Selasa, 01 Juli 2008


Bantuan Langsung Tunai, Problematika Sebuah Kebijakan Neoliberal
Ken Budha Kusumandaru*
Saturday, 28 June 2008

(Disadur dari prp-indonesia.org)


Pemerintah Indonesia terus-menerus berusaha meyakinkan rakyat bahwa subsidi BBM, yang selama ini dikeluarkan pemerintah, sebagian besar dinikmati oleh orang kaya. Dengan demikian, pemerintah merasa bahwa subsidi semacam itu tidak pada tempatnya dan harus digantikan dengan Bantuan Langsung Tunai yang ditargetkan pada orang-orang yang berada di bawah garis kemiskinan.


Yang tidak disadari banyak orang adalah bahwa pernyataan pemerintah ini sesungguhnya merupakan penyederhanaan yang berlebihan terhadap masalah. Masalah sesungguhnya adalah pergeseran dalam ideologi yang dianut pemerintah Indonesia—dari developmentalisme, yang diterapkan di era Orde Baru, menuju neoliberalisme. Paket kebijakan neoliberalisme digariskan oleh IMF dan Bank Dunia, yang bersama pemerintah negeri-negeri Barat, membentuk apa yang disebut orang sebagai Konsensus Washington. Secara umum, Konsensus Washington ini mempromosikan tenet liberalisasi, privatisasi dan keterlibatan minimal pemerintah dalam persoalan industrial. Lembaga-lembaga Keuangan Internasional ini berargumentasi bahwa kesejahteraan akan diraih melalui trickle-down effect dari manajemen sektor privat yang lebih efisien daripada negara, yang akan membuat negara memiliki lebih banyak sumberdaya yang dapat dipakainya dalam “subsidi tepat-sasaran” (James Haselip, 2004).


Kebijakan untuk membuat subsidi ditujukan kepada sasaran tertentu ini ditularkan pada negara-negara berkembang melalui instrumen-instrumen keuangan dunia, yang kini tidak lagi diberikan kepada “negara-negara miskin” tapi langsung kepada “orang-orang miskin” (Thandika Mkandawire, 2005). Salah satu bentuk pokok dari kebijakan keuangan dunia ini adalah bertumbuh pesatnya NGO-NGO di negara-negara berkembang, yang tidak lagi mengupayakan perbaikan sarana dan prasarana publik, melainkan mendorong terjadinya “parselisasi” dan “proyektisasi” terhadap kebijakan sosial.


Pentargetan yang Salah Sasaran


Penargetan subsidi seringkali dikampanyekan sebagai cara untuk membuat orang yang “benar-benar membutuhkan” mendapatkan apa yang menjadi haknya. Tapi, dalam realitasnya, kebijakan untuk membuat subsidi berlaku universal tanpa ditarget justru terbukti sanggup mengurangi kesenjangan antara si kaya dan si miskin (Mkandawire, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh di Honduras tahun 2003 menunjukkan bahwa subsidi listrik yang ditarget berdasarkan batas pemakaian ternyata bukan saja tidak efisien, melainkan juga memperbesar kesenjangan kesejahteraan (Haselip, 2004). Penelitian serupa yang dilakukan di Argentina menunjukkan bahwa perusahaan listrik negara yang telah diswastanisasi justru menolak untuk membangun jaringan listrik bagi warga di wilayah miskin.

Pemerintah Argentina terpaksa memberikan subsidi lebih banyak lagi pada perusahaan listrik yang telah menjadi lembaga usaha swasta. Lebih besar daripada ketika perusahaan listrik itu masih menjadi milik negara dan subsidi diberikan secara universal, bukan tertarget. Subsidi untuk perawatan anak di Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa manfaat subsidi ini tidak sampai pada targetnya, keluarga berpenghasilan rendah (Leonard Burman, et.al., 2005).


Bantuan Langsung Tunai juga terbukti menimbulkan stigmatisasi di kalangan orang miskin (Mkandawire, 2005). Bukan saja melalui kampanye pemerintah tentang “kaum peminta-minta”, keharusan untuk mengantri di depan publik untuk mendapatkan subsidi tertarget itu merupakan satu cap sosial, di mana orang banyak mengenali individu tertentu sebagai “miskin”. Konteks masyarakat kita saat ini menempatkan kemiskinan sebagai sebuah penyakit sosial, yang kerap digaungkan sebagai akibat dari kemalasan dan ketiadaan kemampuan untuk menanggung beban kesulitan. Dalam konteks ini, keharusan untuk antri menerima bantuan langsung merupakan satu stigmatisasi sosial yang panjang konsekuensinya.


Namun, di atas semua itu, penerapan sistem target pada subsidi untuk orang miskin dipasang oleh Bank Dunia dan IMF bersamaan dengan pencabutan sistem subsidi tertarget pada para pelaku pasar. Bersamaan dengan dianjurkannya Bantuan Langsung pada mereka yang berada pada atau di bawah garis kemiskinan, Lembaga-lembaga Keuangan Dunia ini menganjurkan diterapkannya subsidi universal pada para pelaku pasar dalam bentuk lump sump transfer, penyeragaman tarif, penyeragaman aturan main, dan lain-lain.


Bantuan Langsung Menghancurkan Martabat Rakyat Kecil


Kisah sukses penerapan subsidi justru berasal dari sistem di mana pemerintah menerapkan subsidi universal, namun berlapis. Penelitian di negara-negara berpendapatan menengah ke atas (Mkandawire, 2005) menunjukkan bahwa akses universal terhadap subsidi merupakan jaminan akan adanya dukungan politik dari kelas menengah, berupa kemauan untuk membayar pajak, yang pada gilirannya akan dapat digunakan untuk membiayai program kesejahteraan masyarakat kecil.


Di tangah pemerintah-pemerintah yang tidak demokratis, seperti Indonesia di bawah Orde Baru, subsidi universal memang dapat disalahgunakan untuk membiayai kroni-kroni. Tapi, di bawah sebuah sistem yang demokratis, subsidi universal akan mendorong sebuah suasana ekonomi-politik yang lebih sehat.


Persoalan pemberdayaan juga harus diperhatikan secara seksama. Mengutip Amartya Sen, “Sistem subsidi yang menuntut orang untuk dikenali sebagai miskin dan dilihat sebagai peminta-minta yang tidak berdaya akan memukul balik pada harga dirinya, di samping juga rasa hormat orang lain terhadap mereka.” (Mkandawire, 2005). Pemerintah harus memikirkan cara pemberian subsidi yang membuat rakyat kecil merasa martabatnya terangkat.


Bantuan Langsung mengandung terlalu banyak mudharat ketimbang manfaat. Kalau pemerintah ini terus menerapkan Bantuan Langsung, rakyat di negeri ini akan makin miskin (karena bantuan itu niscaya salah sasaran) dan martabatnya makin terinjak-injak. Bagaimana mungkin kita “Bisa!” mengusung “kebangkitan nasional kedua” jika rakyatnya miskin dan tidak punya harga diri? ***


Sumber:
Burman, Leonard et.al. Tax Subsidies to Help Low-Income Families Pay for Child Care. 2005

Haselip, James. CSGR Working Paper No. 138/04. 2004

Mkandawire, Thandika. Social Policy and Development Programme Paper No 23. 2005

*Penulis adalah Ketua Div Pendidikan Komite Pusat PRP

Tidak ada komentar: