Rabu, 22 Oktober 2008

Menggagas Kembai Budaya Membaca
(Diambil dari Buletin SADAR)
Cetak E-mail
Eka Pangulimara H*
Wednesday, 22 October 2008 (www.prp-indonesia.com)

baca.jpgMinat baca rendah bukan saja menggejala pada kalangan kurang berpendidikan, kalangan lebih terdidik pun lebih banyak yang malas baca ketimbang berasyik-masyuk dengan buku-buku. Contoh sederhana, mahasiswa universitas negeri sekalipun sedikit sekali yang membaca koran tiap harinya.

Membaca masih merupakan kegiatan yang “dinomersekiankan” dibanding menonton atau mendengar. Tidak aneh, di tengah kemeriahan tontonan populer yang disokong oleh tayangan-tayangan televisi, budaya membaca masyarakat boleh dibilang masih jalan di tempat. Gambaran yang lugas bisa kita ditemui dari rating penjualan buku-buku di toko buku yang tidak seberapa dan sepinya perpustakaan, baik perpustakaan sekolah, kampus maupun milik pemerintah daerah.

Aktivitas membaca sebenarnya bukan terletak pada saat–saat pengerjaan sebuah tugas. Namun, justru di sinilah kerap kita jumpai tradisi yang berkembang di masyarakat kita. Di bangku sekolah dasar misalnya, sebuah buku akan tergenggam seorang murid, jika terdapat PR, atau akan menghadapi ujian/test. Begitupun di bangku perguruan tinggi, buku akan dibaca serius, perpustakaan akan ramai dikunjungi, lagi-lagi karena ada semacam test ataupun penyusunan tugas akhir dan skripsi.

Bagi sebagian besar kaum buruh, membaca agak sering, terlihat apabila sedang mengalami suatu kasus. Keterpakasaan itu mendatangkan keharusan membuka Undang-Undang Perburuhan. Membolak-balik lembaran buku saku, dan terbitan serikat buruh. Mengamati perkembangan kasusnya yang tertulis di koran. Lebih dari itu, banyak pengurus serikat buruh perlu ekstra energi dan bermacam inisiatif mendorong anggotanya agar mampu meningkatkan kemauan membaca.

Dalam pengalaman seseorang semisal sekolah dasar kalau tidak melalui Taman Kanak-Kanak, kita bisa menemukan proses bagaimana manusia mulai belajar mengenal huruf, dan menyebutnya sebagai aktivitas membaca.

Membaca tulisan inipun, terang saja tak bisa lepas dari dialektika –gerak- pengalaman mula-mula, mengenal huruf seperti di atas. Lewat membaca kitapun bisa melalui lompatan-lompatan peristiwa dan, mendapati refleksi pertama kali kita belajar membaca. Asyik bukan?

Membaca tidak melulu berorientasi pada penyelesaian tugas, maupun sebuah hasil. Di kalangan penulis buku, mereka yang lebih memahami teknik menulis, dan piawai dalam penyerapan berbagai bacaan, memeroleh pengalaman tersendiri, hingga mereguk kenikmatan, tak kala, menjelujuri alur cerita dari apa yang ia baca. Sebut saja penulis buku berjudul “Dunia di Balik Jeruji” dan “Orang dan Partai Nazi di Indonesia” (Wilson). Sempat berkomentar panjang di sebuah halaman blogspot (via internet), yang memuat tulisan teman lama (Bung Buds) berjudul “Antara Penguatan Akar Rumput dan Strategi Politiknya di Era Neoliberalisme”. “Dengan tulisannya yang indah dan mengalir lancar,” terang Wilson.

Sejak dini

Faktor-faktor penyebab kesulitan dalam pembelajaran membaca bisa terentang dari persoalan lingkungan keluarga yang tidak kondusif, dominasi budaya non-baca, motivasi membaca yang rendah pada diri seorang anak, termasuk metode pembelajaran dahulu, atau kekinian yang kurang memadai yang diberikan guru.

Jika ditelisik, ternyata rendahnya minat baca bermula semenjak pembelajaran membaca diterima anak-anak sekolah dasar.

Membaca merupakan aktivitas auditif dan visual untuk memperoleh makna dan simbol berupa huruf atau angka. Aktivitas ini meliputi dua proses, yakni decoding – juga dikenal sebagai proses membaca teknis – dan proses pemahaman. Decoding merupakan proses pengubahan simbol-simbol tertulis berupa huruf atau kata menjadi sistem bunyi atau sejenisnya. Pada tingkat inilah seorang anak sekolah dasar menemui kesulitan pertama untuk membaca.

Beberapa penelitian mengklasifikan kesulitan membaca dalam lima hal; Pertama, kesalahan mengidentifikasikan kaitan bunyi-bunyian. Kedua, kebiasaan arah membaca yang salah. Ketiga, kelemahan kemampuan pemahaman. Keempat, ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan jenis bacaan dan kelima, kelemahan dalam hal kecepatan membaca.

Langkah nyata

Ada tiga langkah solusi yang cukup efektif untuk mengatasi beberapa kesulitan tersebut. Pertama, diperlukan kampanye budaya membaca yang intensif dan komprehensif. Untuk menjadikan masyarakat kita memiliki kebudayaan membaca yang kuat. Kampanye ini harus dimulai dari tingkat terendah baik itu di dalam keluarga (entitas terkecil dalam lingkungan masyarakat), dan juga di setiap sekolah dasar. Simaklah layar televisi kita setiap hari, dari segudang iklan, dan tontonan tak bermutu lainnya, nyaris tidak ada suatu tayangan berisi kampanye budaya membaca, barang sesekali dalam sebulan.

Kampanye budaya membaca mesti sampai kepada masyarakat luas, di setiap lapangan pekerjaan dan profesi. Kampanye ini cukup berkorelasi terhadap proyeksi sistem dan anggaran pendidikan negara. Kalau saja sistem dan anggaran pendidikan ini berbasis kerakyatan? Kontrol dan peran masyarakat sebagai penerima hak atas pendidikan yang memadai tentu saja berbarengan dengan pengadaan infrastruktur yang memudahkan masyarakat untuk mengakses beragam bacaan.

Kondisi ini tidak terlepas atas pembiayaan membeli buku. Sehingga pemerintah perlu menjamin keberadaan harga buku yang murah, mulai dari buku pelajaran di sekolah, perguruan tinggi, dan buku-buku pengetahuan umum lainnya. Dibutuhkan suatu gerai penyedia buku di banyak tempat menurut hirarki teritorial pemerintahan, dimana pemerintah berperan menyediakannya, dengan ongkos beli yang tidak mahal!

Yang kedua, taman bacaan berbasis kegiatan. Salah satu aspek penting keberadaan taman bacaan bukanlah sekedar satu ruang berisi buku-buku yang ditumpuk begitu saja. Taman bacaan memerlukan aktivitas tambahan yang menjadi magnet bagi warga sekitar akhirnya merubung tempat tersebut. Dengan bekal tantangan seperti ini, taman bacaan tak seperti gula bagi semut. Perlu ada rekayasa, program-program dan terutama aktivitas riil sehingga mampu mengundang calon pengunjung setia. Lebih menarik lagi jika para pengguna perpustakan akhirnya malah terlibat dalam banyak kegiatan perpustakaan.

Tiadanya aktivitas inilah salah satu hal yang membuat perpustakaan daerah kebanyakan kusam dan berdebu, di samping minimnya koleksi. Padahal, mal sekalipun (yang jauh lebih menarik dalam penampilan dan kesan), selalu pro-aktif menyelenggarakan acara-acara.

Kegiatan-kegiatan seperti apakah yang bisa diaktifkan oleh taman bacaan? Banyak dan sangat bervariasi. Kegiatan tersebut bisa langsung berhubungan dengan buku, contohnya bedah buku, temu pengarang/penulis atau aktivitas kampanye peningkatan minat baca lainnya (misalnya mendatangkan selebritis pecinta buku sesekali). Bahkan, jika memiliki tenaga yang memadai, taman bacaan juga dapat menerbitkan buku-buku atau buletin reguler. Tujuannya untuk mewadahi kreativitas pembaca, info buku-buku baru dan menularkan gemar baca ke semakin banyak orang.

Namun aktivitas taman bacaan juga bisa tak berkaitan langsung dengan buku. Kegiatan lain dapat saja diselenggarakan, misalnya mengadakan lomba-lomba untuk anak-anak (melukis, mewarnai atau menulis), teater, baca puisi/cerpen, tari-tarian bahkan pertunjukan musik sederhana. Oleh karena itu, sangat penting bagi pengelola taman bacaan berjejaring dengan pihak-pihak lain. Di Solo pengelolaan ini dilakukan oleh salah seorang sastrawan dari kota Bengawan Joko Sumantri, dengan Rumah Sastra-nya. Malahan di Wonosobo, mantan TKW Maria Bo Niok, selain kini berpredikat sebagai novelis, ia juga aktif mengelola “Istana Rumbia” sebuah nama dari taman bacaan yang ia miliki.

Langkah nyata terakhir yang bisa diambil sebagai pilihan adalah dengan model tutor sebaya. Tutor sebagai istilah teknis secara umum diartikan sebagai suatu proses yang melibatkan seseorang untuk memberikan bimbingan dan bantuan belajar kepada orang lain. Seseorang sebagai teman sebaya yang bisa diajak sekaligus berdiskusi mengenai isi bacaan, dan manfaat pengalaman membaca tidak sekedar menghafal, akan tetapi menjadi suatu proses mengkaji.

Teringat pengalaman subyektif penulis beberapa waktu yang lampau dalam memahami indahnya budaya membaca, di tengah kesepian, keheningan, dan kesendirian, seorang teman lama, pernah berujar, “Jadikanlah setiap buku yang kau baca, sebagai kapak yang akan memecah lautan beku di dalam hatimu.”

*Penulis adalah Pengurus Pusat Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) dan anggota PRP Komite Kota Jakarta Raya

Tidak ada komentar: