Selasa, 21 Oktober 2008

Posisi Bahasa dalam Kebudayaan

Oleh: Nurani Soyomukti, penulis buku SOSISLISME PENDIDIKAN, ANTARA TEORI DAN PRAKTEK (Arruzzmedia, Yogyakarta/September 2008)

Peran bahasa dalam sejarah pergerakan Indonesia tidak dapat diragukan. Pertama-tama, dipilihnya bahasa nasional yang diadopsi dari bahasa Melayu adalah keputusan politik yang maju untuk menyatukan kekuatan politik, sosial, dan budaya dalam mendefinisikan bangsa Indonesia. Ada beberapa sebab yang membuat para aktivis gerakan Indonesia pada waktu lampau bersepakat memilih bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, bukan bahasa Jawa atau bahasa Sunda. Di antaranya karena, pertama, bahasa melayu telah menjadi bahasa penghubung (lingua franca) dalam kegiatan perdagangan di nusantara. Kedua, bahasa melayu sudah meluas dan telah digunakan dalam bahasa pers dan pernerbitan. Ketiga, dan yang utama, bahasa melayu merupakan bahasa yang demokratis.

Bahasa Melayu berbeda dengan bahasa Jawa dan bahasa Sunda yang sarat dengan tata krama feodalistik serta strata dan kasta. Penggunaan bahasa Jawa sarat dengan diskriminasi dengan bahasa yang berbeda dalam hubungan antara kaum bangsawan dengan rakyat jelata. Jika kaum kaum rendahan (rakyat jelata) berkomunikasi dengan kaum bangsawan, maka harus menggunakan bahasa yang halus atau bahasa "krama alus".

Melihat pentingnya bahasa dalam sejarah gerakan tersebut, nampaknya kita sering lupa bahwa perubahan masyarakat kita tidak ditentukan oleh faktor lainnya. Kalangan yang menekankan penggunaan bahasa dan komunikasi sebagai sarana penting perubahan biasanya akan menekankan pada jalan negosiasi dan konsensus dalam mencapai tujuannya. Pada hal yang tidak dapat diabaikan adalah bagaimana perjuangan fisik dan pengorganisiran massa rakyat untuk mendobrak penjajahan dan mencapai kemerdekaan. Cara-cara perjuangan mobilisasi massa adalah pilar utama perubahan masyarakat, apalagi dalam proses merebut kedaulatannya.

Kekeliruan mereka yang menekankan pada perjuangan negosiasi dan konsensus adalah tidak mampu melihat bahwa yang utama sebagai kekuatan adalah gerakan material yang besar dari kebangkitan massa yang menuntut pembebasan karena ketertindasan yang menimpa mereka. Bahasa hanyalah alat, dan alat ini harus memenuhi tuntutan massa.
Perdebatan ini dalam ranah teori sosial sebenarnya diwakili oleh kaum Marxis dan Mazhab Frankfurt yang dalam hal ini diwakili oleh Jurgen Habermas. Perdebatan ini sangat menarik untuk melihat posisi bahasa dalam proses hubungan sosial dan perubahan masyarakat.
Habermas mengritik Marx karena terlalu menekankan produksi dan mengabaikan suatu hal yang sangat penting bagi pemikir Mazhab Frankfurt ini, yaitu interaksi komunikatif. Habermas mengandaikan adanya praksis emansipatoris dari dan oleh dialog-dialog komunikatif dan tindakan-tindakan komunikatif yang dianggapnya dapat menghasilkan "pencerahan."

Dan ini bertolak belakang dengan Marxisme "ortodoks" yang menempuh jalan revolusioner untuk menjungkirbalikkan struktur masyarakat demi terciptanya masyarakat sosialis. Jadi, Habermas menempuh jalur konsensus dengan sasaran terciptanya
"demokrasi radikal," yaitu hubungan-hubungan sosial yang terjadi dalam lingkup "komunikasi bebas penguasaan." Dengan konteks komunikasi ini, perjuangan kelas, revolusi politis, diganti dengan perbincangan rasional di mana argumen-argumen berperan sebagai unsur emansipatoris. "Demokrasi radikal" dalam bahasa habermas jelas sekali menegaskan posisinya sebagai seorang liberal, selain dia pernah mengatakan sendiri: "rekan-rekan Marxis saya tidak sama sekali keliru dalam menuduh saya sebagai seorang liberal radikal ".[1]

Paradigma ˜kerja" dari Karl Marx menegaskan bahwa pada hakekatnya manusia dan kehidupannya adalah kerja kata Marx dalam Manuskrip-nya: "apa itu hidup kalau bukan kerja (aktifitas)?".[2) Tetapi hal ini bukan tanpa alasan; Marx mempelajarinya berdasarkan analisa historis perkembangan manusia dan masyarakatnya. Pada hakekatnya, manusia dalam hidupnya selalu disibukkan dengan caranya menghadapi alam karena manusia harus memenuhi dan meningkatkan kebutuhan hidupnya. Praktek memperlakukan alam dan alat-alatnya inilah yang dinamakan kerja dalam kesadaran keseharian manusia yang secara mendasar bertujuan untuk menghadapi alam, menyelesaikan kontdiksi-kontradiksinya dan mengubahnya secara terus menerus yang mengakibatkan proses evolusi.

Hal ini harus dimulai dari pemahaman yang sangat mendasar, yaitu bahwa untuk mempertahankan dan melanjutkan hidupnya, manusia harus dapat mencukupi kebutuhan utamanya yaitu: makanan, pakaian dan tempat tinggal. Oleh karena itu manusia harus memproduksi semua kebutuhan-kebutuhannya. Pertama kali manusia harus berjuang mengubah alam untuk kebutuhan hidupnya ini. Kegiatan produksi ini dilakukan manusia secara sadar melaui kerjanya. Inilah salah satu yang membedakan manusia dengan hewan. Dalam proses produksi inilah, manusia menggunakan dan mengembangkan alat-alat produksi (alat alat kerja dan obyek kerja) disamping tenaga kerjanya sendiri. Dari mulai tangan, kapak, palu, lembing, palu, cangkul hingga komputer serta mesin-mesin modern seperti sekarang ini. Alat-alat produksi (ada teknologi didalamnya) dan tenaga kerja manusia (ada pengalaman, ilmu pengetahuan didalamnya) tidak pernah bersifat surut melainkan terus maju disebut sebagai Tenaga produktif masyarakat yaitu kekuatan yang mendorong perkembangan masyarakat. Inilah dasar bahwa sebelum komuniksi dan bahasa diciptakan, kerja telah mendahului hakekat manusia sebagai mahkluk untuk mengubah kondisi sosialnya. Proses evolusi dan revolusi peradaban manusia secara mendasar dilandasi oleh hakekat itu.

Dari pemahaman ini juga sebenanya dari pandangan Marxisme, paradigma komunikasi" Habermas dalam melihat evolusi masyarakat justru “utopis” karena meninggalkan dasar material lagi-lagi ketularan filsafat idealisme. Sangatlah meragukan apakah tindakan komunikatif memiliki struktur terpadu yang diandaikan Habermas. Apalagi sebenarnya Habermas membangun konsepsinya tentang rasionaitas komunikatif hanya dengan membahas serangkaian speech acts (misalnya menceritakan kisah, lelucon, permainan peran, pemakaian kata-kata untuk menyemangati atau menghibur, dst.) sebagai sesuatu yang bersifat sekunder terhada urusan serius dari kebenaran, kejujuran, dan seterusnya. Dalam praktek sehari-hari saja, bahasa dipakai sebagai sesuatu yang menyembunyikan sekaligus juga menyingkapkan, dan juga menghasilkan kesalahpahaman dan sekaligus pemahaman. Dari perspektif Marxis jelas bahwa, bahasa merupakan alat bagi dominasi ideologis dari kelas yang berkuasa.

Bahwa komunikasi dengan mereka yang lain terselubung, berkedok dan sulit dipahami adalah bagian penting dari bahasa kaum tertindas, kaum devian dan malah mereka yang ingin menekankan perbedaan saja. Menciptakan perbedaan di antara mereka yang memahami dan mereka yang tidak mengerti adalah bagian dai proses untuk merundingkan perbedaan dan kemajemukan. Barnagkali inilah komunikasi yang terdistorsi, tetapi praktik-praktik ini memberi sebuah ruang untuk perbedaan pendapat yang dihindari oleh cita-cita transparansi konsensual dari Habermas. Bahkan kalau pemahaman timbal balik diinginkan, tak ada jaminan bahwa hal itu dapat dicapai, meski dalam prinsip sekalipun.

Agnes Heller[3] melihat bahwa dalam memberikan pandangan yang sama sekali instrumental mengenai produksi, Habermas mengabaikan makna antropologis dari kerja. Padahal bagi Marx, seperti juga bagi Hegel, kerja bukan hanya kegiatan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ada sebelumnya. Kerja merupakan cara manusia menyatakan dan mengubah kodrat mereka; dalam bertindak untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan yag sudah lama ada, mereka menghasilkan kebutuhan-kebutuhan baru dan jenis-jenis kegiatan manusia yang baru. Kerja adalah sebuah kegiatan yang kreatif dan kreatif-diri. Maka dalam pengertian ini, kerja bukan lagi berada dalam norma-norma rasio instrumental seperti dikatakan Habermas. Marx menekankan bahwa kerja adalah bentuk pengungkapan diri dan pembentukan-diri manusia yang bersifat niscaya. Dalam wawasan makna antropologis dari kerja menjadi kegiatan instrumental bukanlah tanda kemajuan melainkan tanda keterasingan.

Bagi saya, alih-alih menuduh cita-cita Marxis untuk melepaskan diri dari keterasingan kerja dalam sistem kapitalis dan menegaskan keniscayaan sosialisme, Habermas justru adalah orang yang paling utopis dengan cita-cita ˜komunikasi bebas hambatan." Lihatlah utopianya itu: Dalam ˜What is Universal Pragmatics Communication and Evolution of Society ", Habermas mengatakan ˜cita-cita" mulia masyarakat komunikatif ini dengan kata-kata yang indah pula: "Tujuan mencapai pemahaman adalah menghasilkan sebuah persetujuan yang berakhir pada saling pemahaman timbal balik yang bersifat intersubjektif, pengetahuan bersama, kepercayaan timbal balik, dan kesesuaian satu sama lain ".[4]

Posisi Bahasa dan Komunikasi

Saya yakin, komunikasi bebas hambatan tidak pernah terjadi bahkan dalam masyarakat tanpa kelas sebagaimana dicita-citakan kaum Marxis. Terlalu banyak kendala yang ada, sedikitnya adalah kendala psikologis, dan yang paling nyata dan besar adalah kendala kelas (posisi manusia terhadap kepemilikan alat-alat produksi). Perubahan-perubahan ke arah demokrasi yang terjadi sepanjang sejarah tidak terjadi dalam aras komunikasi, tetapi dari kontradiksi yang melahirkan gerakan saling berbenturan dan benturan kuantitaif yang memuncak, maka lahirlah perubahan kualitatif yang mendorong sejarah menjadi maju atau mundur (berubah). Terlalu picik untuk menilai bahwa kelas penguasa (minoritas pemilik aset-aset ekonomi dan alat-alat produksi) akan membagikan akses-akses pemenuhan kebutuhan hidup dengan jalan konsensus.

Tidak ada basis ideologis dan kesadaran dalam masyarakat berkelas untuk membuat minoritas penguasa menyadari bahwa alat-alat produksi dan aset-aset ekonomi politik dalam masyarakat harus dibagi bersama suapa masyarakat tidak kontradiksi. Himbauan moral dan religi adalah kosong. Ketika di jazirah Arab suku Quraisy menguasai alat-alat produksi dengan menindas mayoritas budak dan kelas pekerja, yang menjadi basis bagi "jaman jahiliyah ", bahasa dan himbauan moral-agamis Islam yang disampaikan Muhammad dan melalui kata-kata ayat bukan hanya tidak digubris, dan ditentang, tapi juga bermakna penghancuran kekuatan produktif baru yang secara ideologis berbentuk ajaran agama Islam. Muhammad dikejar-kejar dan harus dilenyapkan dari muka bumi. Islam justru diterima melalui kerja-kerja pengorganisiran massa dan belakangan juga melalui pembentukan tentara untuk memperluas wilayah kekuasaannya.

Sejarah masyarakat di manapun dan kapaunpun juga juga menunjukkan hal yang sama. Tumbangnya suatu rejim bukan melalui konsensus dan ajakan moral (komunikasi), tetapi dari serangan terarah yang melawan keinginan yang berlawanan dari gerakan penumbangan itu. Itu adalah contoh makro-sosial dalam komunikasi. Pada tingkat kecil dalam hubungan sosialpun, komunikasi bebas hambatan tidak pernah terjadi persoalan tak akan pernah terselesaikan tanpa mematerialisasi kontradiksi yang mendasarinya.

Bahasa kadang menjadi suatu kemunafikan.

Komunikasi bisa saja menjernihkan suasana dan memperlihatkan apa yang sedang dipersoalkan; tetapi dalam hal ini, pemahaman timbal balik akan merintangi persetujuan. Kapitalis dan para aparat pengamannya tahu apa yang terjadi dalam sistem yang dijalankan, buruh juga tahu apa yang menimpanya—untuk membuat persetujuan jelas tidak mungkin. Perubahan penghancuran kapitalis ditempuh dengan revolusi proletariat, bukan dengan negosiasi atau kajian intelektual dan seminar-seminar. Dalam titik ini, paksaan senjata mesti mengganti paksaan argumen. Kata karl Marx dalam Contribution to Critique of Hegel Philosophy of Law: "Senjata kritik tentu tak bisa mengganti kritik dengan senjata-senjata."[5]

Kaum Marxis begitu yakin bahwa kemenangan revolusi proletariat akan berhasil dengan senjata-senjatanya, tidak perlu senjata dalam makna fisik sepanjang itu tidak diperlukan, tetapi dengan alat-alat dan strategi taktik revolusioner: organisasi/partai kelas pekerja sebagai vanguard-nya dengan pengorganisiran kerja-kerja yang terpimpin dan berideologi Marxis sebagai panduan teoritiknya. Inilah yang diterapkan Lenin yang berhasil menghancurkan tatanan penindasan di bawah rejim tiran Tsar. Dan itu menjadi contoh bagi kam buruh dalam menunaikan amanat historisnya, tapi sayang akhirnya dikalahkan dengan kecenderungan borjuasi di bawah Stalinisme.

Singkatnya, ada beberapa kelemahan bagi paradigma komunikasi ini jika diterapkan dalam analisa hubungan konkrit dalam masyarakat:[6] Pertama, kedistorsian komunikasi terjadi pada dua aras yang berjalan bersamaan: pertama, relasi produksi masyarakat kapitalis yang diskriminatif dalam akses dan kepemilikan; dan kedua, globalisasi homologi perspektif pemaknaan realitas sosial.

Kedua, konstruksi sebuah masyarakat manusia yang komunikatif harus dikembalikan secara politis kepada konstruksi kepemilikan teknologi yang “accessible” dan melakukan evaluasi atas posisi social menuju simularitas eksistensi dengan proposisi secara massif yang dikelola secara taktis politis. Ketiga, karena rasionalitas instrumental masyarakat kapitalis berorientasi pertumbuhan, kesejahteraan terjadi sebagai akibat serius dari kelangkaan sumber daya dan kekesatan kualifikasi institusional dalam cara produksi. Keempat, meletakkan tindakan komunikatif bebas dominasi pada consensus social bukanlah proyek emansipatoris, karena secara politis akan terperangkap dalam pendekatan elitis, dimana budi baik dan kerendahan hati aparatus Negara dan ideologi dipertahankan secara moral.

Banyak kelemahan lain dari Habermas yang juga masih terhinggapi oleh idealisme dalam pemikirannya. Akan tetapi harus diakui bahwa Habermas memiliki banyak pengikut, antara lain adalah golongan yang sudah disinggung di bagian depan, khususnya orang yang menekankan "konsensus" dan "negosiasi" dalam melihat persoalan. Kalangan ini tidak punya kepentingan untuk menghancurkan tatanan penindasan neo-liberal, tetapi justru memanfaatkan demi kepentingan karier dan proyeknya.

Permainan bahasa menjadi alat bagi kaum intelektual dan sastrawan untuk mendapatkan status karena mereka memang bersandar pada kata-kata, bahasa, dan tulisan atau pembicaraan dalam memperoleh uang. Posisi bahasa dalam masyarakat tergantung pada penggunaan bahasa oleh masyarakat. Ketika media-media yang menyebarkan bahasa dikuasai oleh suatu kekuatan politik, maka bahasa yang dominan di masyarakat juga akan berpihak pada kepentingan kekuatan tersebut.

Jadi perjuangan sosial mencari identitas kebangsaan tidak semata-mata dapat diperjuangkan dengan menegaskan bahasa nasional, tetapi juga harus dilakukan dengan mentransformasikan kekuatan produktif di masyarakat.***


[1] Dikutip dalam Ross Poole, Moralitas dan Modernitas: Di Bawah Bayang-Bayang Nihilisme. Yogyakarta: Kanisius, 1993, hal. 104

[2] Karl Marx dalam "Economic and Philosophical Manuscripts" yang disertakan dalam Erich Fromm, Konsep Manusia Menurut Marx, terjemahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hal. 132

[3] Dikutip dalam Ross Poole, Moralitas…, hal. 108-109

[4] ibid., hal. 104

[5] Dikutip dari Ross Poole, Moralitas…, hal. 245

[6] Francis A. Vicki Djalong, Rasionalitas, Operasi Sistem dan Konflik Sistemik: Sebuah Sketsa Mengenai Realitas Masyarakat Kapitalis. Dalam KIBAR: Paradigma Ilmu-Ilmu Sosial dan Transformasi Sosial, diterbitkan oleh Litbang LPPM Sintesa FISIPOL UGM No. 1, Mei, 19998

Tidak ada komentar: