Jumat, 11 April 2008

SUSAH MINYAK DI NEGERI LADANG MINYAK

Oleh Beno Widodo *

(Disadur dari Buletin SADAR)

Beberapa bulan terakhir rakyat di negeri kita disuguhi kenyataan yang serba pahit dan sulit, selain bencana di mana-mana, kebijakan! negara yang menyulitkan rakyat, diperparah dengan kelangkaan dan harga yang melambung tinggi pada minyak dan gas elpiji. Kelangkaan minyak dan membumbungnya harga minyak telah menghadirkan kesulitan luar biasa bagi rakyat kecil karena penghasilan yang
pas-pasan. Pemerintah berdalih ini semua karena harga minyak dunia melambung di luar batas normal sampai menginjak level tertinggi sebesar 100,7 dolar/barel adalah situasi terparah sepanjang sejarah kapitalisme dunia. Namun pemerintah dalam hal ini SBY hanya mengarahkan rakyat untuk irit menggunakan minyak dan energi. Benarkah itu solusi atau itu sebenarnya kegagapan dari pemerintah?

Sebenarnya kalau kita mau menengok ke belakang, krisis minyak ini telah diprediksi oleh jauh-jauh hari oleh banyak kalangan termasuk ! para pengusaha internasional itu sendiri. Kita bisa lihat pada bulan September 2001, Pusat Analisis Penapisan (Depletion Analysis Centre) mengeluarkan memo yang menyebutkan, “Dunia sedang menghadapi masalah serius dalam cadangan hidrokarbon. Suplai minyak dunia saat ini akan menghadapi instabilitas politik. Jika investasi baru secara massif dalam produksi minyak Timur Tengah tidak berlangsung dengan baik, maka akan menyebabkan kenaikan jumlah produksi, namun itu hanya dalam jumlah terbatas, pengecualian satu-satunya adalah Irak…” ! Memo itu juga menyatakan akan terjadinya resesi suplai minyak. Memo itu menyatakan, “Prediksi ideal terjadinya resesi minyak itu diperkirakan lima sampai sepuluh tahun dari sekarang.”

Prediksi tersebut juga menyatakan terjadinya resesi gas alam setelah 20 tahun dari sekarang. Pada bulan Mei 2003 selama berlangsungnya Konferensi seputar Masalah Resesi Minyak, Matew Simons, ahli energi Amerika sekaligus penasehat Bush dan Cheney, yang ikut hadir dalam konferensi tersebut menyatakan, “Apa yang dimaksud dengan resesi dan kapan?” Dia menjawab pertanyaan itu dengan mengatakan, “Sesuatu yang mencemaskan adalah ketika resesi itu tinggal dalam jangkauan tangan, bukan dalam hitungan bertahun-tahun dari sekarang.”

Prediksi itu terbukti sekarang dengan berkepanjangan serta menghawatirkan perkembangan kapitalisme itu sendiri.! Beberapa analis sempat memprediksi akan ada perang dunia akibat krisis ini karena memperebutkan sumber migas. Namun prediksi ini agaknya kurang mendekati kebenarannya karena energi alternatif menjadi proyek utama untuk mengatasi krisis ini. Namun sumber energi alternatif seperti batu bara, biodiesel belum mampu secara massif bisa dikembangkan.

Di lain hal, penyebab naiknya harga minyak dunia ini adalah faktor pasokan minyak yang mengalami penurunan akibat krisis di beberapa negara Timur Tengah penghasil minyak seperti Irak dan Afganistan. Sementara penghasil minyak lainnya yang selama ini menjadi sumber pemasok minyak 5 terbesar Amerika yakni Venezuela menerapkan sistem penjualan secara ketat kepada negara-negara pembeli. Selain itu spekulasi yang terus dilakukan pengusaha minyak di Amerika karena ketakutan berle! bih juga mempercepat naiknya harga minyak dunia.

Dari melambungnya harga minyak dunia dengan mudah bisa kita lihat bahwa organisasi negara-negara penghasil minyak (OPEC) pun tidak dapat berbuat banyak, bahkan tidak dapat menikmati hasilnya. Karena tetap saja keuntungan besar diperoleh oleh perusahaan-perusahaan MNC dari Amerika dan Eropa. Kecuali negara-negara yang melakukan nasionalisasi sumber dan perusahaan migas dapat meraup keuntungan ganda, yakni dalam negeri mereka rakyatnya mendapatkan harga lebih murah serta tetap terpasok dengan lancar kebutuhan akan minyak dan negara mendapat keuntungan dari penjualan ekspor minyak mereka.

Indonesia: Miskin Karena Minyak

Kondisi ini berbanding terbalik dengan yang dialami oleh Indonesia, baik rakyat dan negaranya. Sebagai negara yang memiliki sumber daya alam berlimpah, beratus ladang minyak bertebaran dari Aceh sampai Papua, namun hari-hari sekarang rakyatnya menjerit karena minyak mahal dan langka. Padahal statistik hasil eksplorasi minyak menunjukkan grafik peningkatan.
Penyebabnya adalah pemerintah lemah dan tidak mampu mengatur suplai minyak kepada rakyatnya sesuai yang dibutuhkan karena eksplorasi migas dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing, sehingga penetapan harga dan distribusinyapun diatur oleh mereka. Ini akibat politik orde baru yang masih dilanjutkan sampai sekarang. Selain itu, membumbungnya harga minyak dunia dimanfaatkan oleh spekulan dalam negeri! untuk melakukan penimbunan minyak sehingga terjadi kelangkaan! minyak dan melambungnya harga minyak dalam negeri.

Spekulasi bidang ekonomi biasanya dikuti oleh spekulan politik dengan “menggelitik” SBY-JK untuk melakukan
reshuffle kabinet dengan alasan sebagai solusi. Tentu itu bukan solusi, selama pemerintahan memakai sistem ekonomi kapitalis yang dipraktekkan dengan menganut paham “pasar bebas.”

Resiko yang diterima rakyat begitu besar akibat sistem ini dan khusus kenaikan harga minyak dunia dan dalam negeri serta kelangkaan minyak. Selain antrian panjang menyita banyak waktu dan berimbas pada kejiwaan (psikologis) masyarakat yang terganggu. Selain itu semua harga akan merangkak dengan pasti naik, mulai dari harga makanan kecil, harga sembako, tranportasi serta harga-harga lainnya. Kenaikan itu tidak diikuti oleh peningkatan pendapatan rakyat sehingg! a kemiskinan akan menyergap rakyat dalam sekejap. Pukulan telak sisi ekonomi ini pastilah rakyat berpendapatan rendah, yakni buruh, tani, nelayan, PKL, guru dan pegawai negeri maupun prajurit-prajurit rendahan yang sangat merasakan walaupun masyarakat berpendapatan menengah juga terkena imbasnya.

Selain kondisi yang sudah diterima, ancaman juga sudah menunggu rakyat yakni PHK besar-besaran akibat ambruknya ekonomi menengah dan kecil dari kenaikan harga minyak dan listrik. Tentu dengan ancaman itu sebenarnya ekonomi Indonesia dalam ancaman besar dan akan terjadi resesi ekonomi. Namun sayang, dengan situasi yang serba sulit tersebut SBY hanya menyuruh rakyat berhemat. Apakah akan memberikan solusi? Tentulah tidak, karena rakyat sudah sangat ngirit, sudah sangat sederhana hidupnya dan sudah bekerja keras. Nam! un karena ulah spekulan dan kebijakan negara menerapkan pasar ! bebas se hingga rakyat menjadi korban.
Menyuruh hidup irit bukanlah gagasan brilian bahkan menunjukkan ketidakpedulian dari seorang presiden, dimana negerinya berlimpah minyak dan ternyata rakyatnya miskin karena kesulitan minyak? Pun dalam mencari sumber energi alternatif, rakyat tidak perlu diajari, mereka lebih cerdas dan kuat menghadapi situasi seperti itu. Yang dicari seharusnya adalah solusi jangka panjang buat negeri ini.

Nasionalisasi dan Nasionalisme

“Pemerintah diminta menegosiasi ulang kontr! ak-kontrak pertambangan yang terindikasi merugikan kepentingan rakyat. Jika pemerintah Indonesia berani melakukan ini maka akan memperoleh keuntungan jauh lebih besar dibandingkan yang diperoleh para investor asing. Mereka (para perusahaan tambang asing) tahu kok bahwa mereka sedang merampok kekayaan alam negara-negara berkembang," demikian kata Stiglitz, ekonom mantan Wakil Direktur Bank dunia beberapa waktu lalu di Indonesia.

Dalam situasi ini sudah seharusnya menyadarkan semua pihak untuk mencari solusi terbaik bagi rakyat, bukan solusi yang menghadirkan keuntungan segelintir pemodal. Gambaran keberhasilan akan nasionalisasi yang ditempuh oleh Venezuela, Bolivia dan diikuti oleh Thailand dengan berbagai variasinya (contohnya kontrak karya yang diperbaharui dengan prosentase lebih besar kepada negar! a dari pada perusahaan eksplorasi) harusnya menjadi inspirasi ! besar ba gi pemerintah. Nasionalisasi bukan saja ada sekarang dan di luar sana, tetapi kebijakan ini pernah jadi pengalaman bangsa ini di tahun paska kemerdekaan dengan menasionalisasi perusahaan perkebunan.

Kebijakan nasionalisasi dibutuhkan keberanian pemerintah dan sikap nasionalisme dari seluruh rakyat. Kalau rakyat tidak perlu diragukan lagi sikap patriotik dan nasionalismenya, namun para pejabat yang berlimpah harta selalu oportunis dan tidak lagi memiliki sikap patriotik. Maka dari situasi ini mereka bisa menunjukkannya dengan berani untuk mendukung dan menguatkan pemerintah mengambil sikap dengan menasionalisasi semua perusahaan migas di Indonesia untuk kepentingan bangsa ini.

Sikap patriotik dan nasionalisme ini juga harus dibangun dan dimiliki oleh pengusaha nasional, yang dalam kondisi seperti sekarang serta akibat kebijakan pasar bebas terlibas oleh perusahaan MNC-TNC. Dengan sikap ini, nasionalisasi menjadi kepentingan bersama serta menjaga kelangsungan industri nasional itu sendiri.
Hampir sampai sekarang nasionalisasi masih menjadi bahan perbincangan di luar lingkar kekuasaan, karena orang-orang yang dalam lingkar kekuasaan sangat ketakutan pendapatan mereka berkurang. Untuk itulah diskusi soal nasionalisasi, dan pembangunan kekuatan politik rakyat harus terus ditingkatkan kualitasnya sekaligus menawarkan kepada semua kalangan yang masih memiliki jiwa patriotik dan nasionalisme yang tinggi untuk menyelamatkan bangsa ini dari cengkeraman imperialisme (penjajah! an baru dengan bentuk baru) yang terpraktekkan dalam sistem ek! onomi pa sar bebas.

*Penulis adalah Pengurus Pusat Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

Tidak ada komentar: