Selasa, 25 Maret 2008


Kesetaraan Gender: Fakta atau Mitos?
Oleh Ken Budha Kusumandaru*
Friday, 21 September 2007

(Disadur dari prp-indonesia.org)

Baru-baru ini, MetroTV menayangkan satu liputan mengenai kampanye “Jangan Bugil di depan Kamera.” Kampanye ini ditujukan untuk menangkal maraknya video adegan seks amatir yang beredar di internet. Sejak peristiwa yang dikenal sebagai “Bandung Lautan Asmara,” seakan orang berlomba membuat video seks yang makin lama makin spektakuler. Di samping itu, salah satu produk pembalut wanita memakai tagline “Stay Virgin, Stay Healthy” – jaga keperawanan, jaga kesehatan.

Perda-perda yang mendiskriminasi perempuan juga makin lama makin banyak. Mau tidak mau, aku teringat program-program tayangan televisi dan kampanye publik yang konon dilancarkan di Amerika di pertengahan 1950-an. Nuansanya sama – yang paling menyolok adalah tekanan represif terhadap peran seksualitas perempuan. Aku jadi tergugah untuk meneliti kembali peran seks dan gender dalam masyarakat manusia. Dan, cara yang terbaik untuk ini adalah dengan kembali pada penelusuran sejarah, terutama perjalanan evolusi mahluk hidup sampai menghasilkan spesies yang kita sebut Manusia.


1. Laki-laki dan perempuan, sebuah strategi evolusi
Di bumi ini, kita hanya mengenal dua macam cara untuk mengadakan reproduksi (proses menghasilkan keturunan), yakni seksual dan aseksual. Proses reproduksi aseksual terjadi dengan apa yang disebut reproduksi vegetatif atau membelah diri. Virus, bakteri dan beberapa bentuk kehidupan yang lebih sederhana mengandalkan cara ini untuk reproduksi. Sementara yang seksual mengandalkan pembedaan sel reproduktif menjadi sel “jantan” dan “betina”. Yang kita sebut “tumbuhan” berada di perbatasan antara kedua cara ini, seringkali kita membiakkan tumbuhan melalui proses vegetatif (misalnya dengan setek atau kultur jaringan) tapi normalnya perbiakan tumbuhan terjadi melalui proses seksual (yakni pembuahan putik bunga oleh serbuk sari). Sementara “hewan” melakukan proses perbiakan secara eksklusif dengan proses seksual.

Proses aseksual diperkirakan muncul pada sekitar 4 Ga (Giga annum = milyar tahun lalu) dalam bentuk penggandaan RNA (ribonucleicacid – asam ribonukleat, bahan dasar yang berfungsi menyampaikan materi genetik), yang kemudian disusul bentuk yang lebih maju yakni virus. Namun demikian, proses ini belum lagi dapat disebut “pembiakan” dalam pengertian modern. Walau demikian, hal ini cukup mengejutkan karena berarti jarak antara pembentukan bumi (diperkirakan 4,5 Ga) dengan munculnya benih-benih kehidupan di bumi hanya berjarak 500 juta tahun – waktu yang relatif singkat dalam sejarah bintang-bintang. Pembiakan aseksual pertama, pada mahluk yang saat ini kita golongkan sebagai hidup, muncul sekitar 2,5 Ga. Pembiakan aseksual ini berkembang menjadi pembiakan seksual, yang diperkirakan mulai muncul pada 1 Ga (1 milyar tahun tahun lalu). Diperkirakan, inilah saat awal kemunculan Kingdom Fungi (jamur) dan Animalia (hewan) di muka bumi. Setelah bergulat dengan keadaan “hidup-belum-mati-sudah tidak”, yakni keadaan viral (bentuk kehidupan seperti virus) selama hampir 1,5 milyar tahun, dan menghabiskan 1,5 milyar tahun berikutnya dalam cara perbiakan aseksual, kehidupan di bumi “menemukan” cara berbiak lain yang lebih canggih.

Tapi, sampai 1 milyar tahun lalu, bentuk kehidupan di bumi ini hanya berupa sel-sel tunggal. Baik digolongkan sebagai bakteri, jamur maupun hewan, bentuk kehidupan masih sangat sederhana, yakni masing-masing “individu” hanya terdiri dari satu sel saja. Bentuk kehidupan multi-selular (bersel banyak) muncul pada 500 Ma (Million annum = juta tahun lalu). Yang menakjubkan, desain dasar dari bentuk-bentuk kehidupan yang muncul dalam apa yang disebut “Ledakan Kambrian” ini tetap tidak berubah sampai sekarang. Berbagai macam variasi bentuk kehidupan kita lihat berganti memenuhi muka bumi, tapi desain dasarnya tetap sama – terutama pola reproduksi seksual.

Jadi, pembagian peran antara laki-laki dan perempuan (atau “jantan” dan “betina” secara lebih umum) merupakan satu strategi evolusi yang telah berusia sekurangnya 1 milyar tahun. Dan, kita lihat dari garis perjalanan evolusi kehidupan di muka bumi, begitu pola reproduksi seksual muncul, perkembangan kehidupan berjalan dengan amat cepatnya. Selama sekurangnya 3 milyar tahun, evolusi hanya menghasilkan mahluk-mahluk bersel tunggal. Tapi, begitu perbiakan seksual terjadi, hanya dibutuhkan 500 juta tahun untuk munculnya mahluk bersel-banyak. Dan dalam 500 juta tahun berikutnya, kita melihat kemunculan mahluk-mahluk yang makin lama makin menakjubkan, yang raksasa seperti dinosaurus atau yang cerdas seperti manusia.

Jika kita anggap sejarah bumi ini terjadi dalam 24 jam dan bumi terbentuk pada pukul 00.00 tengah malam, benih-benih kehidupan mulai muncul pada pukul 02.40 pagi. Mahluk “hidup” yang berbiak secara aseksual muncul sekitar pukul 08.00 pagi. Sekitar pukul 16.00 sore, perbiakan seksual mulai terjadi. Mahluk bersel banyak mulai menampakkan diri pada pukul 18.40 petang. Dinosaurus mulai merajai bumi pada pukul 23.00 malam dan punah pada pukul 23.39. Proses evolusi ke arah manusia dimulai pada pukul 23.58 lewat 5 detik. Manusia purba mulai menggunakan alat pada pukul 23.59 lewat 22 detik. Dan Homo sapiens mulai merambah permukaan bumi pada pukul 23.59 lewat 58 detik. Jika kita menggunakan bumi sebagai tolok ukur, kita ini baru sekejap mata saja ada di muka bumi. Dan dalam sekejap ini, manusia sudah sampai di tahap yang mampu menggulingkan proses evolusi alami. Ini adalah kasus klasik dari proses negasi dari negasi, di mana yang baru akan menggulingkan yang lama – dan jarak antar penggulingan ini terjadi semakin lama semakin pendek.

Hal ini dimungkinkan karena perbiakan seksual memaksa terjadinya kocok ulang dalam materi genetik kehidupan, yakni RNA dan DNA (deoxyribonucleicacid – asam deoksiribonukleat, materi genetik, bahan dasar pembentuk sel yang diwariskan pada keturunan). Jika perbiakan terjadi secara vegetatif atau aseksual, keturunan biasanya hampir sama persis dengan induknya. Kita harus menunggu terjadinya mutasi yang signifikan sebelum keturunan menghasilkan sesuatu yang berbeda. Itupun belum tentu menghasilkan hal yang menguntungkan dalam proses adaptasi terhadap lingkungan. Kebanyakan mutasi mati atau layu sebelum berkembang. Proses pengembangan bentuk-bentuk kehidupan berjalan amat lambat jika dilakukan dengan proses aseksual. Tapi, dengan proses seksual, hanya setengah dari rantai DNA jantan yang terlibat dalam proses perbiakan. Setengahnya lagi datang dari yang betina. Ini memaksa proses kocok ulang dan perubahan yang signifikan terjadi pada keturunan. Yang kita lihat sekarang, semua hasil keturunan dari proses seksual selalu mirip dengan induk (“ibu” dan “ayah”)-nya. Tapi sama sekali tidak sama. Keturunan adalah individu yang berbeda susunan genetiknya dari mereka yang menurunkannya.

Strategi perbiakan seksual merupakan hal yang menguntungkan bagi evolusi karena memungkinkan munculnya perubahan-perubahan yang sesuai dengan perubahan dalam lingkungan alam di mana mahluk tersebut hidup.

2. Permainan gender, strategi keberlangsungan spesies
Ketika perbiakan seksual muncul pertama kali, bentuknya masih sangat sederhana – misalnya yang kita lihat pada tumbuhan. Pada kebanyakan jenis tumbuhan, putik dan tepung sari ada di satu bunga, atau bunga jantan dan betina muncul bersamaan di pohon yang sama. Ada jenis lain yang telah membedakan antara pohon jantan dan pohon betina, tapi jenisnya tidak banyak. Agar terjadi pembiakan seksual, sifat tepung sari yang ringan dan mudah dibawa angin merupakan kuncinya. Dengan mudahnya tepung sari lepas dari wadahnya, angin dan beberapa jenis serangga dapat membantu perbiakan seksual – yang pada tumbuhan kita sebut penyerbukan.

Persoalannya menjadi lebih rumit di dunia hewan, di mana pembedaan antara mahluk jantan dan mahluk betina sudah berlangsung semakin lama semakin sempurna. Beberapa di antara anggota dunia hewan yang lebih sederhana masih menyisakan sistem perbiakan tumbuhan, yakni yang kita sebut hermafrodit (berkelamin ganda), seperti belut. Kerumitan ini muncul dari proses perbiakan ini sendiri. Dengan pembedaan yang tajam antara jantan dan betina, dibutuhkan proses kopulasi (injeksi sel jantan kepada sel betina). Proses kopulasi adalah proses yang (di alam liar) membahayakan, karena dua mahluk yang terlibat dalam proses ini harus mencurahkan perhatian pada proses ini sehingga ia akan rentan pada ancaman pemangsa atau bahaya lain di sekitarnya. Hewan-hewan tidak bisa begitu saja melakukan kopulasi di manapun dan kapanpun – karena mereka bisa dimangsa ketika sedang melakukannya. Oleh karena bahaya ini, maka masing-masing spesies hewan mengembangkan cara-cara untuk memberi tanda agar proses ini dapat dilakukan secara paling ekonomis. Ekonomis di sini berarti saat di mana proses kopulasi dipastikan menghasilkan keturunan (yakni ketika si betina berada dalam masa subur) dan bagaimana proses ini dapat menghasilkan keturunan dengan kualitas terbaik (artinya si betina mendapatkan benih dari pejantan berkualitas unggul). Salah satu proses evolusi terpenting dalam dunia hewan adalah pengasahan terhadap kemampuan anggota spesies menerapkan efisiensi dan efektivitas dalam perbiakan seksualnya.
Oleh karena proses peningkatan efisiensi dan efektivitas inilah kita menemui berbagai perilaku dan perubahan struktur tubuh yang digunakan hewan-hewan dalam proses yang kita sebut “musim kawin”. Pemastian bahwa betina berada dalam masa subur seringkali dilangsungkan dengan mekanisme di mana masa subur itu hanya terjadi dalam waktu tertentu dalam setahun – ini terutama terjadi pada hewan yang bersifat sosial atau berkumpul dalam kawanan. Pada rentang waktu yang relatif sempit ini, hampir semua betina yang telah mencapai kematangan seksual (mampu menghasilkan sel telur) mengalami masa subur secara bersamaan. Dengan demikian, begitu banyak pasangan melakukan kopulasi pada saat bersamaan. Ini meningkatkan persentase peluang untuk bertahan hidup, karena pemangsa cukup memilih salah satu atau beberapa pasangan, sementara pasangan lain akan selamat. Ini prinsip yang disebut “keamanan dalam kawanan” (safety in numbers) – prinsip yang digunakan juga dalam aksi massa, di mana orang yang berada di tengah barisan dan berdisiplin biasanya adalah orang yang selamat ketika aksi massa mengalami represi.

Cara lain yang digunakan beragam dan begitu menakjubkan. Gajah betina, misalnya, mengabarkan bahwa ia sedang subur dengan menghentakkan kakinya dengan irama tertentu. Getaran yang merambat di permukaan tanah dapat “didengar” dengan indera khusus yang terdapat pada telapak kaki gajah jantan yang berada sampai 4,5 kilometer jauhnya dari si betina. Dengan petunjuk kekuatan getaran dan arah datangnya, seekor gajah jantan dapat menemukan si betina dengan mudah. Beberapa jenis kera lebih vulgar, karena bila si betina sedang subur, ia akan berjongkok di depan para jantan, memamerkan alat kelaminnya, memancing para jantan untuk mendekatinya. Rusa betina, di lain pihak, terasa lebih “sopan” karena mereka hanya mengeluarkan bau khas ketika sedang subur. Dengan mengikuti petunjuk dari indera penciumannya, rusa jantan akan menghampiri si betina.

Untuk proses pemilihan calon ayah terbaik (yang berkualitas paling unggul), proses evolusi juga menghasilkan berbagai hal yang mencengangkan dan kadang tidak masuk akal kalau dipandang dari pertimbangan evolusioner. Misalnya saja, kita tahu burung merak jantan akan memamerkan bulunya yang lebat dan indah itu untuk memikat si betina. Ini agak aneh, karena warna bulu yang menyolok itu akan mengundang predator (pemangsa). Berbagai jenis hewan berkuku belah (ungulata), seperti sapi, kuda atau rusa, akan mengadu para jantan untuk memperebutkan hak kawin. Ini juga menyulitkan dalam proses bertahan hidup, karena pejantan terkuat akan kelelahan setelah bertarung dan rentan terhadap pemangsa.

Para ahli masih belum yakin betul mengapa evolusi menghasilkan paradoks semacam ini. Tapi, teori yang sementara ini diunggulkan adalah teori yang diusulkan Amotz Zahavi. Teori ini mengatakan bahwa, jika si jantan masih dapat bertahan hidup sekalipun ia mengundang bahaya, inilah tanda bahwa dia benar-benar pejantan unggul. Kita sendiri masih begitu sering melihat bagaimana seorang perempuan baik-baik, cerdas dan cantik ternyata memilih seorang lelaki bajingan sebagai pasangan hidupnya. Tak terkira juga contoh di mana seorang lelaki berusaha mengesankan pasangannya dengan menantang maut. Rayuan gombal yang sering kita dengar, “Aku cinta padamu, belahlah dadaku,” barangkali bisa mewakili teori ini.
3. Battle of sexes, memperebutkan hak pewarisan
Jika diperhatikan, uraian di atas menunjukkan bahwa peran yang dimainkan betina jauh lebih vital dalam proses evolusi dan pewarisan genetik – ketimbang yang jantan. Sejak evolusi menghasilkan tumbuhan jantan dan betina, hanya yang betina yang berbuah. Proses ini jauh lebih nyata terlihat dalam dunia hewan – terutama mamalia (hewan menyusui) dan aves (burung), yang proses evolusinya tergolong paling “baru” dalam sejarah bumi.

Kini, proses menghasilkan telur dan proses mengandung merupakan proses yang menuntut enerji biosintetik (proses menghasilkan jaringan tubuh) yang sangat besar. Enerji ini harus disediakan oleh si betina. Si pejantan tidak dapat membantu dalam proses ini. Kelihatannya, ini tidak adil. Tapi, demikianlah cara evolusi bekerja.

Dari sudut pandang ideologi kelas berkuasa saat ini, barangkali keadaan tersebut akan dilihat sebagai bukti “superioritas pejantan” (male superiority) – di mana para pejantan dilihat sebagai penikmat waktu luang (idle). Tapi, dari sudut pandangku, ini berarti para pejantan tidak memiliki peran penting dalam proses evolusi, kecuali berfungsi sebagai gene pool (himpunan materi genetik) yang dapat dipilih oleh si betina dalam memastikan agar keturunannya merupakan keturunan kualitas unggul. Si betina sudah pasti mewariskan materi genetiknya, tapi si pejantan tidak bisa memastikan ia mendapat kesempatan mewariskan gennya melalui proses perkawinan.

Karena perempuan yang ber-“investasi” lebih besar pada proses pewarisan ini, kebanyakan spesies memasukkan mekanisme pencarian makanan secara lebih kuat pada para betinanya. Pada hampir semua (kalau tidak dapat disebut “semua”) spesies, yang betina biasanya lebih cerdik dalam mencari makan dan lebih ulet dalam berjuang mempertahankan hidup (tahan stress). Termasuk kasus ekstrim seperti laba-laba Janda Hitam (Black Widow) yang terkenal itu, di mana si jantan biasanya dimakan oleh si betina segera setelah proses kopulasi selesai. Si jantan sudah melakukan tugasnya menyampaikan materi genetik, kini ia memberi sumbangan terakhir dengan memberi protein yang cukup bagi si betina dengan jalan mengorbankan hidupnya sendiri.

Mekanisme evolusi yang secara umum sangat berat memihak para betina ini menimbulkan counter-measure (mekanisme tandingan) dalam evolusi para jantan. Sekarang para ahli evolusi dan zoologi (ilmu hewan) terutama yang menyangkut perilaku hewan, telah menemukan bahwa para pejantan melakukan hal-hal yang ajaib bersangkutan dengan upayanya untuk mendapat bagian dalam memperbesar kesempatan mewariskan materi genetiknya. Mekanisme ini meliputi perselingkuhan dan penipuan, misalnya, yang terjadi pada burung Pied Flycatcher (sangat mirip dengan yang dilakukan manusia lelaki) bahkan juga infantisida (pembunuhan balita) yang dilakukan di kebanyakan komunitas gorila.

Dalam kasus-kasus di mana proses evolusi memunculkan mekanisme tandingan bagi para jantan, para betina berada dalam posisi dirugikan. Di satu pihak, ia tetap merupakan pihak yang menanam modal paling besar dalam proses pewarisan keturunan. Tapi, seringkali usahanya ini menjadi sia-sia. Para betina Pied Flycatcher yang tertipu dan dijadikan “selingkuhan” tidak mendapatkan tambahan makanan yang dibawakan si jantan, karena yang jantan hanya membawakan makanan bagi betina pertama yang dikawininya (mirip dengan manusiakah?). Akibatnya, banyak telur dari betina “selingkuhan” ini tidak menetas akibat kurang gizi. Yang terjadi pada gorila betina bisa kita pandang lebih “tragis” karena sekian banyak enerji yang mereka curahkan untuk menghasilkan keturunan mubazir begitu saja, ketika ada pejantan baru merebut kepemimpinan kelompok dan membunuhi anak-anak dari kepala kelompok sebelumnya.

Kemunculan mekanisme tandingan ini memang bukan norma dalam dunia hewan. Tapi keberadaannya saja sudah cukup membuktikan bahwa mekanisme yang sangat memihak para betina memang mendapat tandingan dari mekanisme yang memihak para jantan. Ini kasus yang sangat bersesuaian dengan dialektika, yakni apa yang bertentangan niscaya muncul bersamaan dan saling menyaratkan – sekaligus saling menggulingkan.
Persoalan mana mekanisme yang akan dominan dipakai dalam satu spesies ditentukan oleh kemampuan mekanisme itu dalam memastikan keberlangsungan hidup spesiesnya. Di sini, ternyata, battle of sexes merupakan satu mekanisme alami dalam memperkuat peluang satu spesies dalam bertahan hidup.

4. Seksualitas dalam masyarakat manusia
Salah satu ciri yang menyolok dalam seksualitas manusia (secara spesifik adalah spesies Homo sapiens) adalah ketidakmampuan perempuan untuk menunjukkan masa suburnya. Ini bukan hal yang umum terjadi dalam dunia hewan, sekalipun beberapa hewan (terutama dari keluarga kera) juga menunjukkan hal ini – apa yang dikenal sebagai “ovulasi (pematangan sel telur) tersembunyi.” Baik perempuan maupun laki-laki memang menunjukkan ciri-ciri kematangan seksual – tumbuhnya rambut di tempat tertentu, perubahan suara, “mimpi basah” pada lelaki atau pembesaran payudara pada perempuan. Tapi, tidak ada orang yang bisa tahu apakah seorang perempuan sedang mengalami masa subur atau tidak dari penampilannya. Yang kita tahu justru masa di mana seorang perempuan paling tidak subur – yakni saat menstruasi, di mana sel telur yang gagal dibuahi dikeluarkan paksa oleh tubuh daripada membusuk di dalam rahim. Di masa kini, ketika kita sudah mengenal siklus kesuburan perempuan, kita dapat memperkirakan dengan kalender bilamana seorang perempuan mengalami masa subur. Itupun seringkali tidak memadai.

Menurut para ahli, tersembunyi kesuburan perempuan ini berkaitan erat dengan posisi tubuh yang semakin lama semakin mengandalkan bipedalisme (bergerak dengan dua kaki), bukan empat kaki sebagaimana kera. Posisi yang tegak ini memaksa posisi organ-organ peranakan perempuan tertarik lebih ke belakang, untuk mencegah kerusakan pada janin apabila dibawa ke mana-mana sambil berlari.

Ini jelas tidak “menguntungkan” bagi kelangsungan reproduksi spesies ini. Ketidaktahuan individu mengenai masa subur perempuan menyebabkan ketidakmampuan untuk menyelenggarakan aktivitas perkembangbiakan di saat yang tepat. Maka, tak terhindarkan lagi, manusia terpaksa menyelenggarakan aktivitas reproduksi sebagai aktivitas harian – bukan lagi musiman.

Untungnya bagi manusia, perkembangan evolusinya yang menyembunyikan masa subur perempuan ini terjadi seiring dengan perbesaran otak dan semakin diandalkannya mekanisme sosial (budaya) dalam pewarisan kemampuan bertahan hidup. Oleh karena itu, proses kawin-mawin pun kemudian terserap ke dalam proses budaya ini pula. Barangkali, karena proses ini menjadi proses harian, manusia terpaksa menjalankannya di tempat-tempat tersembunyi – untuk menghindar dari kemungkinan dimangsa ketika sedang berkopulasi. Barangkali keharusan ini berkontribusi (merupakan satu faktor penting) dalam proses mulai menetapnya manusia ke dalam gua-gua – satu hal yang tidak ditemui pada kebanyakan kera.

Tidak akan mengherankan jika kemudian manusia mengembangkan satu sistem budaya untuk mewariskan cara perkawinan semacam ini, yakni dengan menandai bagian kelaminnya dengan pakaian. Kalau kita berpegangan bahwa segala sesuatu berjalan dari yang sederhana menuju yang lebih kompleks dan rumit, maka bentuk paling sederhana dari budaya berpakaian (hanya menutupi kelamin) tentulah merupakan cara berpakaian paling awal yang dikenal manusia. Dapat dibayangkan bahwa nenek-moyang kita ingin memberi tahu: jangan dibuka di sembarang tempat, bahaya. Bahayanya bukan “kecelakaan” atau kehamilan tak diinginkan seperti maknanya yang sekarang, tapi bahaya dimangsa hewan buas ketika sedang berkopulasi.

Dengan sistem pewarisan sosial melalui pengajaran (yakni budaya), manusia meneruskan sistem ini dari generasi ke generasi. Mengingat bahwa pewarisan budaya paling awal dalam sejarah manusia adalah dalam bentuk tabu atau pamali, tidak akan terlalu mengherankan jika kemudian banyak komunitas manusia yang menabukan ketelanjangan. Lama-kelamaan manusia lupa mengapa ia membuat ketelanjangan alat kelamin menjadi sebuah tabu. Ia kemudian mengarang cerita untuk menjelaskan hal ini. Sampai sekarang pun banyak orangtua masih lebih suka menakut-nakuti anaknya yang ingin tahu dengan cerita-cerita seram. Sangat mungkin bahwa, sejak jaman dahulu, manusia sudah berkelakuan seperti itu juga: lebih suka menakut-nakuti ketimbang berusaha mencari tahu kebenaran di balik satu peristiwa atau keadaan.

Satu hal lain yang penting dari lingkup reproduksi manusia adalah kenyataan bahwa semua bayi manusia lahir dalam keadaan prematur. Kita kini mengartikan prematur sebagai “lahir sebelum masa kandungan berusia 9 bulan 10 hari.” Tapi, sebenarnya, semua bayi manusia lahir dalam keadaan sama sekali belum siap untuk dilahirkan. Semua bayi hewan lain telah memiliki kelengkapan bertahan hidup memadai ketika lahir. Tapi, bayi manusia membutuhkan lima tahun, setidaknya, untuk mulai dapat menyamai tingkat kesiapan alat-alat perlengkapan hidup seperti yang dimiliki seekor bayi sapi atau kerbau, misalnya, dalam waktu beberapa menit. Seorang anak manusia membutuhkan setidaknya lima tahun lagi sampai ia mulai memasuki masa kematangan seksual dan lima tahun berikutnya agar proses kematangan seksual itu selesai.

Kenyataan ini menimbulkan kerumitan tersendiri, karena “investasi” yang diperlukan dalam proses pewarisan genetik menjadi berlipat ganda. Dan, nampaknya, jalur evolusi yang menghasilkan manusia berlangsung terlampau cepat (hanya sekitar 6 juta tahun) sehingga alam belum lagi mengembangkan mekanisme perawatan investasi, yang ditanam secara genetik ke dalam tubuh manusia. Perkembangan yang terlampau cepat ini dijawab oleh manusia melalui proses sosial.

5. Jawaban sosial manusia atas problem seksualitas
Manusia menjawab persoalan ini dengan sistem sosial yang kini kita kenal dengan nama “keluarga”. Jangan dulu dibayangkan bahwa sistem keluarga ini selalu tinggal tetap dari jaman ke jaman. Evolusi yang bekerja pada alam juga bekerja pada sistem sosial, di mana satu sistem akan berkembang untuk mengatasi satu situasi tertentu, dan akan terguling ketika situasi yang berubah menuntut pula perubahan pada sistem.

Ada begitu banyak bentuk yang diambil dalam sistem keluarga ini, tapi di sini aku akan mengikuti penggolongan yang dibuat oleh Lewis Morgan, seorang etnolog (ahli kebudayaan manusia), di akhir abad ke-19 lalu. Aku mengambil sistem penggolongan yang usianya sudah lebih dari 100 tahun ini semata karena inilah salah satu upaya pertama manusia memahami pola reproduksinya sendiri.

Morgan membagi pola-pola reproduksi manusia ke dalam empat golongan:


1. Keluarga konsanguin (consanguine family), satu sistem perkawinan di mana lelaki dan perempuan di satu generasi diperbolehkan kawin-mawin dengan bebas, tapi tidak dengan lelaki atau perempuan lain dari generasi di atas atau di bawahnya. Dengan demikian, seorang lelaki adalah “ayah” bagi semua anggota generasi di bawahnya, dan seorang perempuan akan dipanggil “ibu” oleh semua orang yang satu generasi dengan anak kandungnya. Di abad ke-19 sekalipun sistem ini sudah tidak lagi dipraktekkan orang. Hanya tinggal sisanya saja, seperti sistem sosial orang Hawaii, di mana seseorang akan memanggil lelaki yang sebaya dengan ayah kandungnya sebagai “ayah” dan perempuan yang sebaya dengan ibu kandungnya sebagai “ibu”.


2. Keluarga punaluan (punaluan family), sistem di mana, di samping larangan kopulasi antar generasi, saudara sekandung juga tidak lagi diperbolehkan saling mengawini. Sampai akhir abad ke-19, sistem ini masih banyak ditemukan di seluruh penjuru dunia. Di kepulauan Shakalin, misalnya, seorang perempuan dari bangsa Gilyaks, yang menjadi istri seorang lelaki, secara otomatis turut mengawini pula saudara kandung suaminya dan suami dari saudari-saudari sekandungnya. Demikian pula lelaki itu, otomatis mengawini saudari kandung istrinya dan istri dari saudara-saudara sekandungnya. Sistem kekerabatan ini diberi nama dari sistem serupa yang merupakan bagian kebudayaan Hawaii, di mana para suami yang terikat pada istri yang sama (atau para istri yang terikat pada suami yang sama) saling memanggil punaluan – yang artinya rekanan. Selain di kepulauan Shakalin dan Hawaii, sistem ini juga ditemukan di tengah masyarakat Aborigin Australia.


3. Keluarga berpasangan (pairing family), sistem di mana satu keluarga tinggal terdiri dari satu orang lelaki dan satu orang perempuan, tapi hubungan ini dapat diputus oleh salah satu pihak tanpa ada hambatan. Bentuk ini adalah transisi (peralihan) dari sistem keluarga berkelompok ke keluarga individual. Seringkali dalam tahap transisi ini, sisa dari sistem lama masih tertinggal. Misalnya, pada akhir abad ke-19 orang-orang di kepulauan Balearik (Spanyol) atau suku Bareas di Etiopia ditemui menganut satu budaya di mana seorang perempuan yang menikah harus terlebih dahulu mengadakan kopulasi dengan saudara-saudara suaminya, bahkan si suami mendapat giliran terakhir. Orang-orang di Alaska dan suku Tahus di Meksiko bagian utara memiliki kebiasaan lain, di mana para shaman atau pemimpin suku mendapat hak pertama setelah malam upacara pernikahan. Kebiasaan ini masih terus tersisa di Eropa sampai abad pertengahan dalam bentuk hak primae noctis.


4. Keluarga berpasangan tunggal (monogamous family) adalah bentuk keluarga yang kita kenal saat ini. Seharusnya, dalam keluarga semacam ini tidak ada lagi perselingkuhan, bigami (beristeri dua) atau poligami (beristeri banyak). Tapi, itu angan-angan belaka. Perselingkuhan menjadi penyakit akut dalam sistem monogami. Sementara beberapa lembaga masyarakat menganjurkan poligami, yang kiranya merupakan sisa ingatan kolektif manusia atas sistem perkawinan kelompok – hanya saja dalam poligami tidak dikenal kesetaraan derajat lelaki dan perempuan seperti dalam sistem perkawinan kelompok. Monogami adalah sistem di mana kekuasaan laki-laki atas perempuan berada pada puncaknya.


Penggolongan yang dibuat Morgan boleh jadi bukan penggolongan yang tepat atau dibenarkan oleh data-data yang lebih modern. Namun demikian, tidak dapat disangkal lagi bahwa, pada awalnya, manusia mengembangkan sistem perkawinan kelompok (group marriage) sebagai jawaban atas ketidakmampuan spesies ini untuk mengetahui kapan para betinanya mengalami masa subur. Dengan adanya perkawinan kelompok ini, ketika semua pria adalah “ayah” bagi anak-anak yang dilahirkan, masyarakat manusia mengambil oper tanggungjawab pemeliharaan balita dari pundak individu.


Dengan model seperti ini, tidak terhindarkan lagi, akan terdapat anak-anak yang “kurang fit” karena lahir dari bibit yang kurang baik (misalnya cacat atau menderita penyakit degeneratif, penyakit bawaan bayi). Oleh karena itulah, barangkali, masyarakat manusia mengembangkan berbagai upacara akil-baliq (initiation rituals) untuk menguji apakah seorang anak cukup sehat dan kuat untuk meneruskan keturunannya. Maka, upacara-upacara ini biasanya mengandung horor yang luar biasa. Suku Wayana, di Guyana Perancis, misalnya, mengharuskan para remaja lelaki atau perempuan melakukan upacara di mana seluruh tubuh mereka disengat semut bakau. Mereka harus bertahan tanpa mengeluh selama jangka waktu yang ditentukan. Siapa yang tidak lulus dinyatakan belum dewasa dan belum boleh menikah. Dalam buku-buku karangan Karl May, yang banyak bercerita tentang kehidupan Indian Amerika, kita temui berbagai upacara di mana anak-anak muda diharuskan bertahan dari bahaya maut, bahkan juga siksaan, sebelum dinyatakan dewasa. Nampaknya, upacara ini ditujukan agar mereka yang lemah dan tidak fit tidak akan “mengotori” himpunan genetik. Dengan kata lain, orang yang dianggap bukan bibit unggul tidak usah memiliki keturunan. Ini, menurutku, adalah bentuk paling primitif dari eugenetika (pemilihan bibit unggul) yang pada abad lalu diterapkan secara brutal dan membabi-buta oleh Hitler dengan membantai semua orang yang dianggap cacat, sakit jiwa dan bodoh.


Penelitian sejarah menunjukkan bahwa, pada awalnya, manusia menjawab persoalan seksualitas mereka dengan menjadikan aktivitas reproduksi ini sebagai bagian dari tanggungjawab masyarakat.


6. Seksualitas manusia dan sistem kepemilikan dalam masyarakatnya
Yang juga menarik adalah kenyataan bahwa perkembangan sistem perkawinan dalam masyarakat manusia berjalan sejajar dengan perkembangan sistem kepemilikan di dalamnya. Semakin ke belakang, ketika kepemilikan pribadi semakin menjadi raja, tanggungjawab untuk membesarkan balita juga semakin ditumpangkan ke pundak pribadi-pribadi. Sistem kepemilikan menentukan hak penggunaan (utilisasi) atas berbagai barang pemenuhan kebutuhan hidup. Karenanya, dalam masyarakat di mana berlaku sistem kepemilikan komunal, distribusi atas barang pemenuh kebutuhan hidup juga diputuskan bersama. Ini terlihat dalam berbagai macam suku bangsa yang masih hidup dalam tahap yang kini disebut “primitif” – satu penyebutan penuh prasangka atas masyarakat yang masih menganut sistem kepemilikan bersama.


Perkembangan di mana keluarga semakin menjadi urusan individu, bukan lagi urusan masyarakat atau urusan bersama, menurutku merupakan formasi yang merugikan bagi perempuan. Dengan mempertimbangkan bahwa seorang laki-laki tidak akan pernah sanggup memberikan sumbangan berarti dalam perawatan anak, beban untuk membesarkan keturunan jatuh sepenuhnya ke pundak perempuan.


Sialnya lagi, pergeseran dari model perkawinan kelompok ke model perkawinan perseorangan ini terjadi di tengah berkembangnya masyarakat berkelas – yang membagi anggota masyarakat ke dalam kelas-kelas penghisap dan kelas-kelas terhisap. Dalam kondisi ini, semakin tidak mungkin seorang laki-laki kelas pekerja sanggup memberi nafkah yang mencukupi bagi proses perawatan anak (yang mencakup juga jatah untuk sang induk, atau ibu). Seorang laki-laki kelas pekerja hanya akan dapat menghasilkan nafkah jika ia mempekerjakan perempuan sebagai tenaga kerja di rumah tangganya.


Beberapa ahli mencurigai bahwa perubahan pola penghidupan masyarakat, dari berburu-mengumpul ke pertanian, adalah biang keladi dari pergeseran pola kepemilikan dan pola perkawinan. Pertanian membutuhkan banyak ketrampilan (skill) yang sifatnya hanya dapat dikuasai oleh individu – karena untuk menguasai ketrampilan itu dibutuhkan begitu banyak waktu dan tenaga. Misalnya, teknik pengolahan logam atau pembuatan gerabah. Demikian juga dengan ketrampilan bertanam satu jenis tanaman atau merawat satu jenis ternak. Berlawanan dengan aktivitas berburu, yang sampai sekarang masih tetap harus dilakukan secara kolektif, pertanian mendorong orang untuk mengkhususkan diri pada bidang tertentu dari kerja pertanian itu.


Pertanian, pada awal kemunculannya, juga hanya memiliki satu pilihan untuk peningkatan hasil, yakni dengan perluasan areal tanam (ekstensifikasi). Untuk keperluan ini, dibutuhkan begitu banyak tenaga kerja tambahan. Tidak akan terlalu mengherankan kiranya jika masyarakat, setidaknya pada masa itu, memutuskan untuk memberikan tugas khusus pada para perempuan – untuk menghasilkan tenaga kerja ekstra itu. Kondisi di mana perempuan terikat pada proses reproduksi menyingkirkannya dari lapangan produksi. Ia tidak lagi punya tenaga untuk aktif menghasilkan barang kebutuhan masyarakat. Ia juga tidak punya waktu dan tenaga memadai untuk mempelajari khasanah pengetahuan yang dikumpulkan dengan cepat oleh masyarkat bertani. Dengan demikian, peran perempuan dalam lapangan pengambilan keputusan masyarakat pun terkikis.


Dari keterangan ringkas ini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pergeseran dalam pola kepemilikan, pola produksi masyarakat dan pola perkawinan merupakan kunci untuk memahami bagaimana peran perempuan dalam masyarakat manusia mengalami pergeseran.


7. Masyarakat manusia hari ini dan beberapa potensi yang dikandungnya
Saat ini, masyarakat manusia sedang berada di tahap tertinggi sistem kepemilikan pribadi. Di titik tertinggi ini, hampir tidak ada lagi kebersamaan di antara manusia. Pemujaan terhadap kepemilikan pribadi bahkan telah menjadikannya salah satu “hak asasi manusia”, yang konon telah dimiliki seorang manusia begitu ia dilahirkan. Kepentingan pribadi berada di atas segalanya, bahkan juga kepentingan umum. Sistem ekonomi-politik manusia didasarkan pada asumsi bahwa yang baik bagi individu adalah baik bagi masyarakat – seperti asumsi yang dilancarkan oleh Adam Smith, orang pertama yang menyusun pemahaman mengenai sistem yang kini kita kenal sebagai “kapitalisme”.


Namun, dialektika menggariskan bahwa ketika satu hal dibawa ke titik ekstrimnya, ia akan mulai berbalik kualitasnya. Semakin dekat satu hal ke titik ekstrimnya, akan semakin banyak unsur-unsur yang sifatnya berkebalikan dengan hal tersebut, unsur-unsur yang akan menjadi tulang punggung bagi satu hal yang baru, setelah menggulingkan dominasi penguasa lama.
Ini nampak jelas dalam dunia yang kini dikuasai sistem kapitalisme. Di tengah dunia ini, di mana individualisme dipuja sebagai dewa, sistem produksinya sudah berlangsung begitu massal dan jejaringnya mendunia. Tidak ada lagi orang yang dapat disebut “menguasai satu bidang pekerjaan”. Setiap orang (betapapun jeniusnya) hanya dapat menguasai satu aspek saja dari himpunan pengetahuan yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu jenis barang. Tanpa kerja bersama, proses produksi di jaman kapitalis ini tidak akan jalan.


Proses spesialisasi (pengkhususan kerja), yang di awal kemunculannya membiakkan individualisme, kini juga mulai memunculkan banyak hal yang sifatnya justru mendorong terjadinya kerja bersama. Dengan spesialisasi, proses produksi berlangsung terlampau cepat sehingga membutuhkan sarana transportasi dan komunikasi yang ekstra cepat pula. Ini hanya akan dapat dipenuhi dengan jaringan transportasi massal-cepat (Rapid Mass Transport) dan jejaring komunikasi yang massal dan terbuka (seperti misalnya internet).


Urusan membesarkan anak kini juga semakin menjadi urusan publik. Gairah kapitalisme untuk memperluas jejaring produksinya memaksa banyak perempuan untuk memasuki lapangan produksi. Akibat dari proses ini, perawatan anak telah banyak diserahkan pada para pekerja domestik (yang kita kenal sebagai “pembantu rumah tangga”) atau rumah-rumah penitipan anak (“daycare”).


Di pihak lain, teknologi biosintetik kini tidak lagi terbatas pada mahluk-mahluk bernyawa. Dengan kemampuan pengetahuan yang dimilikinya, Manusia telah berhasil melompati keterbatasan proses evolusi. Awalnya, pengetahuan tentang proses biosintetik ini diperlukan untuk meningkatkan hasil produksi pertanian dan peternakan – seperti bagaimana mencampur gen untuk mendapatkan bibit unggul bagi ternak dan tanaman. Namun kini manusia telah dengan gagah berani melangkah ke arah yang tak pernah terpikirkan selama milyaran tahun evolusi kehidupan di muka bumi: bagaimana menciptakan mahluk hidup sendiri. Manusia memulainya dengan teknik persilangan, teknik setek dan kultur jaringan, teknik manipulasi genetik. Kini Manusia telah sampai pada inseminasi buatan, operasi ubah kelamin, bayi tabung dan kloning. Beberapa percobaan yang lebih mencengangkan dan kontroversial, seperti membuat laki-laki dapat melahirkan dan menyusui, juga telah dilakukan di beberapa tempat (sekalipun, dengan bijaksana, disembunyikan dari pengetahuan publik). Tapi, setidaknya ada satu film (aku lupa judulnya, yang aku ingat salah satu pemerannya Danny de Vito) yang secara komedi melontarkan kemungkinan lelaki hamil. Peluang mengakali keterbatasan evolusi – pilihan strategi menguntungkan betina atau menguntungkan jantan – dapat diraih jika berbagai percobaan ini dibawa ke arah yang menguntungkan publik.
Kembalinya perempuan ke lapangan produksi, munculnya kembali sistem kerja bersama dan tergerusnya peran keluarga monogami (di mana ibu ditempatkan sebagai pekerja domestik), dapat diduga, merupakan faktor yang menyangga kembalinya ketertarikan manusia kepada imaji tentang tubuh yang telanjang. Ini, menurutku, adalah bagian dari kembalinya seksualitas ke dalam urusan publik.


Memang, saat ini, yang sanggup memanfaatkan kembalinya perhatian manusia kepada urusan seksual ini adalah kapitalisme. Sebagaimana segala hal lain, sebagaimana yang diatur dalam hukum besi kapitalisme, seksualitas juga ditempatkan dalam pemberhalaan komoditi (commodity fetishism) – segala sesuatu adalah barang dagangan. Maka, yang pertama kali melihat ini sebagai peluang adalah para kapitalis, yang memuntir seksualitas ini ke dalam sebuah eksploitasi bentuk baru: eksploitasi atas ketelanjangan manusia.


Padahal, jika masyarakat mengakui bahwa seksualitas adalah sebuah urusan publik – terutama dalam soal penyediaan kebutuhan perawatan anak dan penciptaan keturunan berkualitas unggul – gejala yang sekarang muncul di masyarakat merupakan hal yang sangat positif. Ketertarikan manusia pada hal-hal yang berbau seksual, jika dibawa menjadi urusan publik dan dibicarakan secara terbuka, akan membuka banyak kemungkinan baru dalam soal kemampuan bertahan hidup sebagai satu spesies. Kesehatan reproduksi, misalnya, sudah mulai masuk dalam ruang publik. Pendidikan yang menyangkut bagaimana menikmati seks secara sehat dan bertanggungjawab juga sudah masuk. Yang belum masuk adalah pembicaraan tentang peranan seksual laki-laki dan perempuan (baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat) dalam proses pengembangan generasi baru umat manusia yang berkualitas. Termasuk peran laki-laki dalam reproduksi, kemungkinan perempuan memilih bibit yang unggul bagi keturunannya dan bagaimana masyarakat mengatur penyediaan sumberdaya bagi perawatan generasi baru. Atau beberapa hal lain yang lebih imajinatif, seperti kemungkinan laki-laki memilih untuk hamil dan menyusui atau rekayasa genetika terhadap manusia.


Jika ini terjadi, jelas perkawinan monogami akan terguling. Bukan oleh poligami. Bahkan mungkin juga tidak kembali pada perkawinan kelompok. Tapi, mungkin, menjadi sistem baru di mana lelaki dan perempuan hidup berpasangan sebagai keluarga – untuk menikmati hidup (dan seks, tentunya) – tanpa terbebani terlalu berat lagi dengan persoalan membesarkan anak. Anak telah menjadi tanggungjawab bersama seluruh anggota masyarakat, direncanakan dan diatur bersama agar mendapatkan generasi manusia baru yang lebih unggul daripada yang pernah ada dalam 120.000 tahun sejarah evolusi Homo sapiens.


Tapi, persoalan-persoalan yang lebih lanjut ini tidak akan dapat dilakukan secara bertanggungjawab apabila sistem pengambilan keputusan dalam masyarakat masih dikuasai oleh beberapa gelintir orang. Basis bagi pengambilan keputusan dalam skala massal sudah tersedia – internet, telepon genggam, komputerisasi – tinggal bagaimana kita menggulingkan sistem yang dikuasai segelintir orang ini dan menggantinya dengan sistem di mana semua orang memiliki hak dan kewajiban yang setara terhadap pengambilan keputusan.


Umat manusia kini menggenggam potensi untuk bergerak jauh lebih cepat daripada apa yang pernah dicapai oleh proses evolusi secara alami. Proses ini juga akan dapat menguntungkan bagi manusia sebagai spesies, jika keputusan-keputusan tentang hal ini juga diambil secara sadar oleh spesies Homo sapiens ini. Kata “sapiens” berarti “yang mampu berpikir”. Artinya, sebagai spesies, tanpa memandang perempuan atau lelaki, kita harus memiliki satu sistem yang membuat setiap anggotanya memberi sumbangan pemikiran bagi perkembangan spesiesnya sendiri.


8. Kesimpulan
Dengan begini, aku jadi berani mengambil kesimpulan bahwa kita harus menolak seruan “Jangan Telanjang di Depan Kamera”. Seruan ini didasarkan pada moral, sesuatu yang berasal dari jaman perkawinan monogamis – di mana perempuan ditempatkan sebagai pekerja domestik. Kita harus membela hak setiap orang untuk memperlakukan tubuhnya sendiri dengan cara yang terbaik untuk diri dan masyarakatnya.


Sebaliknya, kita akan menolak segala bentuk prostitusi, pornografi dan eksploitasi lain terhadap tubuh perempuan dan laki-laki – yang dilakukan demi kepentingan pemilik modal. Kita tidak menolak ketelanjangan tapi kita akan menghukum orang yang memanfaatkan ketelanjangan itu demi kepentingan yang sifatnya menindas atau eksploitatif. Kita akan mendorong terus agar seksualitas dan segala hal yang bersangkutan dengan proses reproduksi dan perawatan anak agar semakin masuk dalam wilayah publik dan dilindungi serta dirawat oleh masyarakat – sekaligus menolak adanya campur-tangan lembaga-lembaga publik dalam pilihan-pilihan pribadi yang bersangkutan dengan pilihan seksual seseorang. Termasuk di dalamnya menolak pilihan yang dibuat lembaga yang didominasi laki-laki terhadap cara perempuan berpakaian (atau tidak berpakaian). Dengan kata lain, kita mengembalikan seksualitas ke tempatnya semula, tempat terhormat yang menentukan dalam proses perkembangan evolusi manusia.


Evolusi boleh jadi menciptakan mekanisme yang menguntungkan salah satu pihak, entah itu yang betina atau yang jantan. Tapi, kita sudah menggenggam potensi untuk tidak lagi mempedulikan pembedaan itu. Sejak awal perkembangan evolusinya, manusia sudah memilih untuk mengatasi persoalan evolusi itu melalui proses sosial. Dan proses sosial yang pertama dibangun oleh manusia adalah sistem yang memaksa semua anggota komunitasnya (baik perempuan maupun laki-laki) bertanggungjawab setara dalam proses reproduksi. Akibat pergeseran sistem sosial, munculnya ketimpangan-ketimpangan dalam masyarakat manusia itu. Kini, ada potensi untuk menghapus ketimpangan-ketimpangan itu dan mengembalikan kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam proses reproduksi dan seksualitas.


Kesetaraan gender memang bukan bagian dari mekanisme yang diciptakan alam dalam proses evolusinya. Tapi, sejak awal, kesetaraan inilah yang membuat Homo sapiens dapat bertahan hidup dan berkembang menjadi penguasa bumi. Sudah tiba saatnya kita mengembalikan kesetaraan itu – kesetaraan dalam hak atas tubuh, kesetaraan dalam status sosial dan kesetaraan dalam pengambilan keputusan dalam masyarakat.


9. Bacaan lebih lanjut
Dalam penelusuranku, aku menemukan sebuah buku, “Why is Sex Fun, the evolution of human sexuality” karya Jared Diamond (Basic Books, New York: 1997). Sebagaimana karya Jared Diamond lainnya, buku ini juga sangat lugas dan menggelitik kekritisan pemikiran. Dalam buku ini, Diamond memaparkan berbagai aspek seksualitas manusia. Mulai dari peran seks dalam evolusi, manfaaat pembagian gender dalam membangun kemampuan spesies dalam bertahan hidup, sampai bagaimana sistem sosial terbangun sebagai bagian dari strategi evolusi masing-masing spesies. Setelah “berdialog” dengan buku ini, aku mencapai beberapa kesimpulan yang aku jadikan tulisan ini. Tulisan ini tidak berkaitan dengan pandangan Diamond, yang aku pikir banyak mengandung kekeliruan asumsi, tapi memang sudut pandang yang diambilnya sangatlah menarik.

Buku kedua yang aku pakai di sini adalah karya Muriel Gargaud, dkk., “From Suns To Life: a chronological approach to the history of life on earth” (Springer, Dordrecht: 2006). Buku ini sangat teknis dalam pembahasaan, sehingga agak sulit diikuti oleh orang-orang yang tidak mendapatkan latihan formal dalam ilmu arkeologi-bumi (geoarcheology), fisika perbintangan (astrophysics), kimia kehidupan (biochemistry) dan biologi evolusioner (evolutionary biology) – seperti aku. Tapi data di dalamnya sangat mengagumkan dan mencengangkan. Terpaksa aku cantumkan di sini sebagai salah satu buku yang dianjurkan. Siapa tahu saja ada yang berniat mencoba-coba.

Buku lain yang aku anjurkan adalah karya Ted Grant dan Alan Woods, “Reason in Revolt” (WellRed Books, London: 1995). Buku ini merupakan upaya untuk menunjukkan penerapan dialektika pada gejala-gejala alam. Sangat baik dibaca, sekalipun dianjurkan untuk mendiskusikan kembali implikasi ideologis dan saran-saran yang diajukan oleh penulisnya, karena kedua penulis mewakili satu aliran politik yang mereka definisikan dengan baik, yakni Trotskyisme. Tidak selalu cocok untuk diterapkan dalam konteks kita.

Untuk karya klasik, aku menganjurkan untuk membaca karya Frederick Engels, “The Origin of Family, Private Property and the State” yang dapat diunduh dari internet dengan alamat www.marx2mao.com/M&E/OFPS84.html. Buku yang didasarkan pada penelitian Lewis H. Morgan yang diberi judul “Ancient Society, or Researches in the Lines of Human Progress from Savagery, Through Barbarism to Civilization” ini sangat gamblang menjelaskan perjalanan sejarah pembentukan keluarga dan represi terhadap peran perempuan dalam masyarakat.
Untuk memahami sejarah perkembangan masyarakat, buku karya Chris Harman, “A People’s History of the World” dapat dibaca. Buku yang dapat diunduh dari tp://www.istendency.net/node/view/7 ini sangat baik dalam menggambarkan posisi dan hubungan sebab-akibat dari berbagai peristiwa dalam sejarah.

Sumber lain, yang tidak secara langsung berhubungan dengan masalah reproduksi seksual, tapi menurutku sangat tepat menggambarkan konteks perkembangan fisiologis (struktur tubuh) manusia yang melahirkan kecerdasan dan strategi bertahan hidup secara sosial, adalah karya-karya W.H. Calvin, yang dapat diunduh di http://www.williamcalvin.com/. Anda akan menemukan begitu banyak buku yang dapat diunduh gratis dan dalam bahasa yang sangat populer.

Bahan-bahan tentang arkeologi dan antropologi aku ambil dari artikel-artikel dalam National Geographic. Tidak jarang artikel-artikel di sini memiliki bias kelas yang tajam. Maklum saja, majalah ini didanai besar-besaran oleh lembaga-lembaga bisnis Amerika Serikat. Tapi, sebagai sumber data, sayang bila kita lewatkan begitu saja.

Memang sayang, seribu sayang, buku-buku ini dalam bahasa Inggris. Tapi, untuk itulah serikat rakyat perlu keluar dari kungkungan ekonomisme, membatasi diri pada tuntutan ekonomis dan kesejahteraan yang sifatnya instan. Serikat perlu membangun pula kemampuan anggotanya menyerap ilmu pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat – seperti kemampuan berbahasa asing. Sebaliknya, itulah juga gunanya orang-orang yang memiliki akses pada pengetahuan untuk “menerjemahkan” (dalam arti menuliskan ulang dalam bahasa Indonesia yang mudah dipahami) teori-teori ilmu pengetahuan yang rumit, agar dapat diserap oleh para pimpinan yang tumbuh dari kalangan rakyat pekerja. **

Jakarta, 20 September 2007
* Ketua Divisi Pendidikan KP PRP

Tidak ada komentar: