Selasa, 25 Maret 2008


PEREMPUAN-PEREMPUAN TANGGUH DI ISTANA:
CERITA PERJUANGAN BURUH PEREMPUAN DALAM MENUNTUT HAK
Oleh Kembang Fajar*

(Disadur dari Buletin SADAR)


Mendengar kata “Istana,” maka yang akan terbayang di benak kita adalah satu bangunan megah sebuah simbol kekuasaan. Bukan, bukan itu yang dimaksud “Istana” dalam tulisan ini. Melainkan sebuah nama pabrik PT. Istana Magnoliatama, di kawasan Kapuk Indah Jakarta Utara. Pabrik yang dimiliki oleh sorang ! pribumi bernama Andreas Sulaiman yang telah melakukan PHK atas! 460 ora ng buruhnya yang sebagaian besar adalah perempuan pada bulan Juli tahun lalu.
Alasan penutupan pabrik sendiri tidak tersebut dengan jelas, karena memang tidak melibatkan buruh dan terkesan mendadak. Namun para buruh tidak begitu saja menerima keputusan perusahaan atas keputusanya. Berbagai aksi penolakan terus mereka lakukan, dan pengaduan ke lembaga negara terkait (Disnaker) juga sudah mereka tempuh. Hanya dengan imbalan 2,5 kali gaji, mereka diminta menandatangani surat perjanjian pengunduran diri, tak terkecuali bagi buruh yang sudah bekerja sampai dengan 24 tahun.

Menduduki pabrik adalah jalan yang mereka pilih untuk bisa bertahan dan menuntut haknya agar dapat dipekerjakan kembali dan diberikan upah selama proses, sesuai dengan UU yang berlaku. Usaha menduduki pabrik ini tentu mendapat perlawanan dari pihak perusahaan, mulai dari cara kekerasan dengan mendatangkan preman bayaran untuk mengusir mereka sampai dengan pemutusan listrik dan air di pabrik.
Kurang lebih tersisa 100 buruh perempuan yang sudah selama 8 bulan, tak kenal lelah terus memperjuangkan apa yang mereka yakini adalah benar. Menghidupi perjuangan mereka dengan mengamen di jalan untuk biaya makan mereka selama bertahan di pabrik, mendapatkan caci maki dari sesama buruh yang berada di pabrik sekitar mereka juga menjadi suara keseharian y! ang mereka dengar. “Halah, ngapain tidur malem-malem! di pabr ik kurang kerjaan aja. Udah terima aja………”

Di tengah perjuangan, mereka juga tak melupakan ibadah. Bahkan mereka juga menggelar Shalat Idul Fitri di pabrik tersebut, demi menjaga agar aset-aset dan dokumen pabrik tidak dibawa pergi oleh pemilik, yang akan berimbas karena mereka tak lagi punya nilai tawar.
Ditemani dua orang teman saya, satu seorang fotografer dan satu seorang aktivis HAM. Satu hari sebelum perayaan hari perempuan sedunia, tepatnya tanggal 7 Maret kami berkunjung ke Istana, dan mendengar cerita tangguh permpuan-perempuan ! di sana dalam memperjuangkan kebenaran yang mereka yakini. Sebuah pelajaran atas sebuah nama perjuangan kami dapat di sana, sebuah applaus riuh kami salutkan atas perjuangan mereka, dari cerita keseharian mereka dalam bertahan untuk meraih kemenangan.
Adalah Sriatun, seorang ibu satu anak yang sudah bekerja selama 11 tahun, dan sekarang anaknya dititipkan ke orang tuanya di kampung halamanya. Yang mendapatkan dukungan penuh dari keluarganya, baik suaminya ataupun orang tuanya untuk terus bertahan dan berjuang menuntut hakanya. Ingin tahu sejauh mana akhir dari cerita perjuangannya. Dengan meneteskan air mata dan sesekali berhenti bercerita sambil mengusap air matanya, Hera bercerita tentang apa yang dia lakukan. Ia sempat berjualan gorengan untuk menutupi kebutuhan hidup ! sehari-harinya yang tek cukup hanya dengan mengandalkan pemasu! kan dari suaminya yang juga seorang buruh. Namun sayang, usaha berjualannya terhenti lantaran melonjaknya harga kebutuhan pokok belakangan ini.
Berbeda lagi dengan Endar, perempuan berusia 34 tahun ini kadang sering bertanya dalam hati tentang nasibnya, dan membayangkan kapan selesai kasusnya ini. Tapi, lamunan itu tak membuatnya patah arang dengan mundur dalam langkah perjuanganya. Suaminya adalah salah satu faktor yang menguatkan langkahnya, dan untuk itu dia harus rela berpisah dengan suaminya yang akan membuka usaha di Palembang agar dapat menghidupi anaknya dan terus mendukung perjuangan istrinya.
Sementara Turyati, harus rela mendekam selama satu minggu bersama 4 orang temanya di dalam pabrik dan tak berkesempatan untuk bertemu dangan calon suaminya. Mereka terkurung di dalam pabrik, ketika berusaha mempertahankan agar dokumen pabrik tidak diambil oleh pihak perusahaan yang menyuruh 5 orang preman bayaran. Sempat hendak dipukul dengan sebuah kursi kayu oleh preman tersebut, Turyati tak mundur. Dan baru keluar dari pabrik pada tanggal 7 Agustus 2007, sementara dia akan menikah pada tangal 13 Agustus 2007.

Begitu banyak pengalaman pahit yang mereka rasakan dalam langkah perjuangan mereka. Terus dipertanyakan oleh keluarganya bahkan harus berbohong agar bisa tetap berjuang, seperti yang dialami oleh Mbak Tri y! ang kebetulan suaminya juga bekerja di pabrik tersebut. Mereka! berboho ng kepada orang tuanya, bahwa telah bekerja kembali di tempat yang lain agar tidak dirong-rong untuk mundur dari perjuangan mereka.
Namun sebuah perasaan bangga juga berada di pundak mereka, atas apa yang telah mereka lakukan dan mereka yakini benar. Jalan panjang masih harus mereka tempuh untuk sebuah kata kemenangan, kerikil dan tembok besar akan mereka dapati dalam perjalanan itu, sebuah catatan sejarah dan cerita menarik akan menjadi dongeng di malam hari bagi anak cucu mereka kelak di kemudian hari. Sebuah inspirasi akan mereka torehkan bagi kaumnya, kaum perempuan. Dan kita tak boleh hanya menunggu akhir dari cerita mereka, sembari memberikan rasa kasihan atas kondisi mereka. Banyak hal yang bisa kita lakukan dan kita upayakan untuk mendukung perj! uangan mereka.

Dengan sebuah pertanyaan, saya akhiri cerita dan pengalaman saya ini. “Apa yang anda bisa lakukan untuk perjuangan mereka?”


*Penulis adalah Karyawan Swasta di Jakarta, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek।

Tidak ada komentar: