Selasa, 01 Juli 2008

Mahasiswa Itu Rakyat
Tanggapan untuk Benri Sihombing

Dian Purba


Membaca artikel Fenomena "Mahasiswa Aktivis" (Analisa 27/6) yang membahas tentang mahasiswa dan demontrasi menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Paling tidak ada beberapa hal menarik. Pertama, Benri mencoba menghubungkan mahasiswa dengan kondisi rakyat melalui demonstrasi. Kedua, , tentang siapa dan fungsi mahasiswa.

Mahasiswa dan Demonstrasi

Mahasiswa berdemonstrasi tentu ada sebabnya. Demonstrasi mahasiswa yang paling hangat dan massif terakhir yang kita lihat adalah demonstrasi menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Mahasiswa bersama rakyat sontak turun ke jalan. Mereka meninggalkan bangku kuliah yang nyaman. Bergerak bersama rakyat menentang kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat. Demonstrasi menolak kenaikan harga BBM ini terjadi hampir di seluruh daerah. Mahasiswa sebagai kelompok yang duluan sadar memainkan perannya.

Di sinilah letak perbedaan pemahaman saya dengan Benri. Benri mengatakan, "…mahasiswa sendiri sebagai superheroes", "Konsekuensinya, para mahasiwa mulai terkena sebuah syndrome. Merasa itu adalah tanggung jawab dari para mahasiswa." Dalam menanggapi ini butuh kehati-hatian dalam mengeluarkan pendapat. Kita dituntut mengedepankan fakta empiris. Ini perlu. Kita harus menghindari pendapat yang sifatnya a-politis dan juga a-historis. Mari kita flashback tentang sejarah mahasiswa, dalam hal ini sejarah gerakan mahasiswa. Saya akan menguraikannya secara garis besarnya saja.

Suharsih dan Ign Mahendra K dalam bukunya Bergerak Bersama Rakyat, Sejarah Gerakan Mahasiswa dab Perubahan Sosial di Indonesia (2007) akan membantu kita dalam memahami gerakan mahasiswa. Setelah Soekarno "menyerahkan kekuasannya" kepada Jenderal Soeharto tahun 1966, mahasiswa (baca gerakan mahasiswa) menjadi idola. Inilah pertama kali mahasiswa mendapat posisi yang membuat mereka berada di atas angin. Soeharto lewat bantuan militer waktu itu memakai jasa mahasiswa untuk melanggengkan kekuasaan yang baru saja direbut. Mahasiswa mengajukan tiga tuntutan. Pertama, bubarkan PKI sekarang juga. Kedua, bersihkan cabinet Dwikora dari menteri-menteri goblok dan Gestapu. Ketiga, cabut peraturan-peraturan pemerintah yang menyulitkan hidup rakyat. Setelah Orde Lama tumbang mahasiswa ditarik dari organisasi gerakan dan menempatkan mereka di kursi empuk di parlemen (DPR GR). Soe Hok Gie menyebut ini dengan pelacuran intelektual.

Inilah yang menghancurkan gerakan mahasiswa periode pertama pasca kemerdekaan. Mahasiswa yang dulunya turun ke jalan kini sudah nyaman dengan tugas baru mereka lengkap dengan fasilitas serba mewah.


Gerakan Mahasiswa tahun 1974 (hal 77-84)
Sejak tahun 1966 hingga tahun sebelum 1974 mahasiswa berhasil "dikandangkan". Mereka melaksanakan tugas rutin mereka: belajar, belajar, dan belajar. Sesekali berpesta dan bercinta. Konsep gerakan yang mereka pakai waktu itu adalah konsep gerakan moral (moral force). Dalam konsepsi ini nahasiswa bertindak sebagai kekuatan moral daripada kekuatan politik. Dalam arti bahwa mahasiswa muncul sebagai aktor politik ketika situasi bangsa sedang krisis. Setelah krisis berlalu kemudian mahasiswa kembali ke kampus untuk belajar.

Sepanjang tahun ini, pemerintahan Orde Baru belum bisa membuat hidup rakyat makin sejahtera. Mahasiswa menganggap pemerintahan Soeharto masih mengecewakan. Korupsi di jajaran pejabat terjadi. Selain korupsi masih banyaknya pelanggaran HAM di berbagai tempat, pembantaian massal terhadap orang-orang yang dianggap ada hubungan dengan PKI. Di samping itu jumlah mahasiswa semakin bertambah, sementara anggaran yang disediakan pemerintah sangat minim. Selain itu, pembangunan ternyata tidak membuat sejahtera seluruh lapisan masyarakat. Kondisi objektif inilah yang tidak terbiarkan oleh mahasiswa. Pada masa inilah kita mengenal munculnya sebuah gerakan mahasiswa yang menamakan diri mereka "Mahasiswa Menggugat". Gerakan ini dimotori oleh Victor D, Arief Budiman, Sjahrir, dan Julius Usman. Mereka memrotes naiknya harga bahan bakar dan juga menuntut pemerintah memberantas korupsi.

Gerakan ini kemudian meluas ke kampus-kampus yang ada di Jawa. Gerakan ini pun berlanjut. Tahun 1974, tepatnya 15 Januari, kerusuhan terjadi. Aparat bertindak represif. Sebanyak 820 orang ditangkap, 9 orang meninggal, dan ratusan gedung dibakar dan dirusak. Aksi ini terjadi untuk menolak modal asing masuk ke Indonesia lewat lawatan Perdana Menteri Jepang Tanaka ke Indonesia. Pasca peristiwa ini pemerintah memperketat control terhadap gerakan mahasiswa. Pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Pemerintah No. 028/1974. SK ini memberi wewenang kepada pimpinan perguruan tinggi untuk mengontrol mahasiswa. Ijin ini juga membuat tugas tambahan kepada Menteri Penerangan untuk mengawasi setiap aktivitas mahasiswa di dalam kampus.

Gerakan Mahasiswa tahun 1978 (hal 84-87)
Kondisi ekonomi politik tahun 1977 belum menunjukkan kea rah yang lebih baik. Jumlah penduduk miskin bukannya berkurang malah makin bertambah. Perbedaan tingkat penghasilan antara orang kaya dan orang miskin bagaikan jurang tak terseberangi. Jumlah pengangguran menggila. Jumlah hutang luar negeri meningkat tajam. Mahasiswa melihat ini sebagai kebijakan omong kosong dari pemerintah. Tahun 1977 juga terjadi pemilihan umum. Golkar adalah pemenangnya. Mahasiswa menolak kemenangan ini. Mereka melakukan aksi protes karena pelaksanaan pemilu dinilai tidak jujur. Golkar menang dari pemilu yang cacat.

Momen inilah yang membuat gerakan-gerakan di berbagai kampus menyatukan diri. Tahun 1978 menjelang pertemuan parlemen untuk pemilihan presiden, mahasiswa lewat dewan mahasiswa sejumlah kampus melakukan aksi protes. Mereka menolak dengan tegas pencalonan kembali Soeharto menjadi presiden. Mereka menuntut pergantian kepala Negara. Aksi ini terjadi di beberapa kampus di Jawa. Kalau aksi-aksi protes sebelumnya ditujukan kepada para pembantu presiden, aksi kali ini langsung kepada presiden Soeharto. Pemerintah gerah. Pemerintah menuduh dewan mahasiswa telah melanggar konstitusi. Kegerahan pemerintah inilah yang kemudian memicu pemerintah lewat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan instruksi No. 1/U/1978 dan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 067/U/1979 yang berisi pembubaran Dewan Mahasiswa dan pembatasan akitifitas mahasiswa.

Upaya pemerintah untuk membatasi aktivitas mahasiswa diteruskan dengan dikeluarkannya NKK/BKK pada tanggal 19 April 1978 oleh Menteri Pendidikan Daoed Joesoef. Tujuannya untuk mengeliminasi mahasiswa dari gerakan politik yang semakin kuat; redefenisi, menata ulang kampus secara mendalam; membatasi kebebasan akademis; menumpas kegiatan politik mahasiswa; dan melarang mahasiswa berdemonstrasi. Kebijakan NKK/BKK adalah alat pemerintah untuk mencabut mahasiswa dari akar sosialnya: rakyat. Lanjutan dari kebijakan ini adalah diterapkannya system satuan kredit semester (SKS). Mahasiswa dituntut cepat tamat dengan indeks prestasi (IP) tinggi dan setelah itu bekerja.

Dalam menanggapi kebijakan ini mahasiswa tidak tinggal diam. Mereka membentuk kelompo-kelompok diskusi di kampus. Tentunya dengan sembunyi dari kekuasaan. Kelompok-kelompok diskusi ini semakin besar. Inilah kemudian yang menjadi motor penggerak demonstrasi besar-besaran tahun 1998. Mereka memanfaatkan momen krisis ekonomi tahun 1997 untuk keluar ke permukaan. Awalnya tuntutan mahasiswa adalah turunkan harga-harga kebutuhan bahan pokok. Pemerintah tidak bisa berbuat banyak. Tingginya harga-harga membuat rakyat tidak bisa duduk tenang di rumah. Mereka menggabungkan diri dengan mahasiswa. Kembali pemerintah menunjukkan tindakan represifitas. Tragedi Semanggi I, II memakan korban mahasiswa. Penculikan terhadap aktivis pun dilakukan. Sampai sekarang banyak diantara mereka yang belum jelas rimbanya. Inilah sejarah kelam bangsa yang menyisakan luka mendalam.

Kembali ke tulisan Benri. Mengatakan bahwa tempat mahasiswa adalah di kampus mengingat situasi sekarang ini sudah mulai teratur adalah opini yang tergesa-gesa. Paparan di atas telah membuktikan kepada kita bahwa mahasiswa dalam berdemonstrasi punya tujuan jelas. Mereka tidak bisa melawan hati nurani yang bergejolak. Mereka tidak bisa melihat rakyat semakin sengsara. Mengatakan bahwa aksi demonstrasi sudah seperti menembakkan peluru kosong kepada penguasa, sekali lagi, adalah pemikiran tergesa-gesa. Keputusan bukanlah keputusan. Demonstasi bukanlah demonstrasi. Sejarah membuktikan demonstrasi bisa mengubah keputusan.


Mahasiswa dan Kondisi Masyarakat

Mengatakan bahwa kondisi masyarakat sudah mulai teratur adalah sebuah pemikiran yang keliru. Benri mengutip pendapat Arief Budiman. Saya sudah membaca tulisan tersebut (Mahasiswa Indonesia dan Ilusi-ilusinya). Manusia adalah produk dari keadaan objektif. Lanjutan dari ini adalah timbulnya kesadaran sosial. Keadaan objektiflah yang membuat Arief Budiman mengatakan bahwa kondisi sekarang sudah mulai teratur. Seperti dipaparkan di atas, kondisi objektif tahun 1966 adalah masa-masa di mana mahasiswa sudah "dikandangkan" di kampus. Tugas mereka hanyalah satu: belajar. Apakah demikian halnya dengan keadaan objektif sekarang?

Keadaan objektif sekarang adalah jumlah orang miskin semakin bertambah. Kenaikan harga BBM cukup berperan dalam melambungkan jumlah ini. Rakyat sudah tidak bisa lagi makan tiga kali sehari. Pendidikan mahal. Biaya berobat harganya selangit. Jumlah pengangguran bukannya berkurang. Pemerintah tidak bisa menyediakan lapangan pekerjaan untuk rakyatnya. Rakyat tidak punya rumah layak huni. Jumlah merekalah yang mendominasi bangsa ini. Sementara itu, orang kaya semakin kaya. Bangsa ini memiliki orang terkaya nomor satu di Asia Tenggara di tengah kondisi bangsa yang carut marut. Pemerintah sudah kehilangan arah. Untuk menerangkan kondisi ini kita tidak butuh ahli statistik dengan data-datanya. Buka mata. Mereka hidup di sekitar kita. Inilah keadaan objektif bangsa hari ini.

Lantas, di manakah kita seharusnya memposisikan mahasiswa?

Mahasiswa adalah agent of change, mahasiswa adalah calon pemimpin. Sejarah mengatakan kepada kita bahwa jargon-jargon itu adalah mitos. Setelah tamat kuliah mahasiswa sibuk mencari kerja. Itu artinya mahasiswa hanyalah calon pekerja, bukan pemimpin dan bukan agent of change. Mari kita ubah cara berpikir yang demikian.

Benri bertanya kepada kita: "Apakah ini fungsi utama mahasiswa?"

Mahasiswa angkatan 66 mengadopsi metode bahwa mahasiswa adalah sebagai gerakan moral (moral force). Di atas sudah dijelaskan tentang metode ini. Apakah metode ini masih relevan? Atau apakah metode ini adalah metode yang seharusnya digunakan oleh mahasiswa?

Saya harus mengutip kembali Suharsih dan Ign Mahendra K. Menurut mereka (hal 216) gerakan moral empat kelemahan. Pertama, tidak mengembangkan konsepsi ideologis, apalagi ideologi kerakyatan. Bagi gerakan moral keadaan sekarang sudah baik. Kedua, gerakan mahasiswa tidak mau bergabung dengan rakyat dan tidak meluas ke kota-kota lain, sehingga hanya membesar di kota-kota pusat gerakan moral tersebut, dan hanya pada gerakan mahasiswa. Ketiga, strategi, taktik, program, isu ataupun tuntutan yang diambil pun akan sangat moderat. Keempat, gerakan moral hanya akan menjadi alat peralihan dari satu penguasa ke penguasa lain.

Kembali saya harus mengatakan bahwa mahasiswa harus melandasi demonstrasi sebagai suatu panggilan moral seorang warga negara adalah pemikiran yang tergesa-gesa.

Catatan Akhir

Kalau begitu metode apa yang harus digunakan oleh mahasiswa dalam gerakannya?

Ken Budha Kusumandaru (Mari Berdialektika) mengatakan bahwa mahasiswa adalah gerakan pelopor. Tujuannya apa? "Salah satu perjuangan utama kita yang memikul beban sebagai pelopor adalah membangkitkan ketidakpuasan orang terhadap tingkat kehidupannya yang sekarang – termasuk membangkitkan minat, hasrat, dan ambisinya untuk berkuasa." Mahasiswa harus turun ke rakyat untuk menyuntikkan kesadaran kepada mereka. Katakana kepada mereka bahwa kehidupan yang lain itu ada (the other world is possible).

Mahasiswa harus kembali ke akar sosialnya. Mereka berasal dari rakyat dan mereka harus mengabdi kepada rakyat. Inilah yang kita sebut dengan gerakan pelopor itu. Untuk mengakhiri tulisan ini saya akan mengutip Tan Malaka (Aksi Massa, 2008), "Selama kaum terpelajar kita melihat bahwa perjuangan kemerdekaan sebagai masalah akademi saja, selama itulah perbuatan-perbuatan yang diharapkan itu kosong belaka. Biarlah mereka melangkah keluar dari kamar belajar menceburkan diri ke dalam politik revolusioner yang aktif." Semoga kita tidak keliru lagi.

***

Referensi:

Artikel Benri Sihombing, "Fenomena "Mahasiswa Aktivis". Analisa 27 Juni 2008

Suharsih dan Ign Mahendra K dalam bukunya Bergerak Bersama Rakyat, Sejarah Gerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Indonesia, Resist Book (2007)

Tan Malaka dalam bukunya Aksi Massa __ (2008)

Ken Budha Kusumandaru. Mari Berdialektika___ prp-indonesia.org

Aref Budiman, "Mahasiswa Indonesia dan Ilusi-ilusinya", dalam Kebebasan, Negara, Pembangunan; Kumpulan Tulisan 1965-2005. Freesom Institute, Jakarta, 2004


Tidak ada komentar: