Kamis, 11 Desember 2008

BUKAN ANAK KORBAN KAPITALIS

Oleh Nurani Soyomukti,
penulis buku Manusia Tanpa Batas (Desember, 2008).

Tidak ada celah sedikitpun bagi anak-anak untuk berbeda dalam hal preferensi (kesukaan), obsesi, keinginan, tingkahlaku, selain model kapitalis yang melemahkan, menumpulkan, dan menebalkan iman imitatif anak-anak itu?

Tentu saja ada. Saya juga menjumpai anak-anak seperti itu. Kawan saya punya seorang adhik yang masih berumur 7 tahun yang selera musiknya berbeda.

Namanya Ikram, bukan nama palsu atau kisah yang saya karang seperti non-fiksi. Kesukaan Ikram pada musik metal datang dari kakanya, teman saya. Anak kelas 3 SD Al Furqon di Jember ini mengaku tidak suka dengan musik-musik pop. Dia malah keranjingan mendengarkan lagu dari band-band metal seperti Devildriver, Dragonfor, Halloween, Yngwi Malmsteen, dan Disturbed. Ternya anaknya sangat jenius: nilai raport-nya semua sembilan, dan anaknya sangat kritis. Setiap teman-teman kakaknya datang ke rumahnya, dia banyak bertanya seperti orang dewasa. Pikirannya demokratis, tak takut mencecar pertanyaan pada orang-orang baru karena otaknya tidak cengeng dan jiwanya tidak takut.

Tanpa meniru musik-musik cengeng dan dipenuhi pujaan-pujaan sok romatis dan mendayu-dayu, ternyata anak-anak punya harga diri dan punya sikap yang kuat. Karena ia tak hanya mengikuti selera umum, tetapi punya pilihan alternatif dalam masalah selera. Tentu penjelasan-penjelasan kenapa ia bisa memilih selera itu, harus dijelaskan dan karenanya dengan mendapatkan penjelasan yang masuk akal anak akan menguatkan keyakinannya pada apa yang dipilihnya. Coba kita bayangkan bagaimana jika anak yang bertanya “Itu musik apa itu, Ma? lalu muncul jawaban yang cukup abstrak: pokoknya musik ini keren?

Akan beda misalnya jika terjadi tanya jawab atau dialog yang masuk akal seperti ini, ketika kita mempedengarkan pertama kali musik metal:
“Ini musik apa, Kak? Ini namanya musik metal. Tuh lihat suaranya, teriakannya kuat. Itu namanya screaming. Tuh rambutnya gondrong, penampilannya gagah dan percaya diri. Nggak kayak Kangen Band yang ngliatin mukanya malu dan wajahnya selalu ditutupi rambutnya kan?... Coba, apa ada band Indonesia yang kayak gitu, Pasha vokalisnya Ungu saja pernah sakit tenggorokan hanya karena nyanyi lagu-lagu melo dan lembek. Coba kalau mereka disuruh screaming kayak gitu, pasti tenggorokannya putus. Lagian yang ini lirik-liriknya menggugat. Kalau Ungu, ST12, Kangen Band, lirik-liriknya kan mengiba-ngiba, meminta cinta kayak pengemis. Kamu gak mau kan jadi pengemis? Nah, makanya kalau milih musik tuh kayak gini ni, adhik! Hebat kan?

Dengan penjelasan yang meyakinkan seperti itu, tentu anak-anak akan merasa nyaman dan yakin bahwa dia bisa berbeda dengan yang lain, anak-anak lainnya. Ketika kita bekali mereka dengan penjelasan, maka mereka akan percaya diri ketika berhadapan dengan teman-teman sepermainannya yang punya pilihan musik berbeda. Kepercayaan diri menghasilkan tingkat harga diri pada anak.

Berdasarkan penelitian, individu-individu yang punya harga diri tinggi memiliki sifat-sifat mandiri, kreatif, yakin pada penilaian serta gagasan-gagasan sendiri, berani, berdikari secara sosial (berani menentukan sesuatu sendiri), memiliki kestabilan psikologis, tidak cemas dan lebih berorientasi pada keberhasilan. Orang-orang yang memiliki harga diri tinggi biasanya akan memiliki tingkat kebahagiaan dan lebih efektif dalam kehidupan sehari-hari mereka dibanding yang memiliki harga diri rendah. Orang-orang yang harga dirinya rendah kurang percaya pada diri mereka sendiri dan lebih segan-segan menyatakan diri mereka dalam suatu kelompok, khususnya jika mereka memiliki gagasan-gagasan baru atau ide-ide kreatif. Mereka lebih banyak mendengar dan ikut-ikutan daripada berpartisipasi, mereka sangat peka dan sibuk dengan urusan dan sibuk dengan pikiran dan perasaan mereka sendiri. Mereka kurang berhasil dalam menjalin hubungan-hubungan antarpribadi dan seringkali kurang aktif dalam masalah-masalah kemasyarakatan, soal-soal-soal pemerintahan, maupun soal-soal politik.

Para psikolog umunya menemukan bahwa mereka yang sering datang untuk mencari bantuan psikologis seringkali mengaku bahwa mereka kebanyakan diliputi perasaan tidak mampu dan merasa tidak berharga. Orang-orang itu memandang mereka tidak berdaya dan inferior, tak mampu memperbaiki keadaan-keadaan mereka dan kurang memiliki kekuatan batin untuk menghadapi ataupun mengurangi kecemasan yang mudah sekali ditimbulkan oleh berbagai kejadian serta tekanan sehari-hari. Bahkan menurut pada psikolog klinik, orang-orang yang diliputi keraguan akan harga diri mereka biasanya sukar memberi maupun menerima cinta, seolah-olah takut bahwa keterbukaan yang akan lahir dari keakraban akan membongkar kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan mereka, dan mengakibatkan mereka itu ditolak oleh orang lain. Dengan demikian mereka menghindari keakraban dalam berhubungan dengan orang lain dan sebagai akibatnya mereka merasa terkucil.[1]

Anak-anak yang memiliki harga diri tentu juga lahir dari orangtua yang memiliki harga diri. Para orangtua dari anak-anak yang memiliki harga diri tinggi umumnya lebih mencintai dan memperhatikan anak-anak mereka, tetapi juga kadang lebih keras dan lebih jeli dalam menerapkan norma-norma bertingkah laku. Para orangtua sejenis ini juga menuntut prestasi akademik yang tinggi dari anak-anak mereka.

Para orang-orangtua anak-anak yang memiliki harga diri rendah tidak banyak menetapkan aturan dan menetapkan aturan-aturan yang kurang jelas dan cara mereka mengendalikan anak-anak cenderung kasar atau autokratis. Sebuah laporan penelitian psikologi anak melukiskan bagaimana orangtua yang kurang berhasil dengan gambaran sebagai berikut: Tindakan-tindakan khas para orangtua yang bersikap menolak sama sekali bertolak belakang dengan kehangatan serta penerimaan yang ditunjukkan oleh para orangtua yang memiliki sikap menerima secara wajar. Para orangtua itu bersikap memusuhi, dingin dan kurang mengakui anak mereka, memandang anak sebagai objek yang mengganggu, tidak berharga atau bahkan negatif. Mereka menunjukkan penolakan mereka dengan cara menelantarkan anak dan bersikap acuh-tak acuh terhadap permintaan, kebutuhan-kebutuhan, maupun aspirasi-aspirasi anak. Anak sama sekali tidak dihargai dan diperlakukan sebagai beban yang harus singkirkan;
anak dipandang sebagai penderitaan serta tanggungjawab hukum semata-mata, bukan sebagai tumpahan kepercayaan yang dihargai dan didambakan. Bentuk penolakan yang lebih berat berupa bentuk manifestasi kebencian yang keras dan terbuka, seperti pernyataan-pernyataan rasa tidak senang secara terang-terangan, pemberian hukuman yang kasar dan tidak berdasar serta penelantaran aneka keperluan fisik dan perhatian sosial. Baik bentuk-bentuk penolakan pasif maupun aktif mengungkapkan tidak adanya perhatian, pengakuan serta rasa tidak suka terhadap anak.

Acuh terhadap anak merupakan pengingkaran terhadap keberadaan diri orangtua sendiri. Karena anak adalah bagian dari mereka, keberadaannya karena mereka. Sayangnya sekarang ini KEINTIMAN (intimacy)[2] telah hilang dari kehidupan kita: anak-anak yang tak lagi dielus-elus orang dewasa, terutama Ibu dan bapaknya. Pada hal ada kebutuhan yang harus dipenuhi oleh orangtua agar anak-anak berkembang dengan baik.

Untunglah saya ketemu Ikram. Pasti masih ada ”Ikram-Ikram” yang lainnya. Pasti ada anak-anak yang tanggap terhadap kontradiksi, terutama anak-anak yang dididik oleh orangtua dan orang-orang yang punya preferensi berbeda terhadap kehidupan, tujuannya, seninya, dan tindakan-tindakannya. Mudah-mudahan saya juga cepat dianugerahi anak seperti Ikram!***


[1] Stanley Coopersmith. The Antecedents of Self-Esteem. San Francisco: W.H. Freeman, 1967

[2] Lihat Nurani Soyomukti. INTIMACY: Menjadikan Kebersamkaan dalam Pacaran, Pernikahan, dan Merawat Anak sebagai Surga Kehidupan. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2008

Lebih bergaul dan terhubung dengan lebih baik. Tambah lebih banyak teman ke Yahoo! Messenger sekarang! http://id.messenger.yahoo.com/invite/

2 komentar:

Anonim mengatakan...

salam kenal tukeran link uukkk

Dian Purba mengatakan...

salam kenal juga. senang bisa bertamu ke blog ini. soal link, saya sangat senang, cuma saya tidak tahu alamat yang harus di-link-kan.