Rabu, 04 Juni 2008

MENGUKUR TINGKAT KESADARAN MASYARAKAT MISKIN DAN TERTINDAS
Hermawan *

(Disadur dari Buletin SADAR)


Ketika saya melewati sebuah pabrik garmen di wilayah industri Majalaya-Kabupaten Bandung dan istirahat sejena! k di depan gerbang, secara langsung dalam pandangan pertama pabrik itu kelihatan diam dan sepi hanya terlihat beberapa satpam dan mobil satu dua keluar masuk. Tetapi begitu jam Istirahat tiba ribuan manusia berebut keluar dari gerbang dengan bergegas, ternyata pandangan pertama yang kelihatan adalah salah. Di dalam pabrik yang diam dan kelihatan sepi ternyata banyak sekali manusia yang sibuk beraktivitas.


Kebetulan di tempat saya beristirahat banyak juga buruh yang mengisi istirahat kerja dengan duduk-duduk santai. Saya mulai bertanya kepada salah satu dari mereka yang kalau tidak salah dengar namanya Jakub, “Pak, jumlah yang bekerja di dalam pabrik berapa?“ Jakub langsung menjawab, “Ya ada sekitar empat ri! buan mah.“ Saya bertanya lagi, “Berarti banyak sekali ya, Pak?“ Sebelum dijawab saya sempat menebak dalam hati Jakub pasti menjawab begini, “Ya, memang banyak.” Tetapi ternyata jawaban yang sudah saya duga tersebut salah dan jawaban yang keluar sangat mencengangkan, “Katingalina we loba tapi aslina mah sepi asa dileuweung euweh sasaha euweuh batur“ (kelihatannya banyak tetapi sebenarnya sepi kayak di hutan gak ada siapa-siapa, gak ada teman).


Saya terdiam, kemudian mulai bertanya lagi, “Maksudnya apa, Pak?“ Jakub menjelaskan, “Kerja di dalam kan banyak orang tetapi begitu saya ada masalah dengan atasan yang kasar dan membayar upah kami murah ternyata yang lain gak ada yang tau ! atau pura-pura gak tau. Jadi ya sendirian aja rasanya di tempat yang banyak orang.“ Sangat disayangkan saat itu waktu berjalan cepat sementara Jakub beserta kawan-kawanya cuma mendapat setengah jam untuk istirahat. Mereka meninggalkan saya dalam ketercengangan atau malah kebingungan.

Bagaimana Kondisi Sebenarnya Masyarakat Miskin?

Sampai di rumah kontrakan, saya mulai teringat dengan ucapan salah satu kawan dari Gunung Halu-kabupaten Bandung Barat. Dia pernah bilang, “Jangan hanya melihat yang kelihatan karena banyak sekali yang tidak kelihatan di sekeliling yang kelihatan.” Kawan tersebut sudah lama mengatakan itu dan sepertinya saya tidak pernah mau menanggapi karena saya pikir itu adalah kebiasaan mistis dan takhayul yang memang sangat dikenal di daerah Gunung Halu.

Sungguh menyesal rasanya karena waktu itu saya langsung menghakimi perkataan tersebut.
Obrolan yang terjadi antara saya dengan jakub siang itu memang hanya sebatas lingkup pabrik tetapi semua itu bisa juga menggambarkan kehidupan masyarakat secara umum. Kita dengar ketika ada seorang bayi yang mati karena kelaparan, saat itu mungkin si ibu bayi dan bayinya merasakan kesunyian dan kesendirian di tengah banyaknya orang. Kita dengar beberapa pedagang kecil yang menangis dan meratapi gerobaknya yang dirusak saat itu. Dia merasa sendirian dan sunyi di tengah banyaknya orang atau ketika petani penggarap yang terusir dari tanahnya karena penggusuran tidak bisa berbuat apapun karena merasa sendiri.


Pertanyaanya, siapa yang membuat bayi-bayi kelaparan, siapa yang membuat gerobak-gerobak rusak dan tanah-tanah digusur? Akan sama jawabannya dengan di pabrik tempat Jakub bekerja, ada masalah upah murah, jam kerja panjang dan hilangnya kesejahteraan. Pasti ada kekuatan yang membuat itu dan tidak mungkin itu terjadi begitu saja. Jika siang itu Jakub menjelaskan yang menjadi sumber masalah adalah pemilik yang serakah, tentu pula yang membuat kesengsaraan di masyarakat adalah orang-orang serakah yang merasa memiliki negeri ini sehingga dengan seenak sendiri menggusur tanah rakyat, merusak gerobak para pedagang kecil serta menaikkan harga BBM.

Ketika Sesama Orang Miskin Bertengkar, Siapa yang Salah?


Lalu ke mana korban-korban yang lain? Kenapa mereka tidak saling peduli dan kenapa pula mereka malah berantem sendiri memperebutkan minyak murah, beras murah dan saling bacok ketika rebutan BLT, siapa yang salah? Kalau kita tanyakan pada polisi, pastilah yang bacok-bacokan yang salah, yang rebutan yang salah, karena menggang gu ketertiban umum. Sepintas melihat itu adalah jawaban yang benar, tetapi yang tidak kelihatan di situ adalah apa dan siapa yang membuat mereka berebut dan saling bacok itulah sumber masalah.


Jujur, saya tidak akan pernah menyalahkan orang-orang miskin, yang berebut dan bacok-bacokan karena ingin bertahan hidup. Salah satu kawan lagi dari Jakarta pernah bilang bahwa orang miskin masih rendah kesadarannya. Pendapat yang sering terdengar dan lazim tapi sebenarnya sangat salah karena hari ini masyarakat benar-benar sadar telah tert! indas buktinya adalah banyak pemuda-pemuda lulus sekolah mengantri di pabrik karena sadar tidak ada tempat untuk mendapatkan makan lagi di negeri ini sehingga dengan keterpaksaan mereka masuk pabrik meski tahu akan dibayar murah. Kemudian buruh-buruh yang sudah bekerja ingin keluar dari pabrik karena sadar ada penindasan di dalam pabrik.


Masyarakat miskin lainnya sadar bahwa susah mendapat tempat dan makan. Mereka tidak mau lagi masuk pabrik karena semakin mahal biaya dan tetap sama penindasannya, sehingga dengan kesadarannya telah ditindas. Tetapi mereka merasa tidak ada teman dan sepi, maka banyak yang memutuskan untuk pindah dari kehidupan di dunia (bunuh diri). Bagi saya itu adalah dasar kesadaran yang telah dimiliki oleh masyarakat miskin. Masalahnya kesadaran tersebut tidak ter! akomodir dan cenderung dibawa ke arah yang kontra produktif ar! tinya sa dar telah ditindas tetapi tidak mau melawan dari ketertindasan dan memilih lari.


Kelihatan sangat jelas solusi yang mereka pilih adalah suatu kesalahan tetapi yang tidak kelihatan di kasus ini adalah kenapa mereka memilih solusi itu? Saya mencoba mengerti bagaimana cara mereka mencari solusi yang tepat saat tingkat pendidikannya rendah bahkan ada yang sama sekali tidak sekolah. Bagaimana mereka bisa berpikir mencari solusi saat mereka semakin terpinggirkan dan kelaparan yang semakin tidak bisa ditahan.

Keberpihakan kepada Rakyat Miskin

Tetapi jika kita kembali melihat yang kelihatan bahwa sebenarnya tidak semua orang di Indonesia miskin dan tidak berpendidikan, tengoklah di kampus-kampus banyak mahasiswa, tetapi ke mana mereka? Untuk apa mereka sekolah, tentu itulah yang tidak kelihatan dan hanya mereka yang tahu. Maksudnya, hari ini memang banyak kaum intelek yang tetap punya pilihan untuk bersama rakyat miskin melawan penindasan. Tetapi berapa jumlah mereka dan sampai kapan mereka-mereka ini bersama rakyat miskin? Sampai tamat kuliah atau sampai mendapatkan tempat yang nyaman? Saya tidak akan pernah mau mendengar jawaban dari pertanyaan itu meskipun saya sendiri yang melontarkan pertanyaan itu karena konsistensi dalam perjuangan tidak cukup hanya diucapkan. Wassalam.

“Siapa yang tergetar hatinya melihat penindasan, maka kau adalah ! kawanku& rdquo"
(Ernesto “Che” Guevara)


* Penulis adalah anggota Aliansi Buruh Menggugat-Bandung, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung

HARI GINI, MASIH PERCAYA JANJI POLITIK ARTIS KE RAKYAT?
Fitri *
(Disadur dari Buletin SADAR)

“..hari gini kalau tidak punya uang jangan berkecimpung di dunia politik..” (ucapan wakil bupati Tangerang, Rano Karno di tayangan SILET RCTI 21 Mei 2008)

Di tayangan infotainment itu diperlihatkan pula bagaimana hegemoni yang menciptakan pencitraan di kesadaran orang banyak bahwa hanya yang banyak uang lah yang bisa melenggang di percaturan politik Indonesia. Baru-baru ini pula kita lihat di tayangan televisi beberapa artis akan mengikuti jejak Rano Karno dan Dede Yusuf yang melenggang menjadi bagian dari antek kapitalis. Keberhasilan 2 aktor film ini dalam memenangkan kursi pemerintahan, menunjukan bahwa sebenarnya kepercayaan rakyat terhadap kandidat yang berasal dari kalangan birokrat dan militer semakin memudar dan cenderung untuk memilih kandidat yang sama sekali belum masuk ajang pemilihan pemimpin daerah, seperti yang terjadi di Jawa Barat.

Tak akan lama lagi Saipul Jamil (si penyanyi dangdut), Ikang Fauzi (seorang rocker dan pengusaha), Wanda Hamidah segera menyusul. Hanya bermodalkan ketenaran dan punya uang saja mereka, karena untuk pencalonan saja -hanya sekedar mengambil formulir dibutuhk an biaya sebesar 15 juta- begitu penuturan seorang artis yang akan mencalonkan menjadi walikota Serang.

Pertanyaannya adalah mengapa partai politik yang ada sekarang menggunakan para artis untuk menjadi wakil-wakil rakyat di parlemen ataupun menajadi pemimpin rakyat di daerah? Masyarakat harus tahu bahwa cara “jualan artis” tersebut adalah bagian dari strategi partai borjuis. Kemunculan artis sebagai calon dalam berbagai pilkada tidak akan mensejahterakan rakyat, karena mereka berasal dari lingkungan yang borjuis, glamour, dan bukan berasal dari rakyat pekerja yang menderita tapi sebenarnya menopang perekonomian Negara.

Rakyat diajak untuk melupakan masalah yang menimpa diri mereka karena disajikan seorang pemimpin yang berasal dari kalangan entertainer. Padahal permasalahan yang terjadi tidak akan pernah selesai walaupun berganti pemim! pin tetapi masih berada di ranah sistem kekuasaan modal (kekuasannya kaum borjuis) yang selama ini membelenggu rakyat.

Media infotainment menyihir pikiran rakyat pekerja yang menontonnya (karena gak ada kerjaan dan semua TV melakukan hal yang sama) dan menjadi raung propaganda kapitalis, yang menyatakan bahwa uang adalah segala-galanya. Pilkada dan menjelang pemilu 2009 lagi-lagi rakyat harus ditipu agar tidak bangkit merebut kekuasaan. Maraknya artis yang menjadi politisi adalah taktik yang sedang diuji keefektifannya, tetapi sudah pasti tidak akan membawa perubahan bagi kehidupan rakyat Indonesia. Sudah bukan saatnya rakyat menitipkan agendanya ke tangan-tangan elit politik borjuasi, ke tangan-tangan artis yang hanya bermodalkan ketenaran untuk merebut simpatik masyarakat.

Pe nderitaan rakyat hanya dijadikan untuk berkampanye elit politik borjuis. Penderitaan rakyat hanya dijadikan rayuan gombal untuk meraih kekuasaan negara, tapi ketika memerintah justru untuk menindas rakyat. Apakah para artis akan menolong rakyat melalui partai-partai borjuis? Jawabannya jelas, semua itu bualan saja dan sudah sering didengar oleh rakyat. Dalam status sosial kemasyarakatan posisi artis hari ini adalah sebagai kaki tangan kapitalis untuk mencekoki rakyat dengan berbagai tayangan di media, baik melalui iklan, sinetron, dan berbagai sandiwara lainnya yang membuat rakyat semakin hanyut dalam khayalanya untuk pemenuhan ekonomi yang nyatanya kian hari semakin mahal.

Yang Tidak Dibicarakan Para ArtisPara artis yang bermain di Pilkada sesuai pesanan para penguasa modal tidak akan pernah bicara caranya melepaskan belenggu rakyat dari kemiskinan dan penghisapan. Artis bicara hal-hal lain yang mengalihkan perdebatan soal mengapa kehidupan rakyat diisi dengan berbagai kebijakan yang terus menghisap darah rakyat. Ketidakpastian kerja, upah murah, sistem kerja kontak dan outsourcing adalah bentuk dari penindasan kaum kapitalis. Sekarang lihat, apakah Rano Karno bicara bagaimana menghapus itu semua di Kabupaten Tangerang?

Dengan masuknya para artis menjadi elit-elit politik dan kaki tangan kapitalis jelas tidak akan menyelesaikan masalah. Rakyat bukan butuh hiburan semu yang akan memanjakan nasib rakyat tapi sekaligus dijadikan taruhan dalam perjudian kapitalisme. Nasib rakyat bukan untuk spekulasi gerak modal yang diakumulasikan oleh pemilik modal. Agar rakyat tidak digadaikan, tidak jadi taruhan, maka rakyat pekerjalah yang harus berkuasa. Rakyat pekerja lah yang harus memimpin dan merubah! segala kebijakan yang anti rakyat yang selama ini menjadi keb! ijakan p emerintah yang bertekuk lutut di bawah ketiak kaum pemilik modal dan tidak bisa membawa rakyat ke taraf hidup yang layak. Jangan biarkan perlawanan rakyat hari ini dimanfaatkan oleh segilintir orang yang ingin menjadi pahlawan kesiangan di tengah-tengah massa rakyat yang sedang mulai membangun kekuatan.

Ayo bersatu lawan penjajahan bentuk baru, penjajahan kaum modal!

* Penulis adalah anggota Federasi Serikat Pekerja Karawang (FSPEK), sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek