Minggu, 26 Oktober 2008

Kembali ke UUD 1945

Dian Purba

Sudah 63 tahun bangsa kita merdeka. Sesuatu yang janggal dan keterlaluan bila kita masih asyik dengan pertanyaan: apakah kita sudah merdeka dalam arti sebenarnya?

Kita bangga sebagai anak bangsa karena kita berhasil membuat penjajah lari pontang-panting dari negeri yang teramat kaya ini. Kita bangga sebagai anak bangsa karena memiliki tokoh sekaliber Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan yang lain. Kita bangga sebagai anak bangsa karena pernah berdaulat di bidang ekonomi. Semua kekayaan alam bangsa ini dikuasai sepenuhnya oleh anak bangsa. Nasionalisasi, kata yang sangat ditakuti kolonial (sekarang bertukar nama kapitalis) sebagai ajang pembuktian dari negeri ini bahwa negeri ini adalah milik kita. Sayang seribu kali sayang, itu semua tinggal kata-kata yang tertulis di buku-buku sejarah.

Undang-undang Penanaman Modal Asing disahkan setelah Orde Lama digantikan Orde Baru. Kelompok sakit hati yang tadinya “hartanya” diambil alih oleh negara, berbondong-bondong datang kembali. Berkedok pemerataan pembangunan, stabilitas politik, dan pertumbuhan ekonomi, bangsa ini digerogoti kembali. Sari pati bumi khatulisitiwa ini dikerok dan hasilnya dibawa ke negeri mereka. Tuntutan mereka macam-macam: mengurangi campur tangan pemerintah di bidang pasar, mencabut subsidi untuk rakyat, deregulasi yang menjamin keamanan berinvestasi. Mereka selalu yakin dengan istilah-istilah mereka: inverstasi asing, bisa membuat penghuni negeri ini lebih sejahtera. Dan belakangan kita semua tahu: itu semua bohong.

Rakyat tidak pernah lebih sejahtera. Rakyat tidak semakin sehat jasmani dan rohani. Pengangguran masih masalah yang teramat sulit diatasi. Kecerdasan anak-anak bangsa jauh di bawah kecerdasan bangsa lain yang, bahkan, baru saja merdeka. Ironis.

Ichsanuddin Noorsy menyebutkan ada lima indikator suatu perekonomian disebuat terjajah. Pertama, kepemilikan sumber daya, produksi dan distribusi. Kedua, bagaimana suatu bangsa memenuhi sektor pangan, energi, keuangan, dan infrastruktur. Ketiga, pasar domestik untuk kebutuhan primer dan sekunder dipasok siapa dan siapa yang mendominasi. Keempat, apakah suatu pemerintahan mempunyai kemerdekaan dan kebebasan mengambil kebijakan ekonomi dan terlepas dari pengaruh penguasa ekonomi dunia. Kelima, bagaimana sumber-sumber pendanaan APBN, dan apakah APBN memberikan hak-hak ekonomi sosial budaya.

Kenyataan di lapangan kita menjumpai bahwa semua indikator yang disebutkan di atas memenuhi syarat untuk sebuah negara disebut ekonominya terjajah. Inilah kenyataannya. Tak patut kita meratapinya. Kita membutuhkan pemimpin yang berkomitmen menjalankan UUD 1945. Karena menurut Hatta, “lebih baik kami melihat Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada melihatnya sebagai embel-embel abadi daripada suatu negara asing.”

Rabu, 22 Oktober 2008

Menggagas Kembai Budaya Membaca
(Diambil dari Buletin SADAR)
Cetak E-mail
Eka Pangulimara H*
Wednesday, 22 October 2008 (www.prp-indonesia.com)

baca.jpgMinat baca rendah bukan saja menggejala pada kalangan kurang berpendidikan, kalangan lebih terdidik pun lebih banyak yang malas baca ketimbang berasyik-masyuk dengan buku-buku. Contoh sederhana, mahasiswa universitas negeri sekalipun sedikit sekali yang membaca koran tiap harinya.

Membaca masih merupakan kegiatan yang “dinomersekiankan” dibanding menonton atau mendengar. Tidak aneh, di tengah kemeriahan tontonan populer yang disokong oleh tayangan-tayangan televisi, budaya membaca masyarakat boleh dibilang masih jalan di tempat. Gambaran yang lugas bisa kita ditemui dari rating penjualan buku-buku di toko buku yang tidak seberapa dan sepinya perpustakaan, baik perpustakaan sekolah, kampus maupun milik pemerintah daerah.

Aktivitas membaca sebenarnya bukan terletak pada saat–saat pengerjaan sebuah tugas. Namun, justru di sinilah kerap kita jumpai tradisi yang berkembang di masyarakat kita. Di bangku sekolah dasar misalnya, sebuah buku akan tergenggam seorang murid, jika terdapat PR, atau akan menghadapi ujian/test. Begitupun di bangku perguruan tinggi, buku akan dibaca serius, perpustakaan akan ramai dikunjungi, lagi-lagi karena ada semacam test ataupun penyusunan tugas akhir dan skripsi.

Bagi sebagian besar kaum buruh, membaca agak sering, terlihat apabila sedang mengalami suatu kasus. Keterpakasaan itu mendatangkan keharusan membuka Undang-Undang Perburuhan. Membolak-balik lembaran buku saku, dan terbitan serikat buruh. Mengamati perkembangan kasusnya yang tertulis di koran. Lebih dari itu, banyak pengurus serikat buruh perlu ekstra energi dan bermacam inisiatif mendorong anggotanya agar mampu meningkatkan kemauan membaca.

Dalam pengalaman seseorang semisal sekolah dasar kalau tidak melalui Taman Kanak-Kanak, kita bisa menemukan proses bagaimana manusia mulai belajar mengenal huruf, dan menyebutnya sebagai aktivitas membaca.

Membaca tulisan inipun, terang saja tak bisa lepas dari dialektika –gerak- pengalaman mula-mula, mengenal huruf seperti di atas. Lewat membaca kitapun bisa melalui lompatan-lompatan peristiwa dan, mendapati refleksi pertama kali kita belajar membaca. Asyik bukan?

Membaca tidak melulu berorientasi pada penyelesaian tugas, maupun sebuah hasil. Di kalangan penulis buku, mereka yang lebih memahami teknik menulis, dan piawai dalam penyerapan berbagai bacaan, memeroleh pengalaman tersendiri, hingga mereguk kenikmatan, tak kala, menjelujuri alur cerita dari apa yang ia baca. Sebut saja penulis buku berjudul “Dunia di Balik Jeruji” dan “Orang dan Partai Nazi di Indonesia” (Wilson). Sempat berkomentar panjang di sebuah halaman blogspot (via internet), yang memuat tulisan teman lama (Bung Buds) berjudul “Antara Penguatan Akar Rumput dan Strategi Politiknya di Era Neoliberalisme”. “Dengan tulisannya yang indah dan mengalir lancar,” terang Wilson.

Sejak dini

Faktor-faktor penyebab kesulitan dalam pembelajaran membaca bisa terentang dari persoalan lingkungan keluarga yang tidak kondusif, dominasi budaya non-baca, motivasi membaca yang rendah pada diri seorang anak, termasuk metode pembelajaran dahulu, atau kekinian yang kurang memadai yang diberikan guru.

Jika ditelisik, ternyata rendahnya minat baca bermula semenjak pembelajaran membaca diterima anak-anak sekolah dasar.

Membaca merupakan aktivitas auditif dan visual untuk memperoleh makna dan simbol berupa huruf atau angka. Aktivitas ini meliputi dua proses, yakni decoding – juga dikenal sebagai proses membaca teknis – dan proses pemahaman. Decoding merupakan proses pengubahan simbol-simbol tertulis berupa huruf atau kata menjadi sistem bunyi atau sejenisnya. Pada tingkat inilah seorang anak sekolah dasar menemui kesulitan pertama untuk membaca.

Beberapa penelitian mengklasifikan kesulitan membaca dalam lima hal; Pertama, kesalahan mengidentifikasikan kaitan bunyi-bunyian. Kedua, kebiasaan arah membaca yang salah. Ketiga, kelemahan kemampuan pemahaman. Keempat, ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan jenis bacaan dan kelima, kelemahan dalam hal kecepatan membaca.

Langkah nyata

Ada tiga langkah solusi yang cukup efektif untuk mengatasi beberapa kesulitan tersebut. Pertama, diperlukan kampanye budaya membaca yang intensif dan komprehensif. Untuk menjadikan masyarakat kita memiliki kebudayaan membaca yang kuat. Kampanye ini harus dimulai dari tingkat terendah baik itu di dalam keluarga (entitas terkecil dalam lingkungan masyarakat), dan juga di setiap sekolah dasar. Simaklah layar televisi kita setiap hari, dari segudang iklan, dan tontonan tak bermutu lainnya, nyaris tidak ada suatu tayangan berisi kampanye budaya membaca, barang sesekali dalam sebulan.

Kampanye budaya membaca mesti sampai kepada masyarakat luas, di setiap lapangan pekerjaan dan profesi. Kampanye ini cukup berkorelasi terhadap proyeksi sistem dan anggaran pendidikan negara. Kalau saja sistem dan anggaran pendidikan ini berbasis kerakyatan? Kontrol dan peran masyarakat sebagai penerima hak atas pendidikan yang memadai tentu saja berbarengan dengan pengadaan infrastruktur yang memudahkan masyarakat untuk mengakses beragam bacaan.

Kondisi ini tidak terlepas atas pembiayaan membeli buku. Sehingga pemerintah perlu menjamin keberadaan harga buku yang murah, mulai dari buku pelajaran di sekolah, perguruan tinggi, dan buku-buku pengetahuan umum lainnya. Dibutuhkan suatu gerai penyedia buku di banyak tempat menurut hirarki teritorial pemerintahan, dimana pemerintah berperan menyediakannya, dengan ongkos beli yang tidak mahal!

Yang kedua, taman bacaan berbasis kegiatan. Salah satu aspek penting keberadaan taman bacaan bukanlah sekedar satu ruang berisi buku-buku yang ditumpuk begitu saja. Taman bacaan memerlukan aktivitas tambahan yang menjadi magnet bagi warga sekitar akhirnya merubung tempat tersebut. Dengan bekal tantangan seperti ini, taman bacaan tak seperti gula bagi semut. Perlu ada rekayasa, program-program dan terutama aktivitas riil sehingga mampu mengundang calon pengunjung setia. Lebih menarik lagi jika para pengguna perpustakan akhirnya malah terlibat dalam banyak kegiatan perpustakaan.

Tiadanya aktivitas inilah salah satu hal yang membuat perpustakaan daerah kebanyakan kusam dan berdebu, di samping minimnya koleksi. Padahal, mal sekalipun (yang jauh lebih menarik dalam penampilan dan kesan), selalu pro-aktif menyelenggarakan acara-acara.

Kegiatan-kegiatan seperti apakah yang bisa diaktifkan oleh taman bacaan? Banyak dan sangat bervariasi. Kegiatan tersebut bisa langsung berhubungan dengan buku, contohnya bedah buku, temu pengarang/penulis atau aktivitas kampanye peningkatan minat baca lainnya (misalnya mendatangkan selebritis pecinta buku sesekali). Bahkan, jika memiliki tenaga yang memadai, taman bacaan juga dapat menerbitkan buku-buku atau buletin reguler. Tujuannya untuk mewadahi kreativitas pembaca, info buku-buku baru dan menularkan gemar baca ke semakin banyak orang.

Namun aktivitas taman bacaan juga bisa tak berkaitan langsung dengan buku. Kegiatan lain dapat saja diselenggarakan, misalnya mengadakan lomba-lomba untuk anak-anak (melukis, mewarnai atau menulis), teater, baca puisi/cerpen, tari-tarian bahkan pertunjukan musik sederhana. Oleh karena itu, sangat penting bagi pengelola taman bacaan berjejaring dengan pihak-pihak lain. Di Solo pengelolaan ini dilakukan oleh salah seorang sastrawan dari kota Bengawan Joko Sumantri, dengan Rumah Sastra-nya. Malahan di Wonosobo, mantan TKW Maria Bo Niok, selain kini berpredikat sebagai novelis, ia juga aktif mengelola “Istana Rumbia” sebuah nama dari taman bacaan yang ia miliki.

Langkah nyata terakhir yang bisa diambil sebagai pilihan adalah dengan model tutor sebaya. Tutor sebagai istilah teknis secara umum diartikan sebagai suatu proses yang melibatkan seseorang untuk memberikan bimbingan dan bantuan belajar kepada orang lain. Seseorang sebagai teman sebaya yang bisa diajak sekaligus berdiskusi mengenai isi bacaan, dan manfaat pengalaman membaca tidak sekedar menghafal, akan tetapi menjadi suatu proses mengkaji.

Teringat pengalaman subyektif penulis beberapa waktu yang lampau dalam memahami indahnya budaya membaca, di tengah kesepian, keheningan, dan kesendirian, seorang teman lama, pernah berujar, “Jadikanlah setiap buku yang kau baca, sebagai kapak yang akan memecah lautan beku di dalam hatimu.”

*Penulis adalah Pengurus Pusat Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) dan anggota PRP Komite Kota Jakarta Raya

Selasa, 21 Oktober 2008

Posisi Bahasa dalam Kebudayaan

Oleh: Nurani Soyomukti, penulis buku SOSISLISME PENDIDIKAN, ANTARA TEORI DAN PRAKTEK (Arruzzmedia, Yogyakarta/September 2008)

Peran bahasa dalam sejarah pergerakan Indonesia tidak dapat diragukan. Pertama-tama, dipilihnya bahasa nasional yang diadopsi dari bahasa Melayu adalah keputusan politik yang maju untuk menyatukan kekuatan politik, sosial, dan budaya dalam mendefinisikan bangsa Indonesia. Ada beberapa sebab yang membuat para aktivis gerakan Indonesia pada waktu lampau bersepakat memilih bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, bukan bahasa Jawa atau bahasa Sunda. Di antaranya karena, pertama, bahasa melayu telah menjadi bahasa penghubung (lingua franca) dalam kegiatan perdagangan di nusantara. Kedua, bahasa melayu sudah meluas dan telah digunakan dalam bahasa pers dan pernerbitan. Ketiga, dan yang utama, bahasa melayu merupakan bahasa yang demokratis.

Bahasa Melayu berbeda dengan bahasa Jawa dan bahasa Sunda yang sarat dengan tata krama feodalistik serta strata dan kasta. Penggunaan bahasa Jawa sarat dengan diskriminasi dengan bahasa yang berbeda dalam hubungan antara kaum bangsawan dengan rakyat jelata. Jika kaum kaum rendahan (rakyat jelata) berkomunikasi dengan kaum bangsawan, maka harus menggunakan bahasa yang halus atau bahasa "krama alus".

Melihat pentingnya bahasa dalam sejarah gerakan tersebut, nampaknya kita sering lupa bahwa perubahan masyarakat kita tidak ditentukan oleh faktor lainnya. Kalangan yang menekankan penggunaan bahasa dan komunikasi sebagai sarana penting perubahan biasanya akan menekankan pada jalan negosiasi dan konsensus dalam mencapai tujuannya. Pada hal yang tidak dapat diabaikan adalah bagaimana perjuangan fisik dan pengorganisiran massa rakyat untuk mendobrak penjajahan dan mencapai kemerdekaan. Cara-cara perjuangan mobilisasi massa adalah pilar utama perubahan masyarakat, apalagi dalam proses merebut kedaulatannya.

Kekeliruan mereka yang menekankan pada perjuangan negosiasi dan konsensus adalah tidak mampu melihat bahwa yang utama sebagai kekuatan adalah gerakan material yang besar dari kebangkitan massa yang menuntut pembebasan karena ketertindasan yang menimpa mereka. Bahasa hanyalah alat, dan alat ini harus memenuhi tuntutan massa.
Perdebatan ini dalam ranah teori sosial sebenarnya diwakili oleh kaum Marxis dan Mazhab Frankfurt yang dalam hal ini diwakili oleh Jurgen Habermas. Perdebatan ini sangat menarik untuk melihat posisi bahasa dalam proses hubungan sosial dan perubahan masyarakat.
Habermas mengritik Marx karena terlalu menekankan produksi dan mengabaikan suatu hal yang sangat penting bagi pemikir Mazhab Frankfurt ini, yaitu interaksi komunikatif. Habermas mengandaikan adanya praksis emansipatoris dari dan oleh dialog-dialog komunikatif dan tindakan-tindakan komunikatif yang dianggapnya dapat menghasilkan "pencerahan."

Dan ini bertolak belakang dengan Marxisme "ortodoks" yang menempuh jalan revolusioner untuk menjungkirbalikkan struktur masyarakat demi terciptanya masyarakat sosialis. Jadi, Habermas menempuh jalur konsensus dengan sasaran terciptanya
"demokrasi radikal," yaitu hubungan-hubungan sosial yang terjadi dalam lingkup "komunikasi bebas penguasaan." Dengan konteks komunikasi ini, perjuangan kelas, revolusi politis, diganti dengan perbincangan rasional di mana argumen-argumen berperan sebagai unsur emansipatoris. "Demokrasi radikal" dalam bahasa habermas jelas sekali menegaskan posisinya sebagai seorang liberal, selain dia pernah mengatakan sendiri: "rekan-rekan Marxis saya tidak sama sekali keliru dalam menuduh saya sebagai seorang liberal radikal ".[1]

Paradigma ˜kerja" dari Karl Marx menegaskan bahwa pada hakekatnya manusia dan kehidupannya adalah kerja kata Marx dalam Manuskrip-nya: "apa itu hidup kalau bukan kerja (aktifitas)?".[2) Tetapi hal ini bukan tanpa alasan; Marx mempelajarinya berdasarkan analisa historis perkembangan manusia dan masyarakatnya. Pada hakekatnya, manusia dalam hidupnya selalu disibukkan dengan caranya menghadapi alam karena manusia harus memenuhi dan meningkatkan kebutuhan hidupnya. Praktek memperlakukan alam dan alat-alatnya inilah yang dinamakan kerja dalam kesadaran keseharian manusia yang secara mendasar bertujuan untuk menghadapi alam, menyelesaikan kontdiksi-kontradiksinya dan mengubahnya secara terus menerus yang mengakibatkan proses evolusi.

Hal ini harus dimulai dari pemahaman yang sangat mendasar, yaitu bahwa untuk mempertahankan dan melanjutkan hidupnya, manusia harus dapat mencukupi kebutuhan utamanya yaitu: makanan, pakaian dan tempat tinggal. Oleh karena itu manusia harus memproduksi semua kebutuhan-kebutuhannya. Pertama kali manusia harus berjuang mengubah alam untuk kebutuhan hidupnya ini. Kegiatan produksi ini dilakukan manusia secara sadar melaui kerjanya. Inilah salah satu yang membedakan manusia dengan hewan. Dalam proses produksi inilah, manusia menggunakan dan mengembangkan alat-alat produksi (alat alat kerja dan obyek kerja) disamping tenaga kerjanya sendiri. Dari mulai tangan, kapak, palu, lembing, palu, cangkul hingga komputer serta mesin-mesin modern seperti sekarang ini. Alat-alat produksi (ada teknologi didalamnya) dan tenaga kerja manusia (ada pengalaman, ilmu pengetahuan didalamnya) tidak pernah bersifat surut melainkan terus maju disebut sebagai Tenaga produktif masyarakat yaitu kekuatan yang mendorong perkembangan masyarakat. Inilah dasar bahwa sebelum komuniksi dan bahasa diciptakan, kerja telah mendahului hakekat manusia sebagai mahkluk untuk mengubah kondisi sosialnya. Proses evolusi dan revolusi peradaban manusia secara mendasar dilandasi oleh hakekat itu.

Dari pemahaman ini juga sebenanya dari pandangan Marxisme, paradigma komunikasi" Habermas dalam melihat evolusi masyarakat justru “utopis” karena meninggalkan dasar material lagi-lagi ketularan filsafat idealisme. Sangatlah meragukan apakah tindakan komunikatif memiliki struktur terpadu yang diandaikan Habermas. Apalagi sebenarnya Habermas membangun konsepsinya tentang rasionaitas komunikatif hanya dengan membahas serangkaian speech acts (misalnya menceritakan kisah, lelucon, permainan peran, pemakaian kata-kata untuk menyemangati atau menghibur, dst.) sebagai sesuatu yang bersifat sekunder terhada urusan serius dari kebenaran, kejujuran, dan seterusnya. Dalam praktek sehari-hari saja, bahasa dipakai sebagai sesuatu yang menyembunyikan sekaligus juga menyingkapkan, dan juga menghasilkan kesalahpahaman dan sekaligus pemahaman. Dari perspektif Marxis jelas bahwa, bahasa merupakan alat bagi dominasi ideologis dari kelas yang berkuasa.

Bahwa komunikasi dengan mereka yang lain terselubung, berkedok dan sulit dipahami adalah bagian penting dari bahasa kaum tertindas, kaum devian dan malah mereka yang ingin menekankan perbedaan saja. Menciptakan perbedaan di antara mereka yang memahami dan mereka yang tidak mengerti adalah bagian dai proses untuk merundingkan perbedaan dan kemajemukan. Barnagkali inilah komunikasi yang terdistorsi, tetapi praktik-praktik ini memberi sebuah ruang untuk perbedaan pendapat yang dihindari oleh cita-cita transparansi konsensual dari Habermas. Bahkan kalau pemahaman timbal balik diinginkan, tak ada jaminan bahwa hal itu dapat dicapai, meski dalam prinsip sekalipun.

Agnes Heller[3] melihat bahwa dalam memberikan pandangan yang sama sekali instrumental mengenai produksi, Habermas mengabaikan makna antropologis dari kerja. Padahal bagi Marx, seperti juga bagi Hegel, kerja bukan hanya kegiatan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ada sebelumnya. Kerja merupakan cara manusia menyatakan dan mengubah kodrat mereka; dalam bertindak untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan yag sudah lama ada, mereka menghasilkan kebutuhan-kebutuhan baru dan jenis-jenis kegiatan manusia yang baru. Kerja adalah sebuah kegiatan yang kreatif dan kreatif-diri. Maka dalam pengertian ini, kerja bukan lagi berada dalam norma-norma rasio instrumental seperti dikatakan Habermas. Marx menekankan bahwa kerja adalah bentuk pengungkapan diri dan pembentukan-diri manusia yang bersifat niscaya. Dalam wawasan makna antropologis dari kerja menjadi kegiatan instrumental bukanlah tanda kemajuan melainkan tanda keterasingan.

Bagi saya, alih-alih menuduh cita-cita Marxis untuk melepaskan diri dari keterasingan kerja dalam sistem kapitalis dan menegaskan keniscayaan sosialisme, Habermas justru adalah orang yang paling utopis dengan cita-cita ˜komunikasi bebas hambatan." Lihatlah utopianya itu: Dalam ˜What is Universal Pragmatics Communication and Evolution of Society ", Habermas mengatakan ˜cita-cita" mulia masyarakat komunikatif ini dengan kata-kata yang indah pula: "Tujuan mencapai pemahaman adalah menghasilkan sebuah persetujuan yang berakhir pada saling pemahaman timbal balik yang bersifat intersubjektif, pengetahuan bersama, kepercayaan timbal balik, dan kesesuaian satu sama lain ".[4]

Posisi Bahasa dan Komunikasi

Saya yakin, komunikasi bebas hambatan tidak pernah terjadi bahkan dalam masyarakat tanpa kelas sebagaimana dicita-citakan kaum Marxis. Terlalu banyak kendala yang ada, sedikitnya adalah kendala psikologis, dan yang paling nyata dan besar adalah kendala kelas (posisi manusia terhadap kepemilikan alat-alat produksi). Perubahan-perubahan ke arah demokrasi yang terjadi sepanjang sejarah tidak terjadi dalam aras komunikasi, tetapi dari kontradiksi yang melahirkan gerakan saling berbenturan dan benturan kuantitaif yang memuncak, maka lahirlah perubahan kualitatif yang mendorong sejarah menjadi maju atau mundur (berubah). Terlalu picik untuk menilai bahwa kelas penguasa (minoritas pemilik aset-aset ekonomi dan alat-alat produksi) akan membagikan akses-akses pemenuhan kebutuhan hidup dengan jalan konsensus.

Tidak ada basis ideologis dan kesadaran dalam masyarakat berkelas untuk membuat minoritas penguasa menyadari bahwa alat-alat produksi dan aset-aset ekonomi politik dalam masyarakat harus dibagi bersama suapa masyarakat tidak kontradiksi. Himbauan moral dan religi adalah kosong. Ketika di jazirah Arab suku Quraisy menguasai alat-alat produksi dengan menindas mayoritas budak dan kelas pekerja, yang menjadi basis bagi "jaman jahiliyah ", bahasa dan himbauan moral-agamis Islam yang disampaikan Muhammad dan melalui kata-kata ayat bukan hanya tidak digubris, dan ditentang, tapi juga bermakna penghancuran kekuatan produktif baru yang secara ideologis berbentuk ajaran agama Islam. Muhammad dikejar-kejar dan harus dilenyapkan dari muka bumi. Islam justru diterima melalui kerja-kerja pengorganisiran massa dan belakangan juga melalui pembentukan tentara untuk memperluas wilayah kekuasaannya.

Sejarah masyarakat di manapun dan kapaunpun juga juga menunjukkan hal yang sama. Tumbangnya suatu rejim bukan melalui konsensus dan ajakan moral (komunikasi), tetapi dari serangan terarah yang melawan keinginan yang berlawanan dari gerakan penumbangan itu. Itu adalah contoh makro-sosial dalam komunikasi. Pada tingkat kecil dalam hubungan sosialpun, komunikasi bebas hambatan tidak pernah terjadi persoalan tak akan pernah terselesaikan tanpa mematerialisasi kontradiksi yang mendasarinya.

Bahasa kadang menjadi suatu kemunafikan.

Komunikasi bisa saja menjernihkan suasana dan memperlihatkan apa yang sedang dipersoalkan; tetapi dalam hal ini, pemahaman timbal balik akan merintangi persetujuan. Kapitalis dan para aparat pengamannya tahu apa yang terjadi dalam sistem yang dijalankan, buruh juga tahu apa yang menimpanya—untuk membuat persetujuan jelas tidak mungkin. Perubahan penghancuran kapitalis ditempuh dengan revolusi proletariat, bukan dengan negosiasi atau kajian intelektual dan seminar-seminar. Dalam titik ini, paksaan senjata mesti mengganti paksaan argumen. Kata karl Marx dalam Contribution to Critique of Hegel Philosophy of Law: "Senjata kritik tentu tak bisa mengganti kritik dengan senjata-senjata."[5]

Kaum Marxis begitu yakin bahwa kemenangan revolusi proletariat akan berhasil dengan senjata-senjatanya, tidak perlu senjata dalam makna fisik sepanjang itu tidak diperlukan, tetapi dengan alat-alat dan strategi taktik revolusioner: organisasi/partai kelas pekerja sebagai vanguard-nya dengan pengorganisiran kerja-kerja yang terpimpin dan berideologi Marxis sebagai panduan teoritiknya. Inilah yang diterapkan Lenin yang berhasil menghancurkan tatanan penindasan di bawah rejim tiran Tsar. Dan itu menjadi contoh bagi kam buruh dalam menunaikan amanat historisnya, tapi sayang akhirnya dikalahkan dengan kecenderungan borjuasi di bawah Stalinisme.

Singkatnya, ada beberapa kelemahan bagi paradigma komunikasi ini jika diterapkan dalam analisa hubungan konkrit dalam masyarakat:[6] Pertama, kedistorsian komunikasi terjadi pada dua aras yang berjalan bersamaan: pertama, relasi produksi masyarakat kapitalis yang diskriminatif dalam akses dan kepemilikan; dan kedua, globalisasi homologi perspektif pemaknaan realitas sosial.

Kedua, konstruksi sebuah masyarakat manusia yang komunikatif harus dikembalikan secara politis kepada konstruksi kepemilikan teknologi yang “accessible” dan melakukan evaluasi atas posisi social menuju simularitas eksistensi dengan proposisi secara massif yang dikelola secara taktis politis. Ketiga, karena rasionalitas instrumental masyarakat kapitalis berorientasi pertumbuhan, kesejahteraan terjadi sebagai akibat serius dari kelangkaan sumber daya dan kekesatan kualifikasi institusional dalam cara produksi. Keempat, meletakkan tindakan komunikatif bebas dominasi pada consensus social bukanlah proyek emansipatoris, karena secara politis akan terperangkap dalam pendekatan elitis, dimana budi baik dan kerendahan hati aparatus Negara dan ideologi dipertahankan secara moral.

Banyak kelemahan lain dari Habermas yang juga masih terhinggapi oleh idealisme dalam pemikirannya. Akan tetapi harus diakui bahwa Habermas memiliki banyak pengikut, antara lain adalah golongan yang sudah disinggung di bagian depan, khususnya orang yang menekankan "konsensus" dan "negosiasi" dalam melihat persoalan. Kalangan ini tidak punya kepentingan untuk menghancurkan tatanan penindasan neo-liberal, tetapi justru memanfaatkan demi kepentingan karier dan proyeknya.

Permainan bahasa menjadi alat bagi kaum intelektual dan sastrawan untuk mendapatkan status karena mereka memang bersandar pada kata-kata, bahasa, dan tulisan atau pembicaraan dalam memperoleh uang. Posisi bahasa dalam masyarakat tergantung pada penggunaan bahasa oleh masyarakat. Ketika media-media yang menyebarkan bahasa dikuasai oleh suatu kekuatan politik, maka bahasa yang dominan di masyarakat juga akan berpihak pada kepentingan kekuatan tersebut.

Jadi perjuangan sosial mencari identitas kebangsaan tidak semata-mata dapat diperjuangkan dengan menegaskan bahasa nasional, tetapi juga harus dilakukan dengan mentransformasikan kekuatan produktif di masyarakat.***


[1] Dikutip dalam Ross Poole, Moralitas dan Modernitas: Di Bawah Bayang-Bayang Nihilisme. Yogyakarta: Kanisius, 1993, hal. 104

[2] Karl Marx dalam "Economic and Philosophical Manuscripts" yang disertakan dalam Erich Fromm, Konsep Manusia Menurut Marx, terjemahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hal. 132

[3] Dikutip dalam Ross Poole, Moralitas…, hal. 108-109

[4] ibid., hal. 104

[5] Dikutip dari Ross Poole, Moralitas…, hal. 245

[6] Francis A. Vicki Djalong, Rasionalitas, Operasi Sistem dan Konflik Sistemik: Sebuah Sketsa Mengenai Realitas Masyarakat Kapitalis. Dalam KIBAR: Paradigma Ilmu-Ilmu Sosial dan Transformasi Sosial, diterbitkan oleh Litbang LPPM Sintesa FISIPOL UGM No. 1, Mei, 19998

Jumat, 17 Oktober 2008

Mulailah dari Sejarah

Dian Purba

Suatu kali Pramoedya berkata umumnya Indonesia itu menderita “busung-lapar histori”. Semua yang baik dari makanan yang kita namakan “sejarah yang benar” telah diambil sarinya. Direbut dari tubuh, dibuatkan ke dalam bentuk yang baru berupa tulisan para “ahli” dan dinamakan kitab tentang segala sesuatu yang (dipaksakan) benar. Tubuh-tubuh yang telah diambil sarinya dibiarkan hidup tanpa memberi kesempatan memperoleh asupan giji yang cukup.

Sejarah bagi penguasa adalah pedang. Pedang bermata dua. Mata yang satu ditujukan kepada pihak yang dinamakan “kita”. Mata kedua ditujukan kepada mereka-mereka yang bukan “kita”. “Kita” diartikan semua individu atau kelompok yang berada di dalam kerangka pemikiran penguasa. Mereka yang terang-terangan, sembunyi-sembunyi berada di luar kerangka berpikir sang empunya kuasa adalah kelompok “bukan kita”. Mereka sangat tidak disukai. Juga sangat ditakuti. Makar, demikian mereka dinamai.

Sejarah ditulis oleh mereka yang berkuasa untuk membenarkan kekuasaannya. Ini penting, untuk tidak mengatakan teramat penting. Inilah yang terjadi pada bangsa ini untuk waktu yang teramat lama. Sejarah yang benar dibuat bengkok kemudian ditulis ulang. Semua dikaburkan bahkan dihilangkan, dimanfaatkan untuk kepentingan politik penguasa dan rejim.

Alhasil, sejarah yang kita pahami adalah sejarah sebagai doktrin bukan sebagai telaah kritis tentang masa lalu. Bukan pula yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Kita harus memberanikan diri membuka tabir gelap bangsa ini. Kesalahan-kesalahan di jaman dulu harus kita akui sebagai sebuah kesalahan.

Dari mana kita harus memulai? Max Lane dalam Bangsa yang Belum Selesai kira-kira mengatakan: ini saatnya kaum muda “dipaksa” untuk memahami dan mengkaji ulang sejarah bangsa mereka sendiri. Sejarah yang kita anggap selama ini benar tidak dapat diterima lagi. Karena, sekali lagi meminjam Pram, kalau orang tidak tahu sejarah, ia tidak akan paham masa kini, apalagi masa depan. Dengan demikian “busung-lapar histori” akan menjadi “sehat histori”.