Jumat, 11 April 2008

AIR: KEKAYAAN ALAM RAKYAT INDONESIA, BENARKAH?

Oleh Sri Lestari *

(Disadur dari Buletin SADAR)

Sudah jadi kebiasaan Udin hampir delapan kali setiap hari mendorong gerobakpenuh air seharga Rp. 1.200/jerigen. Udin cukup kewalahan melayanipermintaan pelanggannya di komplek perumahan Rancaekek, Bandung. Saat ini
ada banyak orang seperti Udin hampir di seluruh Negeri.Air merupakan salah satu sumber kekayaan alam Indonesia yang berlimpah danpaling berharga bagi rakyat -- bahkan sebelum ada yang namanya NegaraIndonesia.

Air setiap saat dimanfaatkan, baik untuk mandi, mencuci, minum,memasak, mengairi sawah, kebun. Kini tak mudah mencari air sungai yangbersih, bening dan jadi pemandangan indah, yang dipakai ibu-ibu mencucisementara anak-anaknya berenang dengan riang. Yang diperlukan agar tanamanbisa subur, dan tempat hidup ikan-ikan. Semua itu kini hanya bisa kita temuidi tembang kenangan. Karena air sudah jadi sumber kekayaan hanya bagisegelintir individu yang serakah dan kuasa. Kaum pemodal begitu jeli menjadikan sumber kekayaan Indonesia sebagai barangyang diperdagangkan.

Setelah minyak bumi, emas dan tambang dikeruk, hutandan tanaman digunduli, tenaga buruh dijual murah, kini giliran air jadisumber kekayaan pribadi bagi kaum pemodal baik asing maupun lokal. Tiap hariberjuta liter air diambil dari sumbernya untuk keperluan industri berat, dankini pun dikerahkan juga untuk memenuhi ketergantungan membeli airkemasan/botol. Kapitalisme bisa dengan sangat leluasa mengubah air menjadibarang dagangan. Bagaimana dengan sikap pemerintah kita?

Pemerintah yang saat ini berkuasa justru mengambil kebijakan politik ekonomi yang memihakkepentingan pasar. UUD 1945 yang mengatur tentang pengelolaan sumber daya alam pun kini hanya menjadi tembang kenangan.

Bagaimana Sikap Masyarakat?

Sebagian besar masyarakat telah dibutakan dengan tipu muslihat kapitalismeyang difasilitasi pemerintah dalam menciptakan kondisi seolah-olah kitaberada pada jaman yang serba sehat, praktis, elit dan modern. Kita bisalihat hampir di tiap rumah mempunyai alat menyimpan air kemasan/galon."Rumah belum lah lengkap tanpa air isi ulang, minum belum lah sehat tanpaair botol," itu lah fenomena yang kita lihat dan rasakan, lewat berbagaiiklan di media baik cetak maupun elektronik.

Di perkotaan ada ironi tambahan, setelah PDAM diswastanisasi, banyak kerugian yang dirasakan olehwarga. Selain biaya berlangganan bertambah besar, juga pelayanannya tidaklagi seperti dulu yakni 24 jam. Bahkan seringkali mati, airnya keruh.Kapitalisme dengan kuasanya mampu menghipnotis masyarakat Indonesia tanpaharus memikirkan akibatnya bagi masyarakat dan alam.Dampak dari Penguasaan Sumber Alam oleh Swasta Setelah hutan-hutan digunduli, kini sumber mata air yang tersisa untukmengairi sawah dan kebunnya telah disedot pula oleh perusahaan-perusahaan.Jatah air yang diterima oleh petani tidak seimbang dengan kebutuhan pengairan bagi sawah dan ladangnya, sehingga terjadi ketidakmerataan dalampemenuhan pasokan air bagi petani. Bahkan air yang dibuang olehperusahaan-perusahaan tersebut telah tercampur limbah Industri. Akibatnyakini panen raya terjadi hanya di beberapa daerah saja itu pun yang belumterjamah oleh industri-industri.

Sebagai contoh di Rancaekek, dimana sebelumtahun 1994 per hektar sawah menghasilkan 1,4 ton gabah, namun setelahindustri massif kini hanya didapat hasil 600-800 kg gabah. Hal ini didapat akibat: pertama, sistem pengairan sawah dan sistem irigasisecara umum tidak terencana dan sesuai dengan kebutuhan maupun strukturtanah yang ada. Kedua, penataan industri dan IPAL (Industri PengolahanLimbah) Industri tidak memperhatikan kepentingan petani serta lingkungan.Ketiga, jenis padi tidak disesuaikan dengan keadaan tanah dimana mulaikekurangan air karena program pertanian top-down.

Dampak yang diterima secara umum oleh masyarakat perkotaan dengan banyaknyaindustri yang tidak ramah lingkungan adalah kurangnya pasokan air bersihyang dipergunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Air sungai yang dulu bersihkini kotor karena limbah-limbah industri. Kebutuhan air masyarakat terutamadi perkotaan, tidak mampu lagi tercukupi karena sumur warga kalah bersaing dengan sumur artesis pabrik. Air sumur rakyat warna airnya menjadi kuningdan bau hingga tidak dapat digunakan. Masyarakat harus membeli air untukmemenuhi kebutuhan hidupnya. Kondisi ini yang membuat kesehatan masyarakatsecara umum merosot parah, selain itu, memaksa pengeluaran asyarakatbertambah besar.

Nasionalisasi

Harus ada upaya serius dari seluruh elemen masyarakat untuk pembenahanpersoalan air yang ternyata tidak berdiri sendiri. Sumbernya adalah sistemekonomi yang menghisap rakyat tapi memberi keleluasaan bagi swasta menguasaiair serta kehidupan ekonomi terkait. Melihat kenyataan ini, nasionalisasiproduksi sumber alam serta aset negara jadi tuntutan mendesak dan harusdibangun komunikasi antara organisasi rakyat (baik sektor lingkungan, buruh,petani maupun nelayan) agar mampu membuat kekuatan perlawanan. Nasionalisasi berarti kembali ke khittoh UUD 45 pasal 33, bisa jadi isubersama yang menyatukan elemen rakyat.

Bagaimanapun sumber alam serta isibumi harus dipergunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat.
"Dan Tuhan pun akan marah, karena air dan isi bumi yang diciptakanNya dikuasai dengan serakah oleh segelintir orang. Sementara yang lain menderitakarenanya..." (Mang Udin, penjual air jerigen keliling)

* Penulis adalah anggota Perhimpunan Rakyat Pekerja, Bandung, sekaligusanggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

Tidak ada komentar: