Jumat, 04 April 2008

FITNA dan Masalah Kebebasan

Oleh Coen Husain Pontoh*

1 Apr 2008 04:52

Dear all,

Dari jauh, sayup-sayup saya mendengar khabar, membaca berita, bahwa telah terjadi gelombang protes besar-besaran terhadap beredarnya film FITNA, garapanseorang politisi Belanda,pemimpin the Party for Freedom (PVV), Gert Wilders.Tetapi, saya tidak ingin membicarakan gelombang protes itu, terutama yang datang dari sebagian kalangan muslim. Saya ingin mengajak kita semua, untuk mendiskusikan satu tema penting berhubungan dengan kasus film FITNA itu yakni, tema kebebasan.Saya mengangkat masalah ini, ketika membaca satu pernyataan bersama yang dilakukan oleh beberapa rekan progresif seperti Kontras, YLBHI, dan Imparsial, yang ikut mengecam film FITNA. Menurut Edwin Partogi dari Kontras (lihat di sini,
http://www.detiknew/ s.com/indexfr. php?url=http: //www.detiknews. com/index. php/detik. read/tahun/ 2008/bulan/ 04/tgl/01/ time/170936/ idnews/916748/ idkanal/10), kebebasan berpendapat masih bisa dikurangi atas nama hak dan kepentingan yang lebih luas dan tidak boleh mengurangi makna substansial kebebasan itu.

Bagi saya, pernyataan bersama itu, menyimpan masalah yang serius. Secara sederhana, saya membagi kebebasan atas dua: pertama, kebebasan pada tingkat gagasan; dankedua, kebebasan pada level praktis-operasional . Pada tingkat gagasan (cara berpikir, produksi pikiran baik yang berbentuk buku, film, atau lukisan), tidak boleh dilarang. Sebagai contoh, kita tidak bisa melarang seorang Imam Samudra untuk berpidato atau berdakwah tentang gagasannya soal jihad. Kita juga tidak bisa melarang peredaran buku karya Imam Samudra, yang berisi propaganda tentang jihad. Sama seperti, kita menolak pembakaran buku-buku sejarah yang tidak memuat kalimat PKI di belakang kata G30S, atau menolak sweeping terhadap peredaran buku-buku Marxis atau sejenisnya.

Dan menurut saya, film FITNA itu masih berkutat di sisi gagasan. Film itu mencerminkan pemahaman Wilders terhadap Islam yang diketahuinya, berdasarkan preferensi-preferen si yang dimilikinya. Dengan demikian, menurut saya adalah keliru jika kalangan progresif ikut-ikutan gelombang protes terhadap peredaran film FITNA, apalagi jika itu mengatasnamakan kebebasan. Secara historis, kita telah dibuat mabuk dengan alasan melarang kebebasan atas nama kepentingan yang lebih luas. Bukankah, ketika Orba melarang penyebarluasan ajaran Marxisme/Leninisme, juga atas nama hak dan kepentingan umum ini?

Menjadi soal, jika kemudian Gert Wilders, atas nama kebebasan, melakukan tindakan kriminal, misalnya, membom masjid, membunuh para ulama yang mengobarkan perang jihad, dsb. Pada titik ini, kita bisa memvonis bahwa Wilders atas nama kebebasan ia telah menciderai kebebasan itu sendiri, dan karena itu harus ditindak. Perlakuan yang sama, juga kita berikan kepada para pembakar buku sejarah itu, atau kepada mereka yangmenyerbu kelompok Ahmadiyah, dimana mestinya mereka harus ditindak karena telah berbuat kriminal.Bagaimana jika kebebasan itu digunakan untuk mengobarkan perang, kebencian terhadap agama, ras, atau bangsa tertentu?

Ada contoh menarik di AS. Beberapa waktu lalu, salah satu pendeta konservatif paling berpengaruh, Pat Robertson, berkhotbah yang isinya adalah meminta pemerintah AS dalam hal ini CIA, untuk membunuh Hugo Chavez. Kontan khotbah ini mendatangkan polemik luas dalam media AS dan sedikit menganggu politik luar negeri Washington. Tapi, apakah Robertson ditangkap dan diintergoasi? Tidak, ia dbiarkan saja. Orang banyak berpendapat, "dasar pendeta gila."Kalau ada pernah menonton film komedi romantis berjudul Eurotrip, tentu akan melihat betapa film ini telah menghina umat Katolik. Di bandingkan karya Wilder, film ini sangat menghina tahta suci. Dalam satu bagian dari film itu digambarkan, bagaimana sepasang remaja bercinta di ruang pertobatan di dalam gereja. Pantat perempuan itu bahkan menempel jelas di kaca tenmpat dimana pastor biasanya menerima umat yang mau memberikan pengakuan dosa. Apakah film itu ditarik dari peredaran? Tidak.Contoh paling populer, adalah novel karya Dan Brown, Da Vinci Code, yang isinya mengobrak-abrik keyakinan suci umat Katolik. Apakah buku itu ditarik dari peredaran? Tidak.Saya juga telah menonton film FITNA itu, dan menurut saya secara sinematik dan artistik, film ini sangatlah buruk. Secara politik, film ini politically incorrect.

Wilders adalah orang yang memahami Islam dengan sangat dangkal. Dan dalam konteks ini, saya setuju bahwa film ini tidak menyumbang pada pemahaman bersama atas Islam. Tapi, ini bukan alasan untuk melarang peredaran film ini atas nama kebebasan.

*Saat ini menjadi editor untuk Indo Progress, sebuah blog yang berisikan pemikiran-pemikiran progresif dengan kontributor-kontributor terpilih. Silakan mengunjunginya di http://indoprogress.blogspot.com


Tidak ada komentar: