Selasa, 18 Maret 2008

PEMBEBASAN PEREMPUAN DALAM UNDANG-UNDANG PARPOL
Oleh Nelly Yarti*
(Disadur dari Buletin SADAR)

Kondisi masyarakat Indonesia, menempatkan perempuan sebagai mahluk yang lemah dan tidak dapat berbuat apa-apa. Hal ini tergambar dalam pandangan kebanyakan masyarakat bahwa karena lemahnya, perempuan tidak dapat keluar rumah dan hanya berkewajiban me layani suaminya. Atau pandangan yang mengatakan bahwa perempuan hanya bertugas untuk mengurusi persoalan-persoalan domestik belaka. Hal ini diperkuat dengan legitimasi “penafsiran” terhadap agama yang banyak mendiskreditkan perempuan.
Belum lagi masalah-masalah lain, seperti masalah kekerasan dalam rumah tangga, yang banyak menimpa kaum perempuan atau masalah trafficking, juga masalah buruh-buruh perempuan yang diupah di bawah standar UMP.
Mas! alah-masalah sosial ekonomi ini, dijadikan alasan oleh para wakil rakyat untuk mengakomodasi kepentingan perempuan ke dalam undang-undang partai politik yang mensyaratkan sebuah partai harus mengakomodasi perempuan dalam pencalonan anggota DPR.

Pertanyaannya adalah, apakah ini cukup untuk membebaskan perempuan? Dan apakah persoalan perempuan di negeri ini akan terselesaikan dengan memberikan kuota 30% kursi parlemen untuk perempuan?
Pada dasarnya, ada tidaknya perempuan yang duduk di parlemen, tidak akan berpengaruh terhadap pembebasan perempuan di Indonesia, toh di negeri ini, juga pernah mendudukkan perempuan di kursi presiden, tapi ternyata, ketertindasan perempuanpun juga tak kunjung berakhir.
Artinya, bahwa persoalan perempuan tidak akan mampu terselesaikan hanya dengan mendudukkan perempuan di parlemen.
Kenyataan yang ada,! bahwa perempuan yang sanggup untuk mendapatkan kursi di parlemen adalah mereka yang sanggup membayar partai-partai yang ada untuk mendukung dia agar dapat didudukkan di parlemen, artinya, seorang perempuan yang berasal dari kalangan bawah tidak akan mampu mengakses parlemen dan merumuskan kebijakan sendiri mengenai persoalan-persoalan yang dihadapinya.

Tentunya, perempuan-perempuan yang mengatasnamakan wakil perempuan di parlemen, akan berusaha mengembalikan uangnya yang dihabiskan pada masa kampanye (logika untung-rugi). Dan tidak akan memberikan apa-apa bagi pembebasan perempuan.
Lalu, apa sebenarnya tujuan para wakil rakyat di DPR mengakomodasi 30% suara perempuan di parlemen?
Sebenarnya konsep yang diberlakukan oleh para anggota dewan yang memberikan kesempatan bagi wakili perempuan untuk ikut bertarung dalam partai politik merupakan sebuah pandangan dari aliran yang hidup seiring dengan tumbuhnya sistem ekonomi liberal di Eropa.
Pandangan perempuan ini, menganggap bahwa keterti! ndasan perempuan selama ini diakibatkan oleh perempuan itu sendiri, yang tidak ingin maju, tidak ingin bersekolah dan tidak ingin maniti karir.
Selain itu, mereka juga menganggap persoalan kesetaraan perempuan dan laki-laki adalah hal yang paling mendesak, yang dihadapi oleh perempuan.

Pandangan ini, cenderung menyalahkan si perempuan, tanpa terlebih dahulu melihat persoalan sistemik yang dirasakan oleh perempuan, seperti persoalan anggapan sosial yang menganggap perempuan itu! lemah, sampai ketidakmampuan perempuan itu mendapatkan pendid! ikan yan g layak karena kemiskinan.
Kelemahan dari pandangan ini adalah, bahwa perempuan yang tidak mampu mengakses fasilitas yang memadai akan terus tertindas dan mereka yang mampu mengakseslah, yang akan mendapatkan semua yang diinginkannya.
Selain itu, pandangan ini juga gagal menganalisa bahwa persoalan utama yang dihadapi oleh perempuan bukan hanya persoalan kesetaraan, tapi juga persoalan sosial ekonomi kaum perempuan.
Kepentingan utama dari pandangan perempuan ini adalah, bagaimana para perempuan juga dapat ikut dalam kompetisi mendapatkan/mencari pekerjaan yang berujung pada bertambahnya pengangguran dari keseluruhan jumlah pencari kerja, dan memberikan kesempatan bagi pemberi kerja untuk dapat menekan harga/upah tenaga kerja.

Di Indonesia, selain kepentingan pengusaha yang bertujuan untuk mendapatkan tenaga kerja murah sebagaimaa telah dijelaskan di atas, juga untuk mendapatk! an suara dari perempuan yang jumlahnya tidak sedikit di Indonesia.
Artinya tujuan utamanya adalah bagaiman mengilusi perempuan-perempuan di Indonesia bahwa mereka juga telah mendapatkan wakil di parlemen. Padahal kebijakan-kebijakan yang diambilnya tidaklah berpihak pada perempuan.
Lalu apa yang harus dilakukan?
Persoalan perempuan sangatlah kompleks, artinya tidaklah dengan perempuan sudah mampu keluar rumah dan mendapatkan posisi sejajar dengan laki-laki, persoalan perempuan akan berakhir, atau dengan memberikan kuota kursi 30% bagi perempuan di parlemen maka masalah perempuan akan selesai.
Hanya dengan berhimpun dan sadar bahwa persoalan yang dihadapi perempuan selama ini adalah persoalan sistemik dan mencoba menyelesaikan persoalannya pula dengan
mengganti sistem, maka perempuan akan terbebas.
Tidak hanya be! rhimpun dengan sesamanya perempuan, tapi perempuan juga harus mencoba untuk berhimpun dan menyatukan gerakannya gengan kelompol-kelompok yang juga merasa tertindas di bawah sistem ini, seperti kelompok adat, serikat buruh, serikat mahasiswa, atau organisasi rakyat lainnya.


*Penulis adalah anggota Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

Tidak ada komentar: