Senin, 10 November 2008

Mandeknya Ilmu Sosial di Indonesia

Coen Husain Pontoh

http://coenpontoh.wordpress.com/

DALAM beberapa kesempatan, saya sering bercakap-cakap dengan rekan saya Philip J. Vermonte, yang kini tengah studi doktoral di universitas Northern Illinois, Chicago. Namanya ngobrol, ada-ada aja yang diomongin. Satu dari sekian percakapan yang saya ingat, adalah kegundahan kami bersama soal mandegnya perkembangan ilmu sosial di Indonesia.

Ambil contoh terakhir, menyangkut krisis ekonomi di Amerika. Sejauh bacaan saya, dari media massa dan juga perbincangan di internet, tidak ada satu analisa yang mendalam dan komprehensif dari para akademisi di Indonesia, menyangkut sebab-musabab terjadinya krisis ini. Yang ada adalah artikel dalam bentuk kolom, dengan mengutip satu dua pendapat dari pakar, atau – lebih buruk lagi – pendapat sambil lalu yang cenderung cari gampang.

Pendapat paling populer, dari para akademisi itu menyangkut krisis ekonomi Amerika, bahwa hal itu disebabkan oleh perilaku tamak dan rakus dari sebagian kapitalis. “Krisis ini menjadi pelajaran bagi tingkah buruk tersebut, dan biarkan saja krisis ini melibas kapitalis-kapitalis tamak dan rakus tersebut.” Pendapat seperti ini, yang keluar dari mulut mereka yang mengaku intelektual, yang bergelar master atau doktor, tentu saja menggelikan dan patut disayangkan. Kenapa untuk sampai pada kesimpulan seperti itu, harus bersekolah jauh-jauh dengan biaya yang tidak murah?

Ok, kembali ke topik. Apa ukuran ilmu sosial di Indonesia tidak berkembang? Saya bilang pada Philip. ”tidak fair membandingkan perkembangan ilmu sosial di Amerika dengan di Indonesia.” Situasi dan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan tradisi akademiknya bagai bumi dan langit. Saya kira, Philip setuju dengan saya. Tapi, saya mengatakan lebih lanjut padanya, “kenapa India dan juga Amerika Latin, perkembangan ilmu sosialnya begitu dahsyat?” Bukankah, kedua kawasan itu sama-sama miskin, penuh konflik dan juga terbelakang seperti Indonesia? Tapi, keduanya sanggup memunculkan teori-teori sosial yang mampu bahkan, seringkali mengkanvaskan teori ilmu sosial di Barat. India, misalnya, muncul dengan teori post-kolonialnya dan Amerika Latin dengan teori Ketergantungannya.

Saya lalu coba-coba mendaftar beberapa soal yang menyebabkan mandegnya ilmu sosial di Indonesia. Pertama, kemandegan itu harus dilacak sejak Orde Baru berkuasa. Hal itu ditandai oleh dilarangnya Marxisme sebagai mata ajaran di seluruh jenjang pendidikan. Ini sangat penting karena, anda tidak bisa belajar teori dengan benar dalam suasana akademik yang tidak demokratis. Misalnya, ketika pengajar mengatakan, Marxisme itu berbahaya, teori kelas itu tidak sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia, para murid tidak bisa bertanya “kenapa berbahaya dan kenapa tidak sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia?” Sekali murid bertanya, maka pengajar langsung curiga, “jangan-jangan si murid ini dari keluarga atau ada hubungan keluarga dengan orang-orang PKI.” Gila kan?

Katakanlah, si pengajar orang yang bijaksana dan terbuka pada pertanyaan seperti itu. Dan ia mau mendiskusikannya di ruang kelas, apa yang terjadi? Si pengajar dipanggil oleh atasannya, di cek “kebersihan dirinya,” lalu di wanti-wanti. Gila juga kan?

Celakanya, larangan itu masih berlaku hingga kini, masa dimana orang berbusa-busa bicara demokrasi dan keterbukaan. Dan kita dapati, para intelektual yang menghujat Marxisme dan teori kelas, tanpa memperjuangkan secara sungguh-sungguh demokratisasi dunia pendidikan. Dan sangat lucu, bagaimana mereka bisa menghujat Marxisme dan teori kelas, tanpa sungguh-sungguh memahami apa itu Marxisme dan teori kelas, mendiskusikannya secara terbuka dan egaliter? Lantas, darimana mereka belajar Marxisme? Sembunyi-sembunyi di malam gelap? Pantas, jika ada joke, “salah satu tanda seorang intelektual, adalah dia berkacamata.” Hah?

Selain itu, pelarangan mata ajaran Marxisme membuat para intelektual dan calon intlelektual di Indonesia, terputus dari akar tradisi akademik yang sangat besar dan sangat dalam di dunia ini. Bagaimana anda bisa memahami teori Weberian, Parsonian, Schumpeterian, Keynesian, Dahlian atau bahkan Hayekian, tanpa memahami Marxian? Bagaimana anda bisa memahami, pandangan dunianya Ali Syari’ati, Murtadha Mutahhari atau Sayyid Qutb, tanpa memahami pandangan dunianya ilmuwan sekuler? Perkembangan ilmu itu berlangsung secara dialektik, yang satu tidak mungkin berkembang tanpa yang lain, ia adalah hasil pergumulan tanpa henti, saling serang, saling kritik, yang satu mengafirmasi atau bahkan menegasi yang lain. Ilmu pengetahuan tak bisa berkembang atas nama yang suci, atau atas nama doktrin-doktrin yang turun dari langit.

Penyebab kedua mandegnya ilmu sosial di Indonesia, adalah tidak adanya penghargaan yang komprehensif terhadap para intelektual. Coba dengar kata alm. Soedjono, mantan orang kuat jaman Soeharto, “Intelektual nggak patut didengar, tidak ada unsur ketuhanannya,” (Tempo, 4-10/2/2008). Akibat turunannya, yang berlanjut hingga kini, tidak ada fasilitas perpustakaan yang lengkap, tidak ada mekanisme yang terukur dan teruji menyangkut peningkatan kualitas tenaga pengajar, tidak ada jurnal yang berbobot, tidak ada dukungan bagi penerbitan karya-karya akademik bermutu, serta tidak ada jaminan rasa aman bagi intelelektual dalam kerja-kerja akademiknya.

Kita tentu masih ingat kasus yang menimpa Arief Budiman cs dari universitas Satya Wacana, Salatiga, yang dipersona non gratakan, hanya karena mereka bersuara beda dengan kepentingan kekuasaan. Kasus paling anyar, tentu saja perlakuan keji terhadap almarhum Munir, yang dihabisi akibat kritik-kritiknya yang tajam. Dan hingga kini, kita masih saja mendengar, para intelektual yang bicara kritis, bisa segera di cap provokator, atau merusak suasana nyaman yang sangat dibutuhkan saat ini.

Ketiga, dua keadaan di atas telah membentuk budaya intelektual yang kering kerontang dan mentalitas cari aman serta penempuh jalan pintas. Kita tentu ingat dengan ungkapan ini, “karya terbesar intelektual di Indonesia, adalah disertasi doktoralnya.” Setelah itu, tak ada lagi, dan dalam waktu singkat mereka berbondong-bondong menjadi komentator atau menjadi manajer.

Kita akan dengan mudah menemukan mereka lewat artikel-artikel yang bertaburan di media massa. Bahkan, ada yang secara spektakuler sanggup menulis lebih dari dua artikel berbeda dalam sehari di media yang berbeda. Kita juga akan mudah melihat wajah mereka di layar kaca, menjadi pembicara atau host. Kalau kita ikuti perdebatan mereka di layar kaca, kita akan segera tahu betapa pandainya mereka bermain kata-kata.

Profesi lain dari para intelektual ini adalah menjadi manajer kampanye politik dari kandidat yang mereka dukung atau yang membayarnya. Jika kandidat yang mereka dukung menang, mereka ikut dalam kereta kencana kekuasaan, menjadi juru bicara atau tukang bisik penguasa. Kita jadi bingung, mereka omong sebagai intelektual yang harus menimbang secara cermat setiap kata yang diucapkan dan ditulisnya, atau mereka menjadi tukang pembenar segala langkah yang ditempuh patronnya. Hari ini omong A, besok omong B.

Kondisi ini dengan telak mematahkan asumsi yang luas diyakini selama ini, bahwa kesulitan terbesar dari tidak lahirnya karya-karya bermutu dari intelektual di Indonesia, karena rendahnya imbalan material buat mereka. Boleh jadi benar bahwa gaji para intelektual itu sangat rendah dibandingkan dengan rekannya di Amerika, misalnya. Tapi, kita tahu persis, kini sebagian dari para intelektual itu menikmati pendapatan yang sangat besar, bahkan ada yang telah menjadi kaya-raya. Hampir semua dari intelektual yang bergelar doktor itu punya proyek, apakah dalam bentuk LSM atau lembaga think-tank. Tapi, apakah kemudian mereka menghasilkan karya bermutu?

Justru karya bermutu, lahir dari intelektual asketis macam Sartono Kartodirdjo.***

1 komentar:

Yusriadi mengatakan...

Salam. Setuju banget dahhh...
Saya jadi ingat tiga hal. Pertama, banyak intelektual kita yang sebenarnya made in Barat juga ... tapi kok gak nyangkok sama profesor mereka itu yach ...
Kedua, C Geerzt, Fox, penelitiannya di Indonesia lho... Mereka ilmuan besar dunia ...
Ketiga, saya jadi kebayang, apakah untuk memahami AlQuran perlu menguasai injil dahulu?