Minggu, 26 Oktober 2008

Kembali ke UUD 1945

Dian Purba

Sudah 63 tahun bangsa kita merdeka. Sesuatu yang janggal dan keterlaluan bila kita masih asyik dengan pertanyaan: apakah kita sudah merdeka dalam arti sebenarnya?

Kita bangga sebagai anak bangsa karena kita berhasil membuat penjajah lari pontang-panting dari negeri yang teramat kaya ini. Kita bangga sebagai anak bangsa karena memiliki tokoh sekaliber Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan yang lain. Kita bangga sebagai anak bangsa karena pernah berdaulat di bidang ekonomi. Semua kekayaan alam bangsa ini dikuasai sepenuhnya oleh anak bangsa. Nasionalisasi, kata yang sangat ditakuti kolonial (sekarang bertukar nama kapitalis) sebagai ajang pembuktian dari negeri ini bahwa negeri ini adalah milik kita. Sayang seribu kali sayang, itu semua tinggal kata-kata yang tertulis di buku-buku sejarah.

Undang-undang Penanaman Modal Asing disahkan setelah Orde Lama digantikan Orde Baru. Kelompok sakit hati yang tadinya “hartanya” diambil alih oleh negara, berbondong-bondong datang kembali. Berkedok pemerataan pembangunan, stabilitas politik, dan pertumbuhan ekonomi, bangsa ini digerogoti kembali. Sari pati bumi khatulisitiwa ini dikerok dan hasilnya dibawa ke negeri mereka. Tuntutan mereka macam-macam: mengurangi campur tangan pemerintah di bidang pasar, mencabut subsidi untuk rakyat, deregulasi yang menjamin keamanan berinvestasi. Mereka selalu yakin dengan istilah-istilah mereka: inverstasi asing, bisa membuat penghuni negeri ini lebih sejahtera. Dan belakangan kita semua tahu: itu semua bohong.

Rakyat tidak pernah lebih sejahtera. Rakyat tidak semakin sehat jasmani dan rohani. Pengangguran masih masalah yang teramat sulit diatasi. Kecerdasan anak-anak bangsa jauh di bawah kecerdasan bangsa lain yang, bahkan, baru saja merdeka. Ironis.

Ichsanuddin Noorsy menyebutkan ada lima indikator suatu perekonomian disebuat terjajah. Pertama, kepemilikan sumber daya, produksi dan distribusi. Kedua, bagaimana suatu bangsa memenuhi sektor pangan, energi, keuangan, dan infrastruktur. Ketiga, pasar domestik untuk kebutuhan primer dan sekunder dipasok siapa dan siapa yang mendominasi. Keempat, apakah suatu pemerintahan mempunyai kemerdekaan dan kebebasan mengambil kebijakan ekonomi dan terlepas dari pengaruh penguasa ekonomi dunia. Kelima, bagaimana sumber-sumber pendanaan APBN, dan apakah APBN memberikan hak-hak ekonomi sosial budaya.

Kenyataan di lapangan kita menjumpai bahwa semua indikator yang disebutkan di atas memenuhi syarat untuk sebuah negara disebut ekonominya terjajah. Inilah kenyataannya. Tak patut kita meratapinya. Kita membutuhkan pemimpin yang berkomitmen menjalankan UUD 1945. Karena menurut Hatta, “lebih baik kami melihat Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada melihatnya sebagai embel-embel abadi daripada suatu negara asing.”

1 komentar:

dkamp mengatakan...

makasih atas informasinya