Jumat, 12 September 2008

Kesepakatan Tuntutan Minimum Kongkrit Anti-Neoliberal Dalam
Perjuangan Elektoral;
Sebuah Sumbangan Pemikiran Untuk Pembangunan Persatuan Pro-Rakyat

Data Barainanta ke Indoprogress

Belakangan ini berlangsung suatu perdebatan yang cukup menarik dalam milis Indoprogress.(1) Menarik; karena diskusi ini, yang mulanya hendak dibelokkan untuk menyudutkan partai tertentu, kemudian berkat pendiskusi lainnya - dapat berkembang menjadi pembicaraan yang
lebih luas dan membangun tentang strategi pemilu dan permasalahan bangsa yang sesungguhnya.

Kedua hal ini berkaitan erat. Sangatlah sukar, kalau bukan mustahil, untuk menentukan strategi elektoral atau parlementer yang efektif tanpa suatu diskusi yang mendalam tentang permasalahan bangsa dan jalan keluar apa yang harus pertama-tama ditempuh untuk mengatasinya. (2) Tulisan ini akan membahas hal-hal tersebut sambil menawarkan
suatu ide persatuan yang dilandasi oleh tuntutan minimum kongkrit, yang diperjuangkan dalam parlemen, dan perlu secara paralel didukung dari luar parlemen.

Selain itu akan coba dibahas juga secara ringkas persoalan-persoalan teoretik yang terangkat dalam diskusi tersebut, seperti yang menyangkut definisi neoliberalisme dan imperialisme; relevansi nasionalisme; permasalahan anti-kapitalisme; dan posisi pengusaha (borjuasi) nasional dalam perjuangan kedaulatan nasional.

Orientasi Diskusi: Praktek Aktif atau Pengamat Pasif?

Persoalan-persoalan di atas sangat penting dijadikan bahan diskusi oleh kaum pergerakan di Indonesia. Tanpa diskusi yang konstruktif dalam hal teori dan strategi tidaklah heran bila sangat sukar tercapai kesepakatan atau keselerasan gerak di antara unsur-unsur pro-rakyat, walaupun ada kehendak untuk bersatu. Diskusi seperti itu mungkin tidak dapat begitu saja meruntuhkan dinding perbedaan dan keragaman pandangan masing-masing kelompok, tapi setidaknya membuka jalan untuk menemukan kesamaan yang bisa dijadikan titik tolak bagi kerjasama lebih jauh. Begitu juga, perbedaan yang ada dapat diperjelas dan diurai sehingga terlihat mana yang bersifat mendasar, sekunder, atau bahkan sekedar prasangka yang tak berdasar.

Oleh karena itu diskusi yang berorientasi pengamat pasif tidak banyak memberikan manfaat. Contohnya dalam hal koalisi pemilu, tidak banyak manfaat dari sekedar mencari-cari kecacatan partai dan aktor politik di masa lalu. Ini adalah semangat seorang komentator sepakbola, yang
membicarakan suatu pertandingan dengan hanya melihat rekam jejak kedua tim dan pemain-pemain yang bertanding. Sebaik apapun seorang komentator sepakbola, ia tidak sebiji sawi pun berperan dalam kemenangan salah satu tim.

Bagaimana sudut pandang seperti ini bisa menjelaskan pertanyaan seperti partai mana yang (walaupun 'busuk') paling mungkin untuk didorong ke arah kiri? Atau apa yang membuat partai oposisi loyal berkoalisi dengan pendukung utama musuhnya? Konsep historis bukan diterapkan dengan sekedar melihat rekam jejak suatu subyek untuk dikotak-kotakkan ke dalam kategori, tapi memahami arah pergeseran dengan melihat kontradiksi-kontradiksi yang ada di dalam subyek tersebut, sambil memperhitungkan praktek apa yang bisa dilakukan untuk mempengaruhinya.

Seorang aktivis atau tiap warga negara yang peduli nasib bangsa dan berkesadaran politik seharusnya melakukan diskusi yang lebih berorientasi praktek aktif dan bersifat konstruktif, karena ia dapat turut menjadi aktor politik dan agen perubahan. Apalagi dalam hal pemilu yang merupakan suatu momentum bukaan - walaupun sangat terbatas - bagi partisipasi legal rakyat dalam menentukan pemerintahan. Yang saya tekankan di sini bukan sekedar kesempatan
mencoblos, tapi juga berkampanye.

Untuk merespon kesempatan seperti ini tidak bisa sekedar mempertanyakan partai mana yang terbaik dan mesti dicoblos - tapi perlu membahas hal-hal yang lebih berorientasi praktek (praktis) seperti program-program apa yang perlu diperjuangkan dalam pemilu, dan bagaimana mengubah perimbangan kekuatan agar menguntungkan unsur-unsur pro-rakyat dalam organisasi, partai, bahkan parlemen dan pemerintahan, dari tingkat terendah, lokal hingga nasional. Dengan sudut pandang seperti ini, penilaian yang ada akan lebih kaya danberguna dalam menentukan cara-cara mengintervensi keadaan.

Hal ini menurut saya perlu disampaikan mengingat beberapa - kalau bukan semua - peserta diskusi juga merupakan aktivis yang bertujuan melaksanakan pendidikan politik dan mobilisasi rakyat.

Perbedaan Prioritas: Persatuan Gerakan atau Persatuan Oposisi (3)

Diskusi bisa dibilang bergulir dari perdebatan tentang interpretasi pemikiran Marta Harnecker antara saya dan Zely Ariane. Tulisan-tulisan Harnecker sesungguhnya secara spesifik menyarikan pelajaran dari pengalaman gerakan kiri di Amerika Latin dan ditujukan kepada
pergerakan di wilayah tersebut. Namun saya - dan sepertinya juga Kawan Zely - meyakini bahwa banyak hal dari pemikiran Harnecker yang bisa dijadikan inspirasi bagi gerakan di Indonesia. Oleh karena itu diskusi di bawah akan lebih bertumpu pada pembahasan strategi
pergerakan di Indonesia, tepatnya dalam menghadapi pemilu 2009, dengan banyak mengacu pada pemikiran Harnecker.

Perbedaan mendasar antara kedua interpretasi kami menurut saya terletak pada persoalan tentang apa yang menjadi prioritas dalam pembangunan kekuatan politik alternatif. Kawan Zely menomorsatukan "penyatuan gerakan" dan "meletakkannya sebagai pekerjaan yang UTAMA
dan strategis." Kerja "penyatuan gerakan" ini sepertinya ditujukan untuk membentuk suatu partai alternatif yang bisa menjadi peserta pemilu.

Sementara untuk pemilu 2009, organisasi Kawan Zely, KPRM-PRD, belum sempat menjalankan strategi ini dengan sepenuhnya sehingga tidak turut berkompetisi. Sepertinya mereka juga sedang berupaya mentransformasi gerakan tidak-memilih/golput menjadi suatu gerakan
politik. Detailnya seperti apa, masih dinantikan penjabarannya.

Barangkali bisa disimpulkan bahwa bagi Kawan Zely pembangunan kekuatan alternatif tersebut harus berjalan sesuai tahapan berikut: persatuan gerakan, pembangunan partai alternatif, kemudian intervensi elektoral dengan menggunakan partai alternatif itu.

Interpretasi saya menekankan bahwa hubungan antara persatuan gerakan dan pembangunan alat politik alternatif - menurut bahasa Harnecker: blok sosial alternatif anti-neoliberal - tidak harus terjadi secara bertahap, melainkan saling mempengaruhi atau dialektis. Persatuan
gerakan harus dilihat dalam konteks yang lebih luas, yakni pembangunan blok sosial tersebut, yang bentuknya kurang lebih berupa koalisi oposisi yang lebar. Unsur-unsur gerakan yang bersatu ataute rkoordinasi dalam koalisi ini berperan menjadi perekat sekaligus poros strategis (core) yang akan menjaga agar koalisi tersebut tetap berjalan di rel pro-rakyat.

Oleh karena itu memang benar bahwa persatuan gerakan harus menjadi jalan pertama yang ditempuh. Namun bila hal ini tidak tercapai, terdapat jalan lain yang bisa ditempuh, yakni memperlebar pembangunan koalisi dengan merangkul kekuatan politik lain di luar pergerakan.
Sebaliknya, dengan membangun koalisi lewat jalan 'samping' ini pun kaum pergerakan dapat keluar dari keterpinggirannya dan membuka panggung bagi tuntutan atau program alternatif, sehingga menciptakan wadah perjuangan baru bagi konvergensi kaum pergerakan dan unsur-
unsur pro-rakyat.

Dalam diskusi, saya mengambil contoh Kuba dan Venezuela untuk menunjukkan bahwa pembangunan kekuatan politik alternatif tidak selalu lurus, tapi sering kali berbelok-belok, dan dalam beberapa kasus pada awalnya dapat menghindari kesulitan-kesulitan penyatuan
gerakan kiri dengan bekerjasama dengan unsur lainnya. Fidel Castro memulai aktivisme politiknya dengan bergabung dengan Partai oposisi Ortodoxos dan pimpinan karismatiknya, Raul Chibas, yang reformis tapi menentang kekuasaan Batista. Di kemudian hari Fidel menyatakan bahwa ia mengambil jarak dengan kaum kiri, Partai Sosialis Kerakyatan
(PSP), karena mereka terisolasi oleh kebijakan mereka yang mendukung Batista dan atmosfir anti-sosialisme perang dingin. Ia hampir maju menjadi anggota parlemen Ortodoxos untuk mengusung program-program radikal, namun kudeta Batista membuyarkan rencana itu. Maka
dimulailah fase perjuangan bersenjata yang dipimpin oleh Fidel.(4) Sementara Chavez, sebagaimana dikisahkannya sendiri dalam wawancara dengan Marta Harnecker,(5) mengalami diskriminasi oleh partai dan gerakan kiri namun kemudian kembali berhasil menggalang dukungan mereka setelah menggalang pendukungnya sendiri dalam MVR.

Yang sekarang menjadi pertanyaan penting adalah bagaimana membangun blok sosial alternatif ini? Apa yang bisa menjamin bahwa koalisi ini akan menjadi alat politik alternatif yang memperjuangkan kepentingan rakyat? Bagaimana agar mereka tidak terko-optasi oleh tekanan dan bujukan unsur-unsur anti-rakyat, yang menguasai kedudukan dan sumber
daya yang lebih besar?

Persatuan Melalui Kesepakatan Tuntutan (Program) Minimum Kongkrit
Yang Anti-Neoliberal

Selama ini beragam organisasi dan individu yang terlibat dalam pergerakan di luar parlemen biasa membangun koalisi seputar isu-isu tertentu. Yang paling terdengar akhir-akhir ini adalah koalisi menolak kenaikkan harga BBM bulan Juni lalu. Sementara pada awal reformasi berkembang beberapa koalisi yang diujung-tombaki mahasiswa dalam menuntut pencabutan dwi-fungsi ABRI dan Paket 5 UU Politik. Dalam beberapa tahun terakhir kaum buruh juga menunjukkan potensi kesatuan dan militansi tinggi dalam menentang UU Ketenagakerjaan 13
yang semakin menancapkan kuku neo-liberalisme dalam bidang perburuhan, di mana peran negara dalam mengatur kesejahteraan buruh dan keberlangsungan industri semakin dipersempit. Dalam sektor rakyat lainnya, terdapat juga pembangunan koalisi semacam itu.

Kini sudah saatnya strategi pembangunan koalisi menurut isu dan tuntutan yang kongkrit dijalankan juga secara sungguh-sunguh dalam karena elektoral dan parlemen apalagi dengan semakin banyaknya tokoh-tokoh aktivis pergerakan yang berkompetisi dalam pemilu 2009. Politik parlemen seperti ini dapat menjadi suatu praktek alternatif yangberorientasikan kepentingan rakyat, untuk menggantikan dan menyaingi praktek politik lama yang tak berprinsip dan berorientasikan kepentingan pribadi dan partai.

Melihat beberapa pengalaman di berbagai negeri, isu yang menyatukan dan memperkuat konvergensi politik alternatif sangatlah beragam, tergantung dari permasalahan yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan. Di Bolivia, contohnya, di mana secara historis sentimen
anti-asing sudah begitu kuat dan meluas di antara kaum pergerakan yang radikal dan massif, tuntutan nasionalisasi migas dan tambang - yang cukup maju karena secara langsung menyerang kepentingan kaum imperialis - menjadi penyatu bagi koalisi yang memenangkan presiden berhaluan kiri Evo Morales. Di Venezuela, salah satu faktor penentu kemenangan Chavez pada 1998 adalah kekonsistenannya memperjuangkan majelis konstituante, yang merupakan perombakan besar-besaran terhadap kekuatan politik lama (Kekuasaan Partai AD dan Copei) yang terbukti tak mampu membendung arus kebijakan neoliberalisme. Di Nepal
pada tahun ini, kepemimpinan politik Partai Komunis Nepal secara program ditunjukkan dengan kekonsistenannya untuk membubarkan monarki dan mendirikan republik.(6)

Merumuskan tuntutan-tuntutan semacam itu adalah tantangan bagi kaum pergerakan Indonesia yang bertarung di dalam maupun di luar arena elektoral. Namun hendaknya landasan programatik atau tuntutan bersama yang menjadi perekat koalisi lebar ini dirumuskan dengan tujuan utama merangkul kawan sebanyak-banyaknya, untuk menciptakan perimbangan
kekuatan yang lebih baik bagi kekuatan pro rakyat, bukan untuk hal- hal seperti 'memimpin isu' dan semacamnya.

Untuk itu diperlukan perumusan tuntutan yang realistis, terjangkau, dan konstitusional; yang pelaksanaannya dihalangi hanya karena tidak adanya inisiatif pemerintah; yang berada dalam imajinasi rakyat, bukan sekedar imajinasi intelektual; pendeknya yang minimum dan
kongkrit, bukan maksimum dan abstrak; dan yang penting - sekali lagi - dapat menggalang koalisi oposisi lebar.

Tuntutan semacam itu bukan saja harus berhubungan dengan perbaikan kondisi rakyat, tapi harus ditujukan kepada titik kelemahan musuh - bukan yang sampingan - yang dapat membuka ruang bagi serangan-serangan lebih lanjut. Misalnya, dalam tujuan strategis mengembalikan
penguasaan kekayaan alam ke tangan rakyat, pertama-tama harus ditentukan sasaran dan tujuan taktis yang harus dihadapi. Satu contoh sasaran taktis yang merupakan salah satu pertahanan musuh adalah UU Migas. Pukulan awal ke sasaran taktis di depan mata seperti ini
memberikan kemungkinan keberhasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mengarahkan tinju jauh ke dalam pertahanan lawan yang mendapat pengawalan berat seperti contohnya, menyerukan nasionalisasi berupa penyitaan perusahaan tambang asing. Dan yang terpenting, misi taktis seperti ini memberikan kesempatan lebih besar bagi pembangunan koalisi yang lebar di dalam maupun di luar parlemen. Sementara keberhasilannya akan membuka jalan menuju tujuan strategis yang lebih besar.

Maka beberapa tuntutan yang terlampau 'canggih' seperti sosialisme dan kontrol buruh, atau yang 'tinggi dan tergolong maksimum' seperti pendidikan-kesehatan gratis untuk sementara perlu disimpan dandijabarkan menjadi tahap-tahapan. Begitupun isu-isu yang relatif abstrak seperti anti-korupsi dan demokratisasi. Tuntutan nasionalisasi pun menurut saya perlu dijabarkan menjadi langkah-langkah kongkrit dan konstitusional menuju tujuan tersebut, seperti
pencabutan atau amandemen UU Migas no 22. Kerja-kerja kampanye tuntutan minimum ini harus dimulai sesegera mungkin, dimulai dari saat ini, dalam masa kampanye.

Tentunya ini bukan berarti meninggalkan atau berhenti mengkampanyekan tuntutan-tuntutan yang lebih maju. Kerja-kerja ini justru harus ditingkatkan untuk menjelaskan posisi program minimum dalam tujuan besarnya. Program-program minimum yang saya maksudkan adalah suatu cara yang dengan sengaja memoderasi tuntutan untuk menggalang sekutu
dalam koalisi yang lebar.

Ada benarnya apa yang dikatakan Kawan Zely bahwa dalam masa kampanye tidak ada partai yang tidak bernada kerakyatan. Maka tantangan kaum pergerakan dalam arena pemilu adalah mengusung sentimen kerakyatan ini setinggi-tingginya sambil menerjemahkannya menjadi program atau tuntutan kongkrit, yang bisa dijadikan tolak ukur dalam menilai para aktor-aktor politik di pemerintahan.

Dalam diskusi di milis Indoprogress, Pius Tumangger menggunakan metafora menunggangi kuda liar untuk menggambarkan aktor-aktor politik pergerakan yang berkoalisi atau bergabung dengan partai-partai yang telah lolos pemilu. Tentunya yang kembali ia sorot di
sini adalah Papernas dan PBR. "Dengan konsekuensi taktik tersebut, kenalilah dengan baik kuda liar itu. Siapkan kekang sebaik-baiknyaagar jalannya bisa lurus ke depan menarik rakyat keluar penderitaan" demikian saran Kawan Pius.

Tuntutan minimum kongkrit inilah yang dapat menjadi kekang tersebut. Dan kekang tersebut bukan hanya menjadi tanggung jawab para aktivis pergerakan yang bertarung di arena pemilu atau parlemen, tapi juga mereka yang berjuang di jalanan. Keduanya harus terlibat dalam
merumuskan, mengangkat dan memperjuangkan tuntutan tersebut. Tanpa keduanya berjalan sinergis maka gerakan akan berjalan pincang. Kini pertanyaannya adalah apa batas minimum tuntutan bersama tersebut, agar masih dapat dipandang rakyat sebagai alternatif?

Dari Kroniisme ke Neoliberalisme

Pengalaman Amerika Latin sebagaimana disimpulkan oleh Harnecker dan Ellner menunjukkan bahwa pembendungan atau perlawanan terhadap bencana sosial yang diakibatkan oleh kebijakan neoliberal merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi oleh kekuatan politik
alternatif - dengan begitu merupakan acuan bagi tuntutan minimum di wilayah tersebut. Di antara kalangan pergerakan, bisa dibilang sudah iakui bahwa neoliberalisme merupakan permasalahan bangsa Indonesia. Perbedaan terletak pada bagaimana mencari jalan keluarnya. Untuk ini perlu dilihat lebih jauh tentang kekhususan dan keumuman neoliberalisme di Indonesia.

Perpolitikan Indonesia saat ini merupakan suatu bangunan yang didirikan - dan masih dibangun - dari puing-puing sistem otoriter Orde Baru yang sebagian besar dirubuhkan oleh gerakan reformasi. Namun dalam prosesnya pendirian bangunan baru yang lebih terbuka dibandingkan jaman Suharto ini tak bisa lepas dari unsur-unsur Orde Baru, karena kegagalan tokoh-tokoh reformasi dalam menawarkan alternatif yang lebih baik maupun oleh karena keterpinggiran gerakan pro-rakyat dari politik pemerintahan. Dalam bidang ekonomi, terjadi pergeseran dari sistem kapitalisme kroni Orde Baru yang dilindungi oleh kebijakan protektif dan perencanaan pemerintah menjadi sistem kapitalisme neoliberal yang bercirikan liberalisasi perdagangan dan
penghapusan berbagai kewajiban sosial pemerintah.

Sejak dibukanya ruang demokrasi oleh gerakan reformasi, rakyat Indonesia telah menyaksikan berbagai manuver politik berupa koalisi antara partai, kelompok gerakan, dan tokoh-tokoh politik. Segera setelah pemilu '99 kita menyaksikan manuver-manuver mencengangkan
dalam Sidang MPR di mana elit politik reformasi saling jegal menjegal -Gus Dur dan Amien Rais menjegal Mega dan tak sampai dua tahun kemudian giliran Gus Dur yang dijegal oleh keduanya.

Kekuatan Orde Baru sendiri, Golkar, diuntungkan oleh perseteruan ini dan ketidakmampuan pemerintah berkuasa dalam menahan laju pemiskinan. Hasilnya pemilu 2004 menghadiahkan rakyat Indonesia seorang Presiden yang berasal dari militer dan Wapres yang berasal dari Golkar - keduanya merupakan unsur yang di awal reformasi dianggap sebagai pilar Orde Baru yang jadi sasaran politik untuk diruntuhkan. Namun kali ini mereka telah beradaptasi untuk melayani tuannya yang baru: bukan lagi sistem kroni yang berpusat pada Suharto, melainkan
kepentingan investasi yang menghendaki eksploitasi sumber daya alam dan manusia nusantara se-ekonomis mungkin. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang mengabdi kepada tujuan ini biasa dikenal dengan sebutan neoliberalisme.

Dalam prakteknya, ini dilakukan dengan menekan ketidakefisienan akibat KKN, menderegulasi pasar domestik dan memangkas peran negara sebagai penyedia kesejahteraan rakyat, termasuk memprivatisasi perusahaan negara. Secara sepintas kebijakan-kebijakan tersebut terdengar positif dan menawarkan peningkatan 'efisiensi' atau 'profesionalitas', namun dibalik itu terdapat agenda penguasaan ekonomi oleh kekuatan ekonomi besar asing. Dengan dihapuskannya
regulasi; komoditas-komoditas penting seperti pangan, bahan bakar, maupun barang kebutuhan lainnya dapat dikendalikan oleh kekuatan investasi besar yang, walaupun bersifat transnasional atau internasional, sebagian besar berasal dari negeri-negeri maju seperti Eropa Barat dan Amerika Utara.

Perusahaan transnasional yang mayoritas bermarkas di negeri-negeri tersebut juga sangat diuntungkan karena dapat menguasai pasar-pasar negeri dunia ketiga seperti Indonesia, yang telah menurunkan tarif roteksinya. Padahal para transnasional itu dibesarkan dan hidup
dalam pasar domestik yang dilindungi dan diberikan hak istimewa oleh pemerintahan negeri-negeri maju tersebut. Oleh karena itu wajarlah bila neoliberalisme di Indonesia didorong oleh pihak asing. Institusi 'rentenir' internasional, terutama IMF, adalah satu pelopor yang
mendesakkan langkah-langkah pengetatan ini pada saat Indonesia berkubang dalam krisis Asia akhir dekade lalu.

Begitupun dalam hal pemberantasan KKN yang secara konsep menguntungkan seluruh rakyat. Dalam prakteknya, pemberantasannya mengecualikan KKN yang dilakukan oleh pihak-pihak pro-neoliberal. Sesungguhnya, agenda kepentingan neoliberal didesakkan dengan menggunakan kekuatan moneternya dalam menyuap para anggota parlemen agar mensahkan RUU yang pro-neoliberal atau menyetujui penunjukkan agen-agen pro-neoliberal dalam posisi strategis seperti bank sentral dan institusi pemerintahan lainnya yang berhubungan dengan perekonomian. Secara finansial, kepentingan neoliberal mampu mengguncang perekonomian suatu negeri dengan menarik investasi secara besar-besaran ketika suatu pemerintahan dianggap mengancam kepentingannya.

Yang paling terkena dampak negatif kebijakan-kebijakan ini bukanlah para kroni dan birokrat Orde Baru yang kehilangan hak-hak istimewa mereka dalam perekonomian. Dengan hasil jarahan yang besar mereka mampu beradaptasi, bahkan mengambil keuntungan dan menyembunyikan asetnya. Adalah mayoritas rakyat yang menjadi korban akibat harga-
harga barang yang tinggi karena ulah spekulatif investor, kehilangan pekerjaan karena kebijakan yang lebih menguntungkan kapital finansial daripada kapital produktif (sektor riil), dan tentunya kehilangan layanan sosial yang sebelumnya pun sudah sangat minim.

Dalam konteks global, neoliberalisme - dalam pengertian kebijakan-kebijakan pemerintah yang disebutkan di atas - adalah kecenderungan yang mendunia, tidak hanya ditemukan di negeri-negeri dunia ketiga, tapi juga merajalela di negeri-negeri kapitalis termaju seperti AS,
Kanada dan negeri-negeri Eropa Barat. Rakyat di negeri industri maju telah menunjukkan perlawanan yang massal dan militan terhadap kebijakan neoliberal yang mengancam standar kehidupan mereka. Secara global neoliberalisme memperlebar jurang antara jumlah kaum berpunya yang semakin terkonsentrasi dan jumlah kaum miskin yang semakin membesar. Demikian pula halnya jurang kesejahteraan antara negeri- negeri maju dan negeri terbelakang.

Walau demikian terdapat titik terang dalam perlawanan terhadap neoliberalisme di negeri-negeri yang dipimpin oleh pemerintahan berhaluan kiri, seperti di Venezuela, Bolivia, dan Ekuador, di mana peran pemerintah dalam meregulasi dan merencanakan perekonomian serta
menyediakan layanan sosial semakin diperluas dan ditegaskan. Ini membawa peningkatan standar kehidupan rakyat yang signifikan dibandingkan ketika rejim pro-neoliberal sebelumnya berkuasa.

Dalam negeri-negeri yang dipimpin oleh partai komunis terdapat berbagai variasi dalam interaksinya dengan kapitalisme global, sesuai dengan kondisi domestik dan internasional masing-masing negeri tersebut. Negeri komunis 'garis keras' seperti Korea Utara dan Kuba
masih mempertahankan peran negara yang menyeluruh dalam perekonomian. Walau demikian, tidak seperti Korea Utara yang terisolasi oleh hampir seluruh dunia, Kuba secara bertahap mampu menyempurnakan sistem demokrasi mereka dan berhasil melepaskan diri dari isolasi embargo AS sambil mempertahankan capaian-capaian sosialnya - yang paling tenar adalah pendidikan dan kesehatan yang berkualitas tinggi dan gratis. Gerakan integrasi Amerika Latin yang dipelopori oleh Venezuela-Chavez juga telah banyak membantu pembangunan di Kuba. Perlu dicatat bahwa Kuba secara historis diuntungkan dengan menjadi satu-satunya negeri
komunis yang tidak menderita kehancuran akibat perang, berbeda dengan misalnya Korea Utara dan Vietnam. Sementara Tiongkok dan Vietnam bisa dibilang cukup sukses mengadopsi ekonomi pasar dan mengundang investasi asing, namun sejauh mana mereka berhasil mengatasi efek-efek anti-rakyat dari neoliberalisme masih perlu dilihat lebih lanjut.

Secara historis kenaikkan neoliberalisme bisa dijelaskan dari krisis ekonomi yang melanda negeri-negeri industri maju pada tahun 1970an. Pada masa itu berlaku paradigma ekonomi Keynesian yang mensyaratkan intervensi negara dalam mengatur efek-efek destruktif dari siklus ekonomi. Paradigma yang mendasari negara-negara kesejahteraan (welfare state) di negeri-negeri maju ini berangkat dari pemikiran pakar ekonomi besar Inggris, J M Keynes. Ia pada akhir PD I telah mengusulkan digunakannya intervensi negara untuk menjaga kestabilan
ekonomi dan menjinakkan kekacauan kapitalisme liberal. Usulan ini diajukannya dalam upaya menyelamatkan sistem kapitalisme dari konflik internal yang membuahkan krisis dan perang, maupun dari ancaman saingannya, Uni Soviet, yang menunjukkan keunggulan ekonomi
terencana. Menjelang akhir PD II, pemikiran Keynes berperan merumuskan kesepakatan Bretton-Woods yang bertujuan untuk mencegah terulangnya depresi besar 1930 yang bermuara pada Perang Dunia II.

Krisis stagflasi (stagnan dan inflasi) tahun 1970an mengawali penyingkiran sistem Keynesian dan menggalakkan pengadopsian kembali sistem ekonomi liberal (dengan sebutan baru: neoliberalisme) yang bertujuan mengurangi sektor publik dan memperbesar sektor swasta,
dengan cara antara lain menetralisir kekuatan ekonomi rakyat seperti serikat buruh. Sebagai salah satu kelinci percobaannya digunakanlah negeri-negeri Amerika Latin seperti rakyat Chile yang berada dalam kediktatoran Pinochet, namun juga Bolivia. Ketika negeri-negeri Amerika Latin terjerembab dalam krisis hutang pada awal 1980an, neoliberalisme pun diperkenalkan oleh IMF lewat program-program pengetatan yang harus dilakukan sebelum mendapat pinjaman (bailout). Dalam negeri-negeri maju, Margaret Thatcher dan Ronald Reagan terkenal sebagai pelopor neoliberalisme yang dengan ganas merongrong kekuatan serikat buruh. Keruntuhan blok sosialis pada tahun 1990an semakin memperkuat ideologi ultra-konservatif yang mendukung paradigma ini.

Namun pergeseran ke kanan ini mendapat perlawanan yang semakin luas dari rakyat yang menjadi korbannya - dari pemberontakan Zapatista pada paruh tahun 1994 di Mexico, demonstrasi di Eropa Barat pada paruh akhir dekade tersebut, protes-protes terhadap pertemuan tingkat tinggi yang dimulai sejak Seattle '99, pemberontakan rakyat di Bolivia dan Argentina, dan berkuasanya rejim kiri di beberapa negeri Amerika Latin, yang diawali dengan kenaikkan Chavez pada 1998.

Imperialisme versus Nasionalisme

Dengan mempertimbangkan hubungan-hubungan dalam perekonomian global, dapat disimpulkan bahwa neoliberalisme di Indonesia - berbeda dengan neoliberalisme di negeri-negeri kapitalis induk - merupakan produk dari tekanan kepentingan ekonomi asing atau imperialisme. Dalam beberapa hal imperialisme saat ini masih menunjukkan karakter yang
serupa dengan imperialisme di paruh pertama abad 20 yakni, pertama, pengkonsentrasian kepemilikan atau monopoli; kedua, supremasi kapital keuangan/finansial di atas kapital produktif. Penjajahan yang dilakukan pada intinya bertujuan untuk melebarkan monopoli perusahaan transnasional terhadap aset-aset dan sumber daya alam negeri-negeri kurang berkembang. Sementara ketergantungan terhadap kapital finansial (yang bersifat lebih cair dan spekulatif dibandingkan modal produktif) cenderung meninggalkan pengembangan kapasitas produksi.

Dengan begitu upaya untuk menyejahterakan dan memberdayakan rakyat mau tidak mau akan berhadapan dengan persoalan kedaulatan nasional. Hanya negara yang mampu membebaskan diri dari imperialisme neoliberal, dari dikte kepentingan asing lah yang mampu membuat
kebijakan yang melindungi rakyat dari efek-efek destruktif dan spekulatif dari neoliberalisme: melindungi industri dalam negeri dengan pemberian kredit dan proteksi; menjalankan kebijakan perluasan lapangan kerja; menjamin kebebasan berorganisasi bagi buruh; meregulasi eksploitasi sumber daya alamnya agar efisien, ramah lingkungan dan ramah rakyat; melindungi ekonomi dari efek-efek negatif kapital finansial; dan yang terpenting, mengalokasikan mayoritas sumber daya yang ada untuk proyek kesejahteraan dan pemberdayaan rakyat. Maka wajarlah bila perjuangan anti-neoliberalisme di Indonesia menggunakan sentimen nasionalisme atau
penegakkan kedaulatan nasional. Dalam tujuan strategis meningkatkan standar kehidupan rakyat Indonesia, perjuangan kedaulatan nasional merupakan sasaran taktis yang penting. Kesimpulan semacam ini sesungguhnya bukan sesuatu yang baru, tapi sudah diambil oleh para
aktivis anti-kolonial di Indonesia dalam melawan penjajahan Belanda. Bung Karno dalam pamflet 'Mencapai Indonesia Merdeka (1933)' menegaskan bahwa "...kemerdekaan adalah syarat yang maha penting untuk menghilangkan kapitalisme dan imperialisme, syarat yang penting
untuk mendirikan masyarakat yang sempurna [yang tidak ada tindasan dan hisapan].."

Pada saat ini persatuan nasional atau nasionalisme yang relevan adalah yang berporoskan anti-imperialisme neoliberal. Nasionalisme semacam itu merupakan inkarnasi dari nasionalisme anti-kolonialis negeri-negeri terjajah pada abad 20; seperti nasionalisme Sun Yat Sen, Nehru, Nkrumah, Lumumba, Castro, dan Sukarno yang dilandasi oleh kebutuhan memperjuangkan kehidupan rakyat yang lebih manusiawi. Berbeda dengan nasionalisme fasis dan imperialistik yang ditiupkan Jerman Nazi, Jepang, dan Amerika Serikat dengan partner juniornya seperti Pinochet dan Suharto, yang bertujuan melebarkan kekuasaanekonomi kelas penguasa negeri tersebut.

Saat ini perjuangan kedaulatan nasional sebagai jalan menuju kesejahteraan rakyat juga dapat ditemui pada negeri-negeri Amerika Latin. Dalam kasus wilayah tersebut, kedaulatan nasional tiap negeri hanya dapat terpenuhi bila berlangsung integrasi sukarela antara negeri-negeri Amerika Latin - suatu konsep yang sudah dicetuskan oleh pahlawan pembebasan Amerika Latin, Simon Bolivar, sejak abad 19. Oleh karenanya perlawanan terhadap dominasi ekonomi AS dilawan dengan pembentukan kerjasama antara negeri-negeri Amerika Latin dalam bentuk
antara lain zona perdagangan adil (fair trade) ALBA yang merupakan antitesis dari zona perdagangan bebas (free trade) FTAA yang digunakan AS untuk memperlebar monopolinya. Kebijakan integrasi wilayah ini tidak hanya menguntungkan sektor rakyat tapi juga kelas
pengusaha domestik negeri-negeri tersebut yang sebelumnya sangat dirugikan oleh monopoli ekonomi AS.

Masalah Pertarungan Kelas (class struggle) dalam Perjuangan
Pembebasan Nasional

Kawan Zely, dalam kritiknya terhadap strategi PRD/Papernas, menunjukkan kesalahpahaman bahwa perjuangan nasionalis melawan penjajahan asing mengabaikan pertarungan kelas. Ini menurut saya berangkat dari penerapan analisa kelas secara kaku (reduksionisme kelas). Teori pertarungan kelas memang merupakan hukum yang benar, yang tidak terpatahkan. Walau demikian ia harus disempurnakan atau dilengkapi dengan teori-teori yang lebih mendetail berdasarkan situasi yang selalu berubah. Ia tidak lebih dari sebuah pedoman, sebuah kompas, bukan peta yang dengan detil menggambarkan rute yang harus dituju. Praktek revolusioner bukanlah suatu perjalanan yang sudah ditentukan arahnya, tapi suatu penjelajahan yang dengan pedoman ini berupaya mencapai tujuan masyarakat yang berbasiskan solidaritas dan kemanusiaan.

Menurut Kawan Zely, "Problemnya memang "ANTI-neo-liberalisme" sudah disamakan; di sama dengan kan dengan "nasionalis" secara "umum". Padahal banyak sekali komponen kebijakan neo-liberal yang menguntungkan modal dalam negeri, yang berhadapan langsung dengan kepentingan kaum pekerja. Jadi "ANTI NEOLIBERAL" disamakan dengan "ANTI-asing" "nasionalisme"....Padahal jelas bahwa MODAL DALAM NEGERI dan kaum pekerja justru punya kepentingan yang berlawanan."

Pertama, berdasarkan proposal strategi elektoral yang diajukan PRD kepada Papernas (8), saya tidak menemukan satu pernyataan pun yang menyamakan anti-neoliberalisme (alias anti kebijakan fundamentalis pasar) dengan nasionalisme. Yang kurang lebih dapat diparalelkan
dengan nasionalisme bukanlah anti-neoliberalisme, melainkan anti-imperialisme. Di negeri kapitalis maju seperti AS atau Inggris Raya, perjuangan melawan neoliberalisme tidak tepat bila mengambil karakter nasionalisme karena adalah negara atau pemerintahan mereka sendiri
yang melakukan penjajahan atau imperialistik.

Sebagaimana dijelaskan di atas, berbeda dengan negeri kapitalis maju, nasionalisme yang bersifat anti-neoliberal dalam negeri-negeri terjajah atau dunia ketiga memiliki karakter yang progresif; karena ia merupakan perlawanan terhadap kapitalisme global yang membusuk
atau dengan kata lain: imperialisme - yang monopolistik dan spekulatif, tidak produktif. Dengan demikian perjuangan pembebasan nasional di Indonesia - tidak seperti tuduhan Kawan Zely - bukan berarti melupakan atau coba mendamaikan pertarungan kelas, melainkan menuntaskannya dengan menggunakan analisa yang luas, yang paham duduk permasalahan sesungguhnya: yakni bahwa suatu pemerintahan yang masih didikte oleh kepentingan asing, tidak akan mungkin berpihak pada kelas pekerja - dus, kelas pekerja tidak akan mencapai kemajuan berarti dalam perjuangannya. Konsekuensi dari ini adalah kelas pekerja harus turut berjuang membentuk pemerintahan yang berdaulat.

Kedua, neoliberalisme itu sendiri memang pada dasarnya suatu bentuk kebijakan kapitalis. Kata Chavez mengutip alm Paus Yohanes Paulus II: kapitalisme yang liar (savage capitalism). Dengan demikian memang berpihak kepada kaum pemodal. Masalahnya adalah kaum pemodal mana
yang paling diuntungkan? Dan yang mana yang mungkin dirugikan? Ada beragam tipe kapitalisme. Contohnya, kapitalisme kroni yang menguntungkan kroni-kroni kelas penguasa, kapitalisme finansial yang menguntungkan modal finansial, kapitalisme kesejahteraan (welfare
capitalism) yang meningkatkan kesejahteraan rakyatnya secara terbatas, dan banyak lagi macam lainnya. Kapitalisme memang pada dasarnya adalah sama: yakni digerakkan oleh nilai lebih yang diciptakan kelas pekerja dan diambil-alih oleh kelas pemodal; namun dalam prakteknya ia mengambil bentuk yang bermacam-macam, sesuai dengan kondisi masyarakat dan fase historiknya.

Sebagaimana disinggung di atas, neoliberalisme merupakan kapitalisme dalam krisis, yang mengutamakan kepentingan kapital monopoli transnasional. Dalam upayanya merebut pasar domestik dan menjual-belikan saham dan komoditas dalam negeri, terdapat beberapa pengusaha nasional yang dirugikan. Ini paralel dengan suatu konflik yang inheren dalam kapitalisme; yakni antara kapitalis besar dengan borjuasi kecil. Dalam konteks Indonesia, secara umum - bukan secara keseluruhan - keduanya terpisahkan oleh garis kebangsaan; yang
kapitalis besar berupa kapital transnasional yang sebagian besar milik asing, cukup besar dan berkuasa untuk memindahkan operasinya ke berbagai negeri; yang kecil, berupa kapital lokal yang bergantung pada pasar domestik atau kapasitas produksi domestik.

Memang benar apa yang dikatakan Kawan Pius bahwa perlu dilakukan suatu analisa mendalam tentang borjuasi nasional. Walau demikian dengan mengikuti berita saja bisa didapatkan gambaran kasar tentang kondisi beberapa sektor borjuasi nasional. Sudah banyak terlihat
keluhan kaum pengusaha domestik terhadap liberalisasi pasar dan tidak adanya inisiatif pemerintah untuk mengembangkan sektor produktif (sektor riil). Di antara mereka terdapat produsen pemasok pasar domestik yang mengeluhkan tidak adanya upaya pemerintah untuk
melindungi industri dengan membiarkan bea masuk produk impor yang rendah, pengusaha eksportir yang mengeluhkan kurangnya infrastruktur yang mendukung perdagangan seperti sarana pelabuhan, pengusaha distributor yang berhadapan dengan kapital transnasional di bidang ritel, hingga kenaikan BBM yang juga memukul hampir seluruh sektor pengusaha.

Pengusaha-pengusaha semacam ini cukup berperan dalam menyediakan lapangan kerja dan menyediakan barang kebutuhan dan jasa bagi masyarakat secara keseluruhan. Di Venezuela, contohnya, kebijakan Chavez banyak yang sebenarnya menguntungkan sektor-sektor pengusaha seperti ini.(9) Mission Mercal, contohnya, mendirikan toko-toko (kelontongan) yang menjual barang kebutuhan dengan harga murah di wilayah-wilayah miskin perkotaan. Barangnya dibeli oleh pemerintah dari pengusaha dengan harga kompetitif - dengan demikian memotong monopoli ritel dan menguntungkan produsen dan distributor kecil dan menengah. Di Indonesia, pengusaha seperti ini mendambakan suatu pemerintahan yang menekankan kemandirian ekonomi. Sayangnya, ide tersebut justru banyak diangkat oleh kaum nasionalis yang berkecenderungan chauvinist dan masih diragukan komitmen anti-neoliberalnya, seperti Wiranto (Hanura) dan Prabowo (Gerindra). Padahal pengusaha seperti ini sebenarnya dapat menjadi kawan potensial kaum pergerakan dalam tahap perjuangan anti-neoliberalisme.

Apakah dengan merangkul sektor borjuasi nasional tertentu ke dalam persatuan nasional anti-neoliberal maka perjuangan kelas pekerja terhadap pengusaha mesti dihentikan? Tentu tidak. Perjuangan tetap dilancarkan. Kelas pekerja tetap berhak untuk melawan pengusaha yang
bertindak sewenang-wenang. Adalah penting untuk mempertahankan standar kehidupan kelas pekerja ketika logika profit pengusaha mengalahkan logika kemanusiaannya. Walau demikian terdapat juga keadaan di mana baik pengusaha maupun buruh sama-sama dirugikan oleh
kebijakan neoliberal - misalnya saat kenaikkan harga BBM atau lesunya bisnis. Dalam hal ini konflik industrial antara buruh dan pengusaha bisa kontraproduktif bagi keduanya - menyebabkan tidak ada pesanan atau ditariknya investasi. Pengusaha bisa menyelamatkan diri dengan memindahkan usaha atau investasinya, namun buruh adalah pihak yang paling dirugikan karena kehilangan mata pencahariannya.

Ini bukan berarti bahwa buruh jangan melawan. Ini berarti bahwa perjuangannya harus dilakukan dengan menggunakan suatu strategi taktik yang baru, yang membutuhkan penanaman kesadaran dan aksi-aksi multi-sektor (bahwa bencana neoliberal juga menyerang sektor masyarakat lainnya), yang mengutamakan perlawanan terhadap kebijakan neoliberal
pemerintah, sehingga mau tidak mau harus melampaui persoalan ekonomi/normatif dan mengambil karakter yang lebih politis. Strategi baru ini didasarkan pada perkembangan-perkembangan terkini yang diakibatkan oleh neoliberalisme.

Dalam bidang perburuhan, misalnya, terdapat perubahan penting berupa reorganisasi proses produksi secara internasional dengan praktek men-sub-kontrak pesanan atau proyek kepada pihak ketiga (outsourcing). Ini mempermudah keluar-masuknya modal dan memberikan ketidakpastian terhadap kelangsungan industri di suatu wilayah, dengan demikian mengorbankan kapasitas produktif demi keleluasan kapital finansial. Akibatnya pengusaha dipaksa untuk menekan biaya produksi sekecil mungkin demi mendapat proyek. Sementara buruh mengalami penurunan kesejahteraan dan menghadapi ketidakpastian dalam pekerjaan. Dalam pasar tenaga kerja, terjadi proses yang sejalan dengan itu melalui fleksibilitas pasar tenaga kerja (LMF) yang mengurangi jenis pekerjaan yang tetap dan meningkatkan jenis pekerjaan tidak tetap seperti paruh waktu, kontrak atau borongan (by piece). Fenomena yang
terjadi secara global ini secara langsung mengikis daya tawar buruh dan menyebabkan penurunan keanggotaan serikat buruh.

Kondisi obyektif ini secara langsung mengurangi jumlah buruh sebagai kelas tersendiri maupun mengikis kekuatannya sebagai kekuatan terorganisir. Seorang buruh hari ini, dalam lima bulan ke depan bisa habis masa kontrak dan tak dapat pekerjaan baru, pulang ke desa jadi petani atau miskin desa, atau menganggur jadi miskin kota. Pengorganisiran buruh menjadi tugas yang semakin sulit, apalagi dengan kebijakan anti-serikat buruh yang semakin meluas dari tingkat
nasional hingga tingkat pabrik. Inilah bentuk neoliberalisme yang diderita oleh kaum buruh, yang secara langsung melumpuhkan kekuatan buruh sebagai kepentingan ekonomi yang independen. Maka metode perjuangan buruh yang baru mutlak sangat diperlukan. Metode ini harus berupa suatu gerakan politik melawan neoliberalisme yang berkoalisi dengan sektor masyarakat lainnya yang menjadi korbannya. Muatan politiknya harus menuntut suatu perubahan kebijakan yang ada saat ini.

Dalam menghadapi pemilu 2009, adalah penting bagi kelas pekerja untuk mendesakkan agenda-agenda mereka ini. Maka dalam kondisi saat ini, ketika polarisasi dan pergeseran antara partai dan elit politik masih berubah-rubah, masih terbuka jalan selain golput bagi kelas pekerja.
Salah satunya dengan mengangkat tuntutan mereka lewat aksi-aksi di dewan perwakilan rakyat dan di pabrik, menodong partai-partai yang bertarung agar memperjuangkan tuntutan minimum yang kongkrit dan bisa diukur.

Agar perjuangan anti-neoliberal berjalan efektif, prioritas utama harus ditujukan pada penuntasan sumber permasalahan bersama -neoliberalisme dan imperialisme. Dan bila mana terdapat konflik antara unsur-unsur yang mendukung perjuangan tersebut, maka hal itu
sebaik-baiknya ditangani tanpa mengorbankan perjuangan anti-imperialisme neoliberal itu sendiri. Adalah penting untuk tidak menciptakan musuh yang tidak perlu, dan tidak melupakan pihak-pihak yang berpotensi dijadikan kawan.

---------------

(1) Bisa dibilang terdapat dua thread dalam diskusi ini: http://
groups.yahoo.com/group/IndoProgress/message/2650
dan http://groups.yahoo.com/group/IndoProgress/message/2829

(2) Sesungguhnya Budi Wardoyo menuliskan sebuah argumen yang senada
dengan ini dengan tujuan mengkritik PRD/Papernas (http://
arahgerak.blogspot.com/), namun belum disertakan dalam diskusi,
dengan demikian belum diulas dalam pembahasan ini.

(3) Bagian tulisan ini banyak mengacu pada tulisan Harnecker,
"Tentang Strategi Kiri" http://kajian-indoprogress.blogspot.com/
2008/08/tentang-strategi-kiri.

html

Mengacu pada tulisan Harnecker, 'persatuan gerakan' yang dimaksud di
sini sebenarnya mengacu pada 'Kiri' sebagaimana dijelaskan oleh Marta
Harnecker, dan persatuan oposisi sesungguhnya mengacu pada blok
sosial alternatif yang anti-neoliberal. Harnecker mendefinisikan
"Kiri" sebagai "konvergensi semua kekuatan yang melawan sistem
kapitalis dengan logika profitnya, yang memperjuangkan masyarakat
alternatif yang berdasarkan humanisme dan solidaritas dan dibangun
atas kepentingan kelas pekerja, yang membebaskan mereka dari
kemiskinan materi dan penderitaan spiritual yang dikembangbiakkan
oleh kapitalisme. Kiri, dengan demikian, terdiri bukan saja atas
partai atau organisasi politik kiri; ia juga menyertakan aktor-aktor
sosial dan gerakan."

Namun untuk kepentingan pembahasan ini istilah tersebut saya perluas
menjadi 'kaum pergerakan' dengan asumsi bahwa unsur-unsur pergerakan
di Indonesia menyetujui dan memperjuangkan tujuan yang disebutkan
Harnecker di atas. Tentang siapa-siapa saja yang bisa dimasukkan
dalam definisi tersebut dalam konteks Indonesia, itu tentunya
merupakan perdebatan tersendiri. Menurut saya sendiri itu tidak hanya
terbatas pada organisasi yang berinspirasikan Marxisme, melainkan
juga beberapa organisasi nasionalis dan keagamaan yang cukup progresif.

(4) bisa dilihat dari tulisan Fidel dlm bhs Inggris berikut http://
www.escambray.cu/Eng/Special/Reflections%20by%20Fidel%20Castro/
Cchivas070827856.htm

(5) buku wawancara tersebut telah diterjemahkan ke Bhs Indonesia oleh
Pius Tumangger

(6) Terdapat beberapa artikel bhs Indonesia tentang contoh-contoh
semacam ini di beberapa negara di http://nefos.org

(7) Marta Harnecker dalam "Tentang Strategi Kiri" mengutip Noam
Chomsky (1998): "terdapat semacam "senat virtual" yang terdiri dari
spekulator finansial. Bila suatu negeri memutuskan untuk lebih
menekankan program-program pengembangan sosial, "senat virtual" ini
dapat dengan sekejap mengambil keputusan menentang kebijakan-
kebijakan itu, dengan menarik sejumlah besar kapital dari suatu
negeri, dengan konsekuensi-konsekuensi yang mengerikan.menggambarkan
kekuatan finansial ini sebagai "senat virtual"."

(8) lihat website KPRM-PRD http://kprm-prd.blogspot.com/2008/01/
proposal-politik-intervensi-
pemilu-2009.html

(9) lihat laporan bhs Inggris http://www.venezuelanalysis.com/news/2905

Minggu, 07 September 2008

Dibutuhkan Intelektual yang Bertindak

Nurani Soyomukti
(www.esaipolitiknurani.blogspot.com)

Mendekati pemilu 2009, memang di hadapan kita kemungkinan akan lebih buruk karena banyak orang yang akan berpikir dan bertindak pragmatis dan oportunis dalam momentum perebutan kekuasaan yang akan dilakukan pada tahun 2009. Semakin mendekat momentum ini, semakin banyak orang yang tidak berpikir jangka panjang, apalagi berpikir soal kebersamaan.

Dapat dipastikan pula jumlah intelektual di negeri ini akan berkurang. Bisa juga posisi dan peran mereka tak lagi begitu bermakna karena semua pernyataan lisan dan tulisan yang mereka buat hanya akan terserap dalam logika dukung-mendukung atau menentang, terserap dalam pertarungan yang bersifat politis dan taktis. Pertanyaan yang sering
muncul dalam kondisi seperti itu biasanya adalah: lalu dimanakah para intelektual yang dapat diharapkan untuk merubah nasib rakyat?

Dengan berbondong-bondongnya para intelektual ke dalam politik praktis-pragmatis, memang belum tentu intelektual berkurang. di negeri ini, martabat kaum intelektual memang masihlah besar dibanding para politisi karena para politisi telah mendapatkan reaksi yang negatif, terbukti rakyat kian apatis terhadap mekanisme politik formal. Apalagi alat politik formal seperti partai politik (parpol) telah terbukti, berdasarkan penelitian, sebagai lembaga yang paling korup. Demikian juga dewan perwakilan. Rakyat merasa tak lagi terwakili oleh "wakil rakyat , pun melihat partai politik bukan sebagai alat untuk memperjuangkan kepentingan mereka tetapi sebagai suatu organisasi yang menjijikkan.

Di tengah apatisme rakyat terhadap nasib mereka, hubungan social akan terancam jika mereka tidak mendapatkan kepercaan diri atau semacam sandaran eksistensi. Sebagai kumpulan individu yang mengalami proses psikologis dalam kaitannya dengan posisi mereka sebagai manusia yang berada dalam lingkungan material kehidupan, rakyat membutuhkan sandaran eksistensial. Sandaran eksistensi ini tentunya secara sosial
adalah munculnya kepemimpinan yang bukan hanya mampu menjelaskan pada
mereka tentang apa yang terjadi, tetapi sekaligus memenuhi kebutuhan-kebutuhan material mereka.

Kepemimpinan nasional terbukti gagal, demikian juga kepemimpinan daerah. Sehingga
banyak pengamat yang menegaskan dibutuhkannya kepemimpinan alternatif. Kepemimpinan alternatif secara ideal memang harus memiliki posisi dan peran sebagaimana kaum intelektual. Lalu siapakah kaum intelektual itu? Apakah mereka adalah orang yang dianggap netral yang bikin pernyataan-pernyataan hati-hati dan tidak menyerang atau membela pihak-pihak yang sedang bertarung dalam kekuasaan?

Intelektual dan Tindakan

Sayangnya, kekuasaan selalu diidentikan dengan suatu hal yang negatif. Pada hal mustahil kita akan merubah sesuatu tanpa memegang kekuasaan karena sumber-sumber utama untuk membuat kebijakan berhubungan dengan kekuasaan. Pandangan yang salah lainnya berkaitan dengan identifikasi bahwa intelektual adalah orang yang hanya dibutuhkan
pikiran-pikirannya dan bukan tindakannya. Sehingga intelektual hanyalah mereka yang berada di belakang meja, yang focus kegiatannya sekedar berbicara, menulis, dan berpikir. Kalau toh ia menggerakkan tubuhnya, ia hanya melakukan penelitian (di lapangan).

Pemahaman tersebut sangatlah feudal. Dan kita tahu bahwa feudalisme adalah musuh demokrasi karena tatanan yang bertumpu pada filsafat feudal telah ditumbangkan melalui berbagai macam revolusi demokratik di Negara-negara Barat tempo sejak 200 tahun yang lalu. Pandangan itu juga menunjukkan adanya suatu indikasi bahwa cara pandang masyarakat kita belum demokratis, mendewakan elitisme dan konservatisme.

Pandangan itu harus dihancurkan dan dibutuhkan cara berpikir baru bahwa intelektual bukanlah orang yang hanya berpikir, tetapi juga yang bertindak. Dalam hal ini kerja pengetahuan tak harus dipisahkan dengan kerja konkrit. Mengetahui juga harus bermakna bergerak dan bertindak untuk merubah keadaan yang tidak sesuai dengan ukuran-ukuran yang dibuat berdasarkan analisa objektif.

Sejarah terpisahnya antara kerja fisik dengan kerja intelektual memunculkan elitisme bagi mereka yang merasa memiliki ilmu pengetahuan lebih. Mereka merasa bahwa ilmu pengetahuan, informasi, dan intelektualitas yang dimilikinya terpisah dari relasi dialektis dalam hubungan kelas. Dan bahkan mereka memembenci kerja fisik, merasa eksklusif dan bahkan butuh dihormati karena monopoli intelektualitas itu. Bahkan mereka jijik pada orang lain yang menghabiskan waktunya untuk kerja fisik. Allan Wood dalam bukunya yang berjudul Reason and Revolt (1996) menemukan kecenderungan yang menjijikkan di kalangan kaum "intelektual" masa lalu. Mereka adalah para pemonopoli pengetahuan dan kalangan kelas eksklusif yang begitu mengagung-agungkan kesempatannya dalah mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi serta kekayaan matertial. Aristokrasi intelektual itu bahkan secara terang-terangan mengungkapkan kejijikan mereka akan
kerja-kerja fisik. Kutipan berikut berasal dari teks Mesir yang dikenal sebagai The Satire on the Traders, yang ditulis sekitar tahun 2000 SM dan diperkirakan berisi nasehat dari seorang ayah kepada anaknya, yang ia kirim ke Sekolah Menulis untuk berlatih menjadi seorang juru tulis: "Saya telah melihat bagaimana seorang pekerja kasar disuruh untuk bekerja kasar” kamu harus mengeraskan hati kamu dalam mempelajari tulisan. Dan saya telah mengamati bagaimana seseorang dapat menghindari pekerjaannya.

Lihatlah, tidak sesuatupun yang dapat melebihi tulisan. Saya telah melihat bagaimana seorang pandai besi bekerja di depan mulut tungku apinya. Jari-jarinya menjadi mirip jari-jari buaya; batu tubuhnya melebihi bau seekor ikan busuk….Seorang kuli pembangun rumah mengusung lumpur. Ia lebih kotor dari seorang gelandangan atau
babi karena ia mengarungi lumpur. Bajunya kaku karena dilumuri tanah liat.

Yang mengkawatirkan, jangan-jangan kebencian pada kerja fisik ini terjadi dalam alam bawah sadar kaum intelektual dan pemegang informasi yang tidak menyadari bahwa posisinya disangga oleh kerja-kerja fisik rakyat yang menyediakan banyak hal, memenuhi kebutuhan-kebutuhan materialnya dalam relasi eksploitatif pada struktur kelas. Kalau itu
terjadi, intelektual tentu akan selalu menjadi kekuatan anti-demokrasi. Sayangnya, kebanyakan kaum intelektual di era ini berasal dari kelas menengah dan bukan kelas penguasa dari keluarga raja-raja seperti jaman feudal.

Mereka kini berasal dari kelas menengah yang menjadi penyangga struktur social yang ada. Posisi kelas ini di satu sisi dapat terseret pada kepentingan kekuasaan, di sisi lain dapat terseret pada kepentinga rakyat miskin yang sedang ditindas. Dalam kaitannya dengan kondisi ini, Antonio Gramsci, sebagaimana diulas Tom Bottomore (dalam A
Dictionary of Marxist Thought, 1988: 194 dan 231), membedakan dua jenis intelektual. Pertama, intelektual organis yang berarti kaum intelektual yang merespons dan mengalami
keterlibatan dalam kebutuhan-kebutuhan kelas progresif yang baru. Mereka berupaya mengorganisasikan tatanan sosial yang baru.

Kedua, intelektual tradisional yang memiliki arti sebagai kelompok intelektual yang memiliki kebiasaan untuk kembali pada periode historis sebelumnya. Mereka menganggap diri sebagai kelas atau komunitas yang terpisah dari masyarakat. Mereka hanya menuliskan kondisi rakyat dan mendiskusikannya untuk kepuasan individual, sekedar menjalani aktivitas akademik atau untuk menghasilkan uang. Mereka tidak mau menggugah kesadaran dan membangkitkan gerakan untuk mengontrol dan melawan penyimpangan. Mereka tidak berperan sama sekali untuk perubahan realitas material. Mereka hanya berpuas diri dengan meneliti, menulis, berbicara di ruang mewah. Mereka hal itu lebih berguna dari pada terjun langsung ke basis masyarakat, membuat gerakan, dan berjejaring dengan kelompok lainnya untuk mengkonkretkan gagasan-gagasan perubahan. Kemustahilan peran peran intelektual tradisional terhadap demokrasi yang didasarkan pada partisipasi aktif dan kesadaran maju tersebut disinggung oleh Wiji Thukul dalam puisinya: "dunia bergerak bukan karena omongan/para pembicara dalam ruang seminar/yang ucapannya dimuat/di halaman surat kabar//Mungkin pembaca terkagum-kagum/tapi dunia tak bergerak/setelah surat kabar itu dilipat ". Wallahu'alam!