Kamis, 03 Juli 2008


Diskusi dengan Ali Yusran
Sorga di Tanah Batak

Dian Purba


HAMPIR semua aktivis gerakan di Medan kenal Ali Yusran. Usianya sudah beranjak 70. Badannya masih tegap bagaikan pohon berusia ratusan tahun. Setelah mati-matian mencari kerja seadanya akhirnya Bung Ali, demikian dia sering dipanggil, bisa ngontrak rumah mungil di pinggiran kota.


Siang itu kami diterima dengan hangat. Kami biasa datang ke rumah itu untuk diskusi. Diskusi mulai hal-hal terberat sampai diskusi yang paling ringan. Memang begitulah. Setiap orang akan “kecanduan” diskusi dengan Bung Ali. Menurutku ada beberapa hal penyebabnya. Bung Ali menerapkan metode diskusi yang sehat. Tidak menggurui. Paparannya mendasar dan membumi. Analisanya tajam. Pendapatnya “subversif”. Bung Ali tidak pernah menunjukkan dirinya sebagai orang yang paham betul dengan materi yang akan didiskusikan. Semua diajak mengeluarkan pendapat. “Mulailah dengan bertanya,” ungkap Bung Ali tiap kali mau memulai diskusi.


Diskusi kali ini tentang adat isitiadat Batak. Bung Ali sendiri bukanlah orang Batak. Bung Ali berasal dari tanah di mana perempuan yang meminang laki-laki, Minang. “Tanah Batak tidak mengenal feodalisme, “ Bung Ali memulai diskusi. “Adat asli Batak rusak semenjak kolonial memasuki Tanah Batak. Adat asli batak itu bagaikan sorga,” tambahnya. Ketika kami tanya kenapa di Tanah Batak tidak ada feodalisme Bung Ali menjawab, “Di adat Batak kita mengenal banyak sekali raja. Tiap marga memiliki raja sendiri. Sistem inilah yang menangkal budaya feodal tersebut. Kalau kamu raja di margamu, ya, itu berlaku di margamu saja. Di marga lain kamu itu boru. Ini berbeda dengan adat Jawa yang terasa sekali budaya feodalnya,” komentarnya dengan yakin. “Adat asli Batak tidak mengenal raja turun temurun. Raja baru akan dipilih ketika dirasa sudah waktunya memiliki raja baru. Dan raja baru yang terpilih adalah raja pilihan dari marga tempat dia berada. Pemilihannya juga demokratis. Berbeda dengan adat Jawa. Di Jawa itu raja turun-temurun.” Kami ketawa ketika Bung Ali mengatakan kelemahan raja yang turun-temurun, “Walaupun raja Jawa yang baru itu bodohnya seperti kerbau, dia tetaplah raja yang harus disembah.” Kami sedikit kuatir mendengar komentar Bung Ali tentang raja Jawa tersebut. Kemudian dia mengatakan bahwa Pramoedya yang Jawa tidak pernah mengaku dirinya orang Jawa. “Pram itu orang Jawa, tapi dia benci sama budaya Jawa.”


“Masuknya kolonialisme ke Tanah Batak (agama, dalam hal ini agama Kristen) adalah awal mula hancurnya budaya asli Batak,” tambahnya. “Budaya asli Batak tidak mengenal agama. Mereka menganut agama animisme. Masyarakat dengan tingkatan kelas juga tidak ditemukan di Tanah Batak.” Ini mengingatkan kita tentang teori masyarakat tanpa kelasnya Karl Marx. Sebuah pemaparan yang sangat baru bagi kami. Kami yang hadir sore itu semua suku Batak. Kami terkejut. “Ahli-ahli sejarah Batak tidak pernah atau takut mengatakan fakta ini. Mereka malu mengatakan bahwa agama asli orang Batak itu adalajh animisme,” Bung Ali berkata sambil menyalakan rokok. Bung Ali mengatakan bahwa cirri-ciri masyarakat tanpa kelas tidak mengenal adanya agama. Karena agama, menurut Bung Ali, adalah alat penindasan. Agama hanyalah pelarian rakyat kecil untuk mengendapkan masalah ekonomi-sosial-politiknya. Agama tidak pernah menyelesaikan masalah. “Kakek kita itu mengatakan bahwa agama itu adalah candu masyarakat.” Kakek yang dimaksudkan adalah Karl Marx.


Generasi yang tumbuh di jaman sekarang sudah sangat jarang yang mau mendalami budaya asli Batak. Sangat jarang kita temui pemuda-pemudi Batak yang peduli dengan masalah ini. Kami terpukul dengan paparan Bung Ali. Kami beranggapan bahwa budaya Baratlah budaya yang patut ditiru.


Diskusi pun berlanjut. Sambil meneguk kopi yang dari tadi belum diteguk, diskusi semakin hangat saja. “Alat produksi utama orang Batak adalah tanah,” Bung Ali memulai lagi. “Tanah bagi orang Batak adalah tanah kolektif. Tanah milik bersama. Tanah kolektif ini dibagi berdasarkan clan (marga). Marga Purba misalnya memiliki tanah yang diusahai bersama oleh marga Purba. Tanah di Tanah Batak tidak untuk diperjualbelikan,” Bung Ali bertambah semangat. “Setiap anggota keluarga mendapatkan tanah sesuai dengan kebutuhan. Orang Batak tidak pernah bersengketa gara-gara memperebutkan tanah.” Kami makin asik mendengarkan penjelasan Bung Ali. Kami mencoba membandingkan dengan kondisi sekarang. Orang Batak sudah banyak yang bertengkar gara-gara tanah. Bahkan saling membunuh. Persatuan marga terpecah gara-gara perebutan tanah.


“Tanah inilah yang dijadikan untuk berladang. Hasil dari ladang adalah milik bersama. Dulu di Tanah Batak kita mengenal adanya lumbung padi besar. Lumbung ini fungsinya sebagai stock gabah. Setiap kali panen lumbung ini diisi. Cara pengisiannya setelah semua kebutuhan keluarga terpenuhi. Sisa panen inilah yang disetor ke lumbung tersebut.” Bung Ali kelihatan paham betul dengan topik diskusi kali ini. “Siapa saja bisa mengambil gabah dari lumbung tersebut. Tentunya sesuai kebutuhan. Takkan ada yang berantam dan berebutan. Setiap orang akan mengambil sebanyak yang diperlukan. Kepemilikan lumbung padi besar ini bersifat kolektif.” Sesuatu yang sangat langka di jaman sekarang.


Era komunal primitif, sejarah perkembangan masyarakat, mendasari pola produksinya berdasarkan nilai guna. Artinya semua produk yang diproduksi semuanya diperuntukkan untuk kebutuhan masyarakat. Karena alat produksi satu-satunya pada masyarakat Batak adalah tanah, maka hasil produksinya adalah hasil ladang, terutama padi. Inilah yang dimaksudkan Bung Ali dengan kepemilikan kolektif itu. “Inilah sorga di tanah Batak itu. Setiap orang bekerja dan mendapatkan sesuai dengan kebutuhannya,” Bung Ali meneguk kopi sambil tersenyum sumringah.
“Sorga ini kemudian hancur dengan datangnya Belanda ke Tanah Batak. Agama Kristen diperkenalkan. Awlalnya agama ini ditentang keras,” tambahnya dengan wajah tampak kesal. “Perlahan-lahan namun pasti, budaya asli masyarakat Batak terkikis. Ini tidak boleh kita biarkan,” Bung Ali menatap kami dengan mata tajam. “Ini tidak boleh dibiarkan,” ulangnya lagi.
Kondisi Tanah Batak sekarang ini sudah jauh menyimpang dari budaya aslinya. Tanah sudah dijual. Lumbung padi besar sudah tidak kita temukan lagi. Agama yang masuk melalui penjajah sudah menghilangkan agama asli masyarakat Batak. Masyrakat berkelas sudah tercipta. Konsep raja seperti dipaparkan di atas sudah tidak ada lagi. Raja masih ada. Namun, proses pemilihannya tidak lagi demokratis. “Budaya Jawa yang feodal sudah memasuki seluruh negeri. Hampir 75 persen penduduk Indonesia beretnis Jawa. Orang Batak ikut-ikutan memilih budaya ini,” Bung Ali memberikan jawaban.


Ruangan sepi sejenak. Hening. Mata kami saling melirik. Tampak tiap peserta diskusi memikirkan perkataan terakhir Bung Ali.


Salah satu dari kami memecah keheningan. “Apa solusinya?”


Bung Ali ketawa kecil. Asap rokoknya mengepul mengisi ruangan. “Kembalikan firdaus yang hilang itu, “ katanya tegas. “Tugas besar orang seperti kalian ini adalah mengembalikan sorga itu ke Tanah Batak.” “Apa itu mungkin?”, kawan tadi melanjutkan pertanyaannya. “Mungkin,” jawabnya ringkas. “Kalian mulai sekarang harus memikirkan caranya. Revolusi kebudayaan di Tanah Batak harus kita ciptakan. Tanah Batak yang dulunya tidak mengenal budaya feodal sekarang sudah merajalela,” Bung Ali seperti memberikan petuah. “Di sinilah kalian harus ambil peran. Hancurkan budaya feodal itu. ”


Kembali kami terdiam. Kali ini kami serasa mendapatkan titah dari sang raja. Titah yang harus cepat-cepat dilaksanakan. “Bentuk Front Pertahanan Adat Batak,” sang raja menambah titah. Kami saling melirik satu sama lain. Front Pertahanan Adat Batak????


Sore pun beranjak malam. Waktunya pamit dari tuan rumah. Peserta diskusi nampak sedikit letih. Diskusi sore ini menambah banyak pertanyaan baru di kepala kami. Bung Ali berdiri di depan pintu dan memberangkatkan pasukan tempurnya menuju medan juang. ***

Tidak ada komentar: