kita yang memikul beban sebagai pelopor adalah membangkitkan ketidakpuasan orang terhadap tingkat kehidupannya yang sekarang – termasuk membangkitkan minat, hasrat, dan ambisinya untuk berkuasa." Mahasiswa harus turun ke rakyat untuk menyuntikkan kesadaran kepada mereka. Katakana kepada mereka bahwa kehidupan yang lain itu ada (the other world is possible).

Mahasiswa harus kembali ke akar sosialnya. Mereka berasal dari rakyat dan mereka harus mengabdi kepada rakyat. Inilah yang kita sebut dengan gerakan pelopor itu. Untuk mengakhiri tulisan ini saya akan mengutip Tan Malaka (Aksi Massa, 2008), "Selama kaum terpelajar kita melihat bahwa perjuangan kemerdekaan sebagai masalah akademi saja, selama itulah perbuatan-perbuatan yang diharapkan itu kosong belaka. Biarlah mereka melangkah keluar dari kamar belajar menceburkan diri ke dalam politik revolusioner yang aktif." Semoga kita tidak keliru lagi.

***

Referensi:

Artikel Benri Sihombing, "Fenomena "Mahasiswa Aktivis". Analisa 27 Juni 2008

Suharsih dan Ign Mahendra K dalam bukunya Bergerak Bersama Rakyat, Sejarah Gerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Indonesia, Resist Book (2007)

Tan Malaka dalam bukunya Aksi Massa __ (2008)

Ken Budha Kusumandaru. Mari Berdialektika___ prp-indonesia.org

Aref Budiman, "Mahasiswa Indonesia dan Ilusi-ilusinya", dalam Kebebasan, Negara, Pembangunan; Kumpulan Tulisan 1965-2005. Freesom Institute, Jakarta, 2004